Jessi berkenalan dengan Alfred saat kuliah, sebagai seorang migran dengan beasiswa Jessi membutuhkan pekerjaan supaya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya di negeri orang. Hampir semua pekerjaan paruh waktu Jessi
lakukan di waktu senggang, bekerja di restoran, cafe, pusat perbelanjaan, bahkan sampai di stasiun pengisian bahan bakar. Pertama kali bertemu Alfred adalah saat mereka satu kelompok di mata kuliah yang sama, Pekerjaan Sosial. Mereka diharuskan mengunjungi Panti Jompo dan melakukan analisa perilaku lansia. Sebenarnya Alfred memilih jurusan bisnis namun ia memilih mata kuliah sosial untuk menyeimbangkan pemikirannya sebagai manusia yang membutuhkan orang lain. Pertemuan kedua mereka adalah di cafe, Jessi saat itu mengantar pesanan pria itu, Ice Americano. Pria berkacamata itu langsung menjadi pusat perhatian semua pengunjung, aura dan kharismanya sungguh kuat sehingga tidak mungkin tidak memalingkan wajah untuk melihat pria tinggi itu. Alfred langsung mengenali Jessi, entah itu berkat atau kutuk karena setelah itu hampir semua pengunjung wanita mewawancarai Jessi.
Kilas balik pertemuan mereka berlarian di kepala Jessi. Tidak menyangka bahwa akhirnya mereka menjadi sahabat seperti ini. Jessi bersyukur karena Alfred selalu membantunya, ia mendapatkan pekerjaan untuk membersihkan apartemen dan menyediakan makanan untuk Alfred. Jessi mau melakukan itu karena gaji yang ditawarkan tidak main-main. Di satu sisi, Jessi juga senang bersih-bersih dan masak. Hobi yang dibayar, siapa yang tidak mau?
Jessi menyesap teh yang hangat, ia melemparkan pandang lewat jendela kaca. Kerlap-kerlip Kota New York memberikannya ketenangan. Ia jarang menginap di apartemen Alfred, ini adalah kali ketiganya. Kali pertama adalah saat mereka harus membuat laporan, kali kedua saat Jessi mabuk di pesta ulang tahun mantan pacar Alfred yang diselenggarakan di apartemen besar ini, dan ia bekerja keras untuk membersihkan ruangan dari sisa-sisa pesta.
Jessi sedang berpikir keras, bagaimana pun juga Alfred adalah seorang CEO dari perusahaan media yang sangat terkenal dan Jessi adalah sekretarisnya. Lika-liku dan jatuh bangun perusahaan dilalui bersama Alfred. Jessi pernah membaca kalimat bahwa laki-laki dan perempuan tidak bisa bersahabat karena pasti salah satu diantaranya akan jatuh cinta. Tapi ia ingin membantah kalimat tersebut karena sampai sekarang pun tidak pernah ada perasaan lebih untuk pria 29 tahun itu. Jessi percaya demikian pula dengan Alfred.
"Jessi, dengar. Jangan pernah berharap aku menganggapmu lebih dari sahabat. Aku merasa nyaman dengan kamu karena tahu bahwa kamu tidak menyukaiku. Berbeda dengan perempuan lainnya di universitas yang selalu mengejarku." Itu lah ungkapan Alfred saat ditanya mengapa ia selalu menghampiri Jessi di tempat kerja bahkan sering mengajaknya makan. Alasan lain yang diungkapkan adalah karena Jessi bisa berdiskusi dengan baik dan mampu menyamai pemikiran Alfred yang kritis, nilai tambahnya adalah Jessi tidak pernah mengeluh dan selalu bisa melakukan apapun asalkan di bayar, kecuali menjual dirinya. Jessi adalah orang Asia yang menganut paham no *** before marriage. Dia tidak masalah menjadi mahasiswa yang aneh karena berbeda dengan teman-teman wanitanya. Alfred adalah pria yang tidak peduli dengan asmara saat kuliah, berbeda saat ia sudah sukses seperti ini. Sampai saat ini pun hubungan mereka masih sama, mungkin ada peningkatan karena dari sekedar teman menjadi sahabat.
Jessi tidak pernah pacaran atau memiliki hubungan khusus lainnya dengan laki-laki. Ah, sebenarnya pernah ia berpacaran satu kali saat masih di Sekolah Menengah Atas. Hubungan yang hanya bertahan dua minggu karena Jessi begitu kaku dan dingin dengan pacarnya saat itu. Jessi hanya coba-coba, ingin merasakan perasaan berbunga-bunga saat di tembak atau perut yang dipenuhi kupu-kupu karena jatuh cinta. Hanya saja Jessi tidak merasakan itu dengan pacar pertamanya. Ia lebih berbunga-bunga kala melihat aktor dan idol Korea Selatan
dan juga perut sixpack Taylor Lautner atau wajah pucat Robert Pattinson. Terkadang Jessi sampai saat ini masih berkhayal tentang vampir yang datang menggigitnya sehingga ia pun bisa menjalani kisah cinta se-romantis pasangan Bella dan Edward.
"Kau tidak tidur?" Suara Alfred menggema di keheningan malam. Ia menengadah untuk melihat Alfred yang berdiri di belakang sofa.
"Oh, maaf. Apa aku membangunkanmu?" Jessi menaruh cangkir teh di atas meja kecil didepannya.
"Tidak, aku tiba-tiba lapar." Wajah memelas Alfred membuat Jessi tertawa kecil. Segera bangkit dari duduknya, ia mengikat rapi rambut keriting sebahu sambil melangkah ke dapur, membuka kulkas dan mengambil dua butir telur. Dari dalam kabinet ia mengambil ramen dan mulai merebus air.
"Aku sudah malas masak, kita makan ramen saja." Jemarinya sudah bergerak memotong daun bawang dan cabai rawit. Sebagai orang Indonesia, cabai rawit dan sambal wajib tersedia.
"Apapun itu, tapi kau tahu aku tidak makan pedas." Mendengar itu Jessi hanya menatap Alfred datar.
"Aku tahu, ini untukku." Alfred diam, tidak lagi berkata apapun dan menaruh kepalanya di atas meja makan. Matanya memperhatikan setiap gerakan Jessi.
"Apakah kau mau minum teh dulu?" Alfred menggelengkan kepala. Jessi menganggukkan kepala.
"Sesedih apapun kamu, besok harus ke kantor karena akan ada pertemuan dengan para direksi." Jelas Jessi. Alfred menghembuskan napasnya berat.
"Hah, bisa kah rapatnya di tunda?" Jessi berdecak. Alfred sudah tahu artinya.
"Baik, aku mengerti." Aroma masakan tercium, bau bumbu ramen membuat Alfred semakin lapar. Segera ia menyiapkan mangkuk, sumpit dan garpu. Garpu itu untuk Jessi, sampai sekarang Jessi masih kesulitan menggunakan sumpit. Alfred tahu akan hal itu. Panci berisi ramen di angkat dan dengan langkah cepat, Jessi menaruhnya di atas meja.
Alfred sudah siap dengan mangkuk dan sumpit di tangan, saat hendak mengambil mie dari panci, tangannya di tepuk Jessi. Matanya melotot.
"Kebiasaan, doa dulu." Suara Jessi terdengar mengancam. Seperti akan terjadi sesuatu jika ia tidak melakukan perintah. Jemarinya melepas sumpit dan menyatukan tangan untuk berdoa. Jessi tersenyum kecil lalu mengambil sikap doa.
"Kepada pemilik hidup ini, terimakasih untuk makanan ini. Berkati lah Jessi yang sudah menyiapkannya. Amin." Tanpa aba-aba, Alfred langsung mengambil mie dan memakannya, tidak lagi peduli itu panas. Berbeda dengan Jessi yang menyeruput kuahnya pelan. Ramen tengah malam adalah pilihan tepat untuk perut yang lapar. Mereka
makan dengan tenang. Mungkin ini lebih baik daripada berbicara tentang pekerjaan atau kisah cinta Alfred.
"Bagaimana dengan Ronan?" Suara Alfred memecah keheningan.
"Memangnya dia kenapa?" Sebelah alisnya terangkat.
"Kan sudah ku bilang dia menyukai mu." Ada rasa tidak puas dari Alfred.
"Ya, aku tahu. Lalu?" Alfred berdecak tidak percaya. Kebiasaan Jessi sebenarnya saat kesal yang ternyata tertular pada pria ini.
"Seharusnya kamu memberi dia kesempatan."
"Dia tidak mengungkapkan perasaannya padaku, bos. Jika iya, saat ini aku tidak bersama kamu. Aku pun tidak ingin jika kekasihku cemburu atau salah paham walaupun dia tahu kita sahabat. Mengerti maksudku. Aku tidak suka masalah, masalah yang selalu datang padaku." Alfred terdiam.
"Sepertinya dia hanya ingin bermain-main denganku." Lanjut Jessi.
"Tapi kenapa?" Kali ini Alfred menyeruput kuah ramen.
"Kau tahu sendiri, ego laki-laki. Selama ini tidak pernah ada yang mengabaikannya, aku melakukannya. Dia penasaran dan berharap aku jatuh di tangannya."
"Kadang aku heran, kamu tidak pernah pacaran. Maksudku, masa SMA tidak perlu di hitung. Tapi kenapa paham sekali dengan sifat pria." Alfred menggelengkan kepala, menyatakan keheranannya itu. Dengan senyum angkuhnya, Jessi menjawab.
"Life lesson from people." Diiringi dengan tertawa setan dari Jessi.
"Kau tahu kan, aku ini pendengar sejati. Aku lebih senang mendengar dan memperhatikan, lalu menganalisisnya didalam otakku dan kesimpulannya aku simpan sendiri. Akan aku buka di saat tertentu, sangat berguna seperti sekarang ini." Alfred tercengang, di satu sisi ia penasaran juga.
"Lalu menurutmu, aku seperti apa?" Tatapan Alfred tidak sabar, sementara Jessi menaruh kembali suapan mie. Matanya memperhatikan Alfred.
"Tipe budak cinta." Tidak ada lanjutan. Tapi Alfred paham dan kepalanya berputar dengan kejadian dalam kisah percintaannya. Sedetik kemudian, ia menganga. Tidak percaya dengan apa yang baru saja di ucapkan.
"Inilah yang menjadi masalahmu, bos. Bahkan sebelum diminta kau sudah memberikan segalanya untuk wanita yang kau kejar. Apa kamu pernah bermain tarik ulur? Tidak usah menjawab, aku tahu jawabannya tidak." Itu membuat Alfred menutupnya kembali. Jessi sedang dalam mode sarkas. Ia lebih memilih diam.
"Kau tahu, kamu perlu melihat dari sisi perempuan juga. Ada alasan juga kenapa perempuan lebih menyukai pria dengan tipe buruk. Mereka merasa tertantang. Tapi bukan berarti kamu berubah menjadi pria yang buruk. Menurutku, sebagai pria kamu sudah sangat luar bisa. Hanya saja kamu perlu melakukan sesuatu yang membuat perempuan tertantang." Jessi kembali menyuap ramen yang hangat. Ia harus menghabiskan ramen ini segara jika tidak ingin mie-nya mengembang. Alfred menganggukan kepalanya, paham dengan ucapan Jessi.
"Sepertinya Catherina menyukaimu." Alfred terbatuk.
"Kenapa? Aku bisa melihat tatapan memujanya untuk mu." Jessi tertawa kecil dengan reaksi Alfred yang kaget.
"Ini juga masalahmu. Tidak pernah peka dengan orang yang menyukaimu." Ucapan Jessi di lanjutkan decakan.
"Sudahlah, aku akan membersihkan ini. Kamu lanjutkan tidur. Besok pagi akan ada pertemuan klien." Jessi membereskan peralatan makan dari atas meja dan menaruhnya di westafel. Hendak mencucinya namun diambil alih oleh Alfred. Jessi diam menatap hal tersebut, lalu mengambil gelas air dan minumnya.
"Menginaplah disini. Kita berangkat bersama besok." Aliran air menjadi pengisi keheningan di antara mereka.
"Baiklah. Kalau begitu aku tidur duluan." Jessi berbaring diatas sofa ruang tamu, tempat istirahatnya jika menginap di apartemen Alfred. Namun, entah apa yang merasuki Alfred saat ini hingga ia meminta Jessi untuk berbaring di tempat tidurnya.
"Aku hanya ingin kamu merasa nyaman." Ucapnya sambil lalu. Tapi bagi Jessi seolah melihat psikopat yang menemukan mangsanya.
"Hei, kalau kau tidak mau tidak masalah. Jangan menatapku seperti itu. Aku hanya, hanya ingin tidur sambil memeluk seseorang. Itu saja." Ada nada lirih di akhir kalimatnya. Memang dasar Jessi adalah wanita berhati lemah. Meskipun ada decakan yang keluar dari mulutnya, ia tetap melangkahkan kaki menuju tempat tidur, menyibak selimut lalu berbaring disitu.
Alfred tersenyum, senang karena sekali lagi Jessi mau mendengarkan permintaannya. Sosok keras kepala itu sudah nyaman tertidur. Alfred mengambil langkah seribu dan segara masuk dalam selimut. Lengan kokohnya
memeluk Jessi erat, ia bahkan bisa merasakan perut yang sedikit buncit itu. Tak lama, Jessi merasakan nafas pria itu yang mulai teratur. Dalam tidurnya Jessi tersenyum. Setidaknya rasa kesepian itu tidak ia rasakan seorang diri.
Tidur dini hari ternyaman yang pernah Jessi rasakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments