Important Person

Jessi mengambil sedikit sup tahu yang ia buat pagi ini. Aktivitasnya sudah di mulai dari pukul lima. Alfred

masih lelap dalam balutan selimut. Sebagai seorang sekretaris yang merangkap jadi asisten pribadi Alfred, tentu sudah menjadi tugas Jessi untuk menyiapkan makan dan juga membersihkan apartemen pria itu. Gaji seorang sekretaris lebih dari cukup bagi Jessi. Hanya saja Jessi adalah sosok pekerja keras yang menaruh hidup seutuhnya mencari uang. Itulah mengapa ia belum mau berhubungan dengan pria. Bagi Jessi saat ia sudah memutuskan untuk memiliki suami maka ia akan melepas pekerjaannya sebagai sekretaris juga asisten Alfred. Saat ini hidupnya

dicurahkan seutuhnya untuk melakukan pekerjaannya.

Alfred menghampiri Jessi dengan wajah mengantuk. Ia mengucak mata pelan dan mendapati Jessi bernyanyi

kecil. Ia sedang mencuci piring. Sup yang sudah matang di taruh dalam mangkuk. Sarapan sudah sedia dan Alfred memilih untuk membersihkan diri dan bersiap untuk ke kantor. Hari ini ada pertemuan dengan klien. Sebenarnya bisa dilakulan oleh bawahannya, namun klien ini sangat penting.

Jessi buru-buru melepas celemek lalu segera masuk ke kamar Alfred. Pria itu sedang memilih dasi yang cocok

untuk di pakai. Jessi melirik sekilas lalu menghampiri Alfred. Kemeja putih itu cocok dengan dasi biru dongker.

"Biru dongker, pakai itu. Setelah itu langsung makan dan jangan masuk ke kamar sampai aku keluar dari kamarmu." Petuah yang selalu diingat oleh Alfred tiap kali Jessi mempersiapkan diri ke kantor jika menginap di tempatnya. Hal yang tidak pernah di langgar oleh Alfred karena ia sangat menghargai wanita kecil itu.

"Aku akan menunggumu sarapan." Balas Alfred. Berharap teriakannya masuk ke telinga Jessi karena ia sudah di kamar mandi. Alfred melangkah ke dapur dan membuat kopi untuknya dan Jessi. Mereka berdua memang selalu akur, lebih kepada Jessi yang mengalah dengan segala tingkah laku Alfred namun untuk urusan kopi mereka berada pada level yang berbeda seperti pasangan lansia yang tidak perlu banyak bicara dan hanya duduk diam untuk menikmati pekatnya kopi.

"Wow, kamu memakai rok." Alfred terpengarah melihat rok pinsil yang di pakai Jessi. Baru kali ini ia melihat Jessi tampil begitu formal dengan rok dan kemeja. Selama ini ia selalu nyaman dengan celana panjang. Menjadi sekretaris sekaligus asisten Alfred membuat Jessi lebih menyukai memakai celana karena dengan begitu ia bebas bergerak.

"Catharina sudah mengatur makan siang di salah satu restoran Cina. Ini berkas-berkas yang perlu kamu pelajari." Jessi menyerahkan beberapa map lalu menyesap sedikit kopi yang masih mengepul.

"Terimakasih untuk kopinya." Tidak ada balasan dari Alfred tapi Jessi bisa melihat senyuman pria yang sibuk membaca dokumen.

"Lanjutkan di mobil. Makanlah dulu." Alfred menutup kembali map itu dan menaruhnya di samping. Menuruti setiap perkataan Jessi seolah sedang di mantrai. Ia pernah sekali melawan dengan Jessi dan berakhir dengan Alfred yang menangis lalu meminta maaf karena tidak sanggup dengan tatapan dingin Jessi. Bagi Alfred, ia lebih memilih di benci oleh banyak orang daripada dibenci oleh perempuan berkulit coklat itu.

Di mobil mereka diam, hanya suara radio yang membahas cuaca hari ini yang di putar oleh supir pribadi Alfred. Jessi suka mendengarkan radio di pagi hari, kadang di waktu senggangnya ia mengirimkan beberapa cerita dan dibaca oleh penyiar. Nama samaran yang ia pakai menunjukkan kecintaannya pada anjing, secara khusus pada Siberian Husky. Jika saja Alfred tidak memiliki alergi terhadap bulu, di pastikan ia akan merayu Alfred memelihara anjing. Jessi tidak keberatan sama sekali jika pekerjaannya bertambah menjadi pengasuh husky. Justru ia akan sangat berterimakasih dan melakukannya dengan sungguh-sungguh.

Tiba di kantor, suasana terlihat sibuk dan padat. Beberapa ada yang menyapa Alfred dan Jessi. Sisanya lebih mementingkan pekerjaan hingga tidak ambil pusing dengan keadaan sekitar.

Catharina sudah menunggu di ruang tunggu, menyambut Alfred dengan mencium pipi kiri dan kanan dari Alfred.

'Seharusnya Alfred menyukai  wanita ini saja. Mereka bisa jadi pasangan serasi dan luar biasa.' Gumaman Jessi dalam hati. Alfred terlihat nyaman-nyaman saja. Catharina sangat baik juga sangat cantik, hanya saja ia selalu menganggap Jessi sebagai saingan cintanya. Bisa di pahami karena Jessi seperti perangko yang menempel dengan Alfred. Tapi itu bukan maunya Jessi, Alfred hanya cocok bekerja dengannya. Ia pernah merekrut beberapa menjadi sekretaris Alfred, baik pria maupun wanita. Itu hanya bertahan paling lama selama tiga bulan. Selanjutnya mereka angkat tangan dengan sifat pria itu. Memangnya siapa yang bertahan jika setiap tengah malam di telepon dan menanyakan dokumen-dokumen yang bahkan tidak diingat lagi oleh mereka. Atau mungkin hanya Jessi yang bisa bertahan dengan Alfred yang workaholic. Jessi juga sama workaholicnya dengan Alfred. Mereka adalah partner

kerja yang serasi dan juga menjadi teman baik selain urusan pekerjaan.

Catharina membicarakan tentang persyaratan yang diajukan oleh klien. Jessi membuatkan teh untuk Catharina dan membiarkan mereka berbicara di ruangan Alfred. Ia akan melanjutkan pekerjaan di mejanya.

Dua jam berlalu, Catharina masih bertahan di ruangan Alfred. Entah apa yang dibicarakan, rasanya terlalu lama jika hanya berbicara urusan bisnis. Jessi baru saja hendak mengantarkan teh berikutnya saat Catharina keluar dari ruangan Alfred terburu-buru dengan mata sembab. Selang beberapa detik, Alfred memanggilnya, meminta Jessi untuk masuk ke ruangannya.

"Kenapa?" Jessi hanya pura-pura bertanya. Ia sudah tahu apa yang akan di bahas oleh Alfred.

"Catharina mengungkapkan perasaannya." Ada jeda lima detik.

"Aku menolaknya."

"Kenapa?"

"Perasaanku untuknya tidak lebih dari teman."

"Cinta bisa tumbuh karena terbiasa."

Alfred menatapnya dalam.

"Kau benar."

"Lalu?"

"Cinta bisa ada karena terbiasa. Dan karena terbiasa sampai tidak menyadari itu cinta."

Jessi semakin tidak mengerti. Alisnya naik sebelah.

"Kamu akan terbiasa dengan Catharina. Itu artinya kamu bisa mencintai dia. Itu kesempatan

untukmu." Alfred hanya diam. Kadang dia heran dengan Jessi yang tidak peka dengan sikapnya itu. Padahal Alfred sudah mulai pergerakannya. Tapi di satu sisi ia tidak mau Jessi menjadi histeris.

"Keluarlah." Jessi menggelengkan kepala, semakin tidak mengerti. Baru saja hendak membuka pintu, Jessi kembali terpaku dengan perkataan Alfred.

"Makan malam di tempatku. Aku ingin makan spagheti buatanmu."

Jessi melihat Alfred dengan bingung. Dalam hati ia berteriak karena tingkah pria ini yang sulit di tebak. Ia keluar tanpa berbicara sepatah kata pun. Menuju meja kerja dan melanjutkan pekerjaannya. Ia memasang headphones dan mulai memutar musik rock. Wajahnya tanpa ekspresi.

Dari jendela kaca, Alfred melihat itu. Pertanda bahwa Jessi tidak bisa di ganggu, ia sadar bahwa Jessi kesal dengan perkataannya tadi. Ia sama sekali tidak bermaksud untuk menaikkan nada satu oktaf saat meminta Jessi keluar tadi. Ia tidak bisa menahan perasaanya. Tapi dia lebih kesal lagi karena Jessi yang mengabaikannya. Rasanya ia ingin mencubit pipi bulat wanita itu dan memintanya untuk tidak mendiamkannya. Ia menahannya karena memang ini ada kesalahannya.

Alfred tidak pernah membeli hadiah sebelumnya. Di layar komputernya ia melihat beberapa perhiasan. Yang ia tahu wanita menyukai perhiasan. Jessi juga pasti demikian. Ia melihat kalung, cincin dan gelang sambil membayangkan  Jessi memakainya. Ini adalah cara meminta maaf yang pria itu berharap ampuh dan Jessi bisa memaafkannya. Sedangkan Jessi masih menatap layar yang menampilkan jadwal kerja bossnya. Sampai getaran dari gawai mengalihkan perhatian. Satu pesan masuk dari Catharina, memintanya untuk meluangkan waktu sebentar dan bertemu di cafe depan kantor.

Jessi tidak bisa sekarang karena ia harus menemani Alfred bertemu dengan investor. Patah hati mungkin membuat Catharina tidak fokus. Padahal pertemuan ini juga harus di hadiri olehnya. Balasan selanjutnya yang didapat Jessi adalah bertemu di salah satu klub terkenal di New York. Cukup jauh dari tempat tinggal Alfred. Dan ia teringat bahwa Alfred memintanya untuk membuatkan spagheti. Jessi masih belum bersuara, ia hanya merespon pertanyaan yang berkaitan dengan pekerjaan. Alfred seolah tidak ambil pusing namun dalam hati nya ia ketar ketir. Tidak tahu harus bagaimana dengan Jessi dalam mode marah seperti ini.

Penandatanganan perjanjian kerja dengan klien yang mereka temui berjalan dengan lancar. Dari pandangan Jessi,

Catharina sudah lebih baik. Ia menutupi kesedihannya dengan lipstik merah menyala. Dan dia terlihat semakin cantik. Jessi duduk dalam diam, Catharina menatapnya dalam. Siap menumpahkan isi hatinya.

"Aku mengungkapkan perasaan pada Alfred dan dia menolakku."

Ada tarikan napas dari Jessi. Hal yang sudah ia duga terjadi. Dia perlu mempersiapkan kata-kata penghibur untuk wanita ini. Terkadang Jessi menjadi tempat pelampiasan amarah dari wanita-wanita yang di tolak Alfred. Tapi Jessi bersyukur karena kali ini tidak ada siraman air seperti biasanya. Catharina terlalu baik, Jessi rasa wanita itu

tidak mampu berbuat hal jahat seperti itu.

"Kau akan baik-baik saja. Suatu saat kamu akan bertemu dengan pria yang mencintaimu dengan sungguh-sungguh. Yang akan melakukan apa saja untuk bisa membuatmu bahagia. Pria yang akan meminta maaf terlebih dulu meskipun bukan dia yang bersalah. Pria yang akan merajuk jika kamu tidak memberi kabar dan pria yang akan menjadi gila jika kamu meninggalkan dia. Pria yang akan melakukanmu seperti seorang dewi. Pria itu bukan Alfred. Aku meminta maaf tapi kenyataannya Alfred tidak menganggapmu lebih daripada seorang teman."

Miris memang, Catharina tersenyum. Jessi selalu bisa memberikannya ketenangan, memberikannya harapan dan juga nasihat. Bagi Catharina, Jessi adalah tempat terbaik untuk mengeluarkan perasaan dan isi hatinya. Juga tempat terbaik yang akan memberikan solusi tanpa harus menjilat. Mungkin itulah sebabnya Alfred menyukai Jessi. Jessi ikut tersenyum. Ia menggenggam jemari Catharina.

“Aku tahu. Aku hanya mencoba peruntungan saja. Tapi memang tidak ada harapan. Aku sedikit sensitive tadi sehingga ya, kau tahu sendiri kan perempuan memang selalu sensitive.”

"Semuanya akan baik-baik saja." Catharina mengangguk. Disesapnya sedikit minuman yang hampir dingin. Sesungguhnya ia sudah hampir satu jam duduk termenung di cafe ini sebelum Jessi datang.

"Jessi, jika suatu hari aku mendengar kabar bahwa kau menjalin hubungan dengan Alfred. Aku tidak akan kaget." Jessi yang sedang minum tersedak mendengar hal itu. Air sampai keluar dari hidungnya. Catharina juga kaget, tisu diambil dan membantu Jessi membersihkan hidung dan mulutnya.

"Itu tidak akan pernah terjadi." Tegas Jessi.

"Aku menganggapnya sebagai teman, sahabat dan saudara." Lanjut Jessi.

"Kalau begitu kau harus merubah pandanganmu tentang Alfred. Tatapannya terlalu dalam jika hanya menganggapmu sebagai teman, sahabat dan saudara." Seringai di wajah perempuan itu membuat Jessi bergidik ngeri.

"Oke, ku beritahu satu hal. Alfred dekat denganku, mau berteman denganku karena aku tidak menyukainya. Juga, ia pasti tidak menyukaiku. Kita menjaga hubungan baik kita dengan tidak melibatkan perasaan lebih."

"Jessi, apa kamu pernah pacaran?" Jessi mengangguk.

"Ya, satu kali. Tapi hanya bertahan dua minggu karena aku tidak selalu memberinya kabar."

"Lalu, apakah kamu mencintai pria itu?"

"Ya, aku mencintainya. Di kesibukanku, aku selalu berusaha memberikanku waktu untuk dia. Aku selalu berusaha yang terbaik. Tapi ternyata itu tidak cukup baginya. Pria itu punya sifat posesif yang membuatku gerah."

Jessi berapi-api dengan ceritanya. Berharap Catharina mendukung pemikirannya. Pacaran bukan berarti harus berkabar setiap saat atau harus dua puluh empat jam bersama.

"Hanya sekali saja? Lalu setelah itu tidak lagi?" Jessi sekali lagi mengangguk. Kali ini dengan rasa bangga yang terlihat jelas diwajahnya.

"Lalu bagaimana dengan Alfred? Apa kamu selalu memberinya kabar?"

"Ya, bahkan saat aku marah dengannya pun aku selalu mengiriminya pesan. Alfred pun selalu begitu."

"Kau lihat perbedaannya?"

"Tidak. Aku tidak mengerti."

"Kau tanpa beban akan mengabari Alfred. Alfred juga demikian."

"Itu karena urusan pekerjaan. Aku bekerja tidak hanya menjadi sekretaris tapi juga menjadi asisten rumah tangga. Aku harus selalu mengabarinya, dia juga harus begitu. Agar semuanya sesuai."

"Lalu apa perasaanmu jika Alfred tidak memberi kabar atau apa yang akan Alfred lakukan jika kamu tidak memberinya kabar."

"Aku akan baik-baik saja. Karena aku bisa menanyakannya pada teman kantor yang lain."

"Bagaimana dengan Alfred."

"Umm… Dia akan khawatir dan panik mencari keberadaanku."

Jessi ingat saat ia lupa memberikan kabar pada Alfred bahwa ia harus mengunjungi temannya melahirkan di rumah sakit. Gawainya dalam mode diam. Dan saat urusan selesai, setelah suami temannya datang dan keluarga temannya berkunjung ke rumah sakit, ia mendapat ratusan missed call dan pesan dari Alfred. Padahal waktu itu Jessi sudah mengambil cuti. Hanya sekali itu saja, setelahnya ia selalu memberi kabar pada Alfred.

"Oleh karena itu aku tidak pernah berhenti memberinya kabar. Meskipun tanpa balasan."

"Kalau begitu, cobalah beberapa kali tidak memberikannya kabar."

"Kenapa?"

"Aku hanya ingin kamu sadar berapa berharganya kamu untuk Alfred. Lebih dari teman, sahabat bahkan saudara sekalipun."

Jessi terdiam. Catharina menyesap habis minumannya lalu pamit. Jessi melambaikan tangannya ketika Catharina melaju dengan mobilnya.

Ia berbalik pelan, hendak kembali ke kantor saat ia melihat Alfred yang bersandar di mobilnya.

"Aku menjemputmu." Tidak ada respon dari Jessi. Sebenarnya Jessi sudah tidak lagi kesal dengan Alfred. Emosinya memang hanya sesaat, ia sadar bahwa perasaan tidak bisa di paksakan. Tapi kali ini Jessi ingin mengerjai Alfred. Ia melanjutkan kakinya melangkah hendak meninggalkan Alfred. Disitulah ia merasakan Alfred menarik tangannya lembut.

"Aku akan memasak untukmu." Memang dasar Jessi lemah terhadap makanan, ia bahkan tidak bisa menahan senyum lebar. Dengan senang hati ia masuk ke dalam mobil.

"Jangan lupa buat makanan yang super pedas." Ada senandung pelan dari Jessi. Alfred menghembuskan napasnya lega. Rencananya ia ingin membeli kalung mahal untuk Jessi, tapi ia sadar bahwa itu tidak akan mempan untuk wanita itu. Makanan adalah satu-satunya pembangkit mood Jessi.

Wanita ini, bagi Alfred, adalah salah orang terpenting dalam hidupnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!