MIDNIGHT RAIN

Alunan petikan gitar meneduhkan suasana. Musik yang di putar melalui speaker blututh di dapur mengalun lembut. Sebuah lagu dari Taylor Swift yang berjudul Safe and Sound. Jessi mendengarkan lirik itu dengan penuh perhatian. Dikepalanya sedang berputar beberapa adegan film aksi The Hunger Games. Salah satu film favoritnya. Dalam diamnya, Alfred memasak sambil melirik Jessi yang menikmati suasana tenang ini. Namun hanya sedetik sampai lagu berikutnya berputar. Satu lagu rock klasik berkumandang dan membuat Alfred kaget. Ia hampir saja menjatuhkan piring berisi spaghetti. Jessi senang karena lagu favoritnya kembali terdengar dengan gerakan seolah sedang melakukan konser, menggunakan sendok makan ia mulai bernyanyi dengan lepas. Kontras dengan ketenangan yang tadi.

Sweet Child O’ Mine dari Guns and Roses memenuhi ruangan apartemen itu. Kali ini Jessi memperagakan seorang

gitaris dengan bantal yang entah ia dapat darimana. Alfred hanya berdecih sambil menggelengkan kepalanya. Risih sebenarnya dengan kerusuhan yang di buat Jessi namun lebih memilih mengabaikan wanita yang bersukacita itu. Ia melanjutkan kegiatannya, menyiapkan meja makan untuk malam mereka.

Dari lagu rock klasik berganti menjadi lagu pop, Alfred tidak mengetahui siapa penyanyi dan judul lagunya, satu hal yang pasti Jessi hafal lagu itu luar kepala. Masih dengan gaya seorang penyanyi kelas atas yang melangsungkan konser megah, Jessi tidak peduli dengan tatapan bosan Alfred dan terus melakukan aksinya. Ada nada tinggi yang harus ia capai dari lagu ini, meskipun terbatuk di akhirnya, namun ia bisa menyanyikan nada tersebut. Alfred tertawa, tidak tahan dengan Jessi yang menderita. Jika terlalu memaksa mungkin ia harus membawa wanita itu ke rumah sakit karena pita suaranya putus. Ini bukan kali pertama Jessi seperti ini, bernyanyi, berteriak dan bergoyang adalah caranya untuk melepaskan stress dan beban pikiran, juga beban hidupnya. Alfred sadar bahwa Jessi merindukan keluarganya, namun sampai sekarang Jessi belum juga berkata jika ia ingin pulang. Jika saat itu tiba, entah Alfred harus merespon seperti apa, ia belum bisa jika harus berpisah dari wanita manis ini.

“Ayo, kita makan.” Jessi berkeringat, napasnya tersengal. Satu gelas air minum ia habiskan. Alfred menghitung lagu yang dinyanyikan Jessi dan ada sepuluh lagu dengan genre yang berbeda. Jika Jessi tidak tertarik dengan dunia selebritas mungkin ia sudah menjadi penyanyi terkenal. Tapi Jessi menyukai kehidupan yang damai dan tenang.

“Wah, menyegarkan. Tapi sekarang aku tidak ada keinginan untuk makan.” Alfred menarik napasnya panjang.

“Aku ingin tidur.” Jessi sudah berbaring dengan nyaman di sofa panjang. Tidak memedulikan Alfred yang mulai terlihat kesal.

“Tidak. Kamu harus makan, mandi lalu tidur.” Pria itu menarik lengan Jessi paksa, hendak membangunkan wanita itu. Jessi terduduk, matanya tertutup.

“Tidak masalah jika aku tidak mandi atau makan malam ini. Aku tidak akan mati.” Matanya masih tertutup.

“Masalahnya aku sudah menyiapkan makan untuk malam ini.” Jessi yang sudah kembali berbaring, ditarik

paksa sekali lagi.

“Kita bisa memakannya besok, boss.” Kini matanya terbuka, menatap Alfred mengiba.

“Kau tahu, itu tidak akan mempan untukku.” Jessi berdecih lalu mengalihkan pandangannya. Namun ia tetap bangun dan mulai memakan spaghetti. Sesuap, dua suapan, Jessi tidak puas dengan rasanya. Jadi ia mengambil sambal dari dalam kulkas dan mulai mencampurnya di spaghetti itu. Alfred menepuk kepalanya, gemas dengan wanita didepannya.

“Kau tahu kau merusak rasa spaghetti itu.”

“Oh, tentu tidak Ferguso. Aku membuatnya menjadi semakin lezat, menurut ukuranku. Jadi, diamlah kau Ferguso

dan makan makananmu. Jangan mengomentari hal yang aku lakukan karena itu menjengkelkan.” Jessi menatap pria itu tajam.

“Lakukan, lakukanlah sesukamu. Aku pun sudah bosan berbicara tentang ini.”

“Oke. Terimakasih untuk makanannya.” Dan Jessi melanjutkan makanannya dengan gembira.

*

Jessi mengeringkan rambutnya dengan handuk. Malam ini, ia akan menginap di apartemen Alfred. Baju dan celana yang terlalu besar yang ia kenakan adalah milik Alfred. Alfred sibuk dengan beberapa berkas di meja kerjanya. Tanpa sadar, Jessi memperhatikan pria itu.

Kacamata ia kenakan membuatnya terlihat seperti seorang mahasiswa, terlihat lebih muda. Rambut yang biasanya disisir dengan rapi ke atas kini jatuh menutupi dahinya. Alfred memiliki kulit putih pucat dengan rambut coklat, berbeda dengan Jessi yang memiliki kulit gelap dengan rambut hitam. Pikirannya melayang, pertemuannya dengan

Catharina tadi kembali berputar. Ia merasa gelisah. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Sejujurnya, Jessi takut jika Alfred sungguh menganggapnya lebih dari seorang sahabat. Bagi Jessi, menyukai atau bahkan mencintai pria itu

sangatlah mudah. Laki-laki itu memiliki segalanya, pria kaya yang bahkan sifat kekanakannya sangat imut. Tapi Jessi selalu merasa rendah diri, meskipun ia terlihat sangat percaya diri dari luarnya-Jessi selalu memakai apapun yang membuat ia nyaman tanpa memedulikan tanggapan orang lain. Tapi, disatu sisi, Jessi sadar bahwa ia tidak sebanding dengan Alfred. Ia hanyalah seorang wanita biasa yang terlahir di keluarga sederhana. Hidupnya pun penuh dengan kerja keras, setelah bertemu dengan Alfred ia sadar bahwa hidupnya terlalu monoton dan pria itu

memberi warna tersendiri dan menjadikan pria itu hal paling penting setelah keluarganya di Indonesia.

Meskipun demikian, Jessi tidak pernah menyalahartikan setiap kebaikan Alfred maupun keluarga Alfred. Sebagai seorang sahabat, ia juga adalah seorang pekerja. Hutang keluarga dan bahkan kehidupan keluarganya yang membaik adalah uang yang peroleh dari menjual tenaga dan pikirannya di perusaahan Alfred. Ia bersyukur untuk itu karena ia bisa menyelesaikan kuliahnya dengan baik berkat bonus-bonus yang ia dapat dari Alfred dan keluarganya. Jadi, Jessi tidak mungkin dengan tidak tahu dirinya menumbuhkan perasaan lebih itu. Perasaan yang berlebihan dari yang sepatutnya hanya akan membawa kemalangan karena tidak tahu posisi diri sendiri.

“Ehem.” Jessi kaget. Deheman Alfred membuyarkan semua pikirannya. Mereka bertatapan beberapa detik. Jessi tersadar. Sedetik kemudian, ia menawarkan teh untuk pria itu yang di balas dengan anggukan.

Jessi menggelengkan kepala, menepis semua hal yang berseliweran di kepalanya. Di pantry ia mulai menyeduh teh di cangkir dan segera mengantar untuk Alfred. Ia melirik layar computer, Alfred tengah meninjau beberapa iklan.

“Apa ada yang bisa aku bantu?” Jessi menaruh cangkir di samping Alfred.

“Oh, sekarang ini tidak. Tapi nanti kamu perlu untuk menghubungi manager terkait tawaran film.” Alfred tidak mengalihkan pandangannya dari layar.

“Baiklah.”

“Apa kamu mengganti shampoo?” Jessi berbalik, dan menbaui rambutnya sendiri.

“Ini milikmu.” Alfred terdiam. Aroma shampoo yang selama ini ia pakai tidak terlalu ia pedulikan, selama itu bermanfaat baginya. Ia baru sadar bahwa aroma shampoo bisa seharum itu. Ia tidak pernah mencium aroma itu dari Jessi dan entah kenapa itu membuat perasaan dan pikirannya tenang.

“Aku minta maaf karena tidak memberitahukan padamu sebelumnya.” Alfred membuka kacamata matanya lalu menatap Jessi.

“Itu tidak masalah, Jessi. Hanya saja aku baru sadar bahwa aroma shampoo itu begitu lembut dan menenangkan.” Jessi berdecak.

“Mulai sekarang perhatianlah juga pada hal-hal yang kecil. Kau terlalu peduli pada hal-hal yang besar sampai tidak sadar akan hal-hal kecil.”

“Ya, kau benar. Mulai sekarang akan aku perhatikan.”

Jessi tidak lagi merespon, perhatiannya teralih pada rintik hujan di luar. Hujan malam hari di kota New York membuatnya bahagia. Sudah lama ia tidak menikmati hujan di tengah malam seperti ini. Dan pikirannya melayang, berimajinasi tentang banyak hal jika nantinya ia memiliki pasangan. Bisa menikmati hujan tengah malam dengan secangkir minuman yang hangat. Romantisme klasik yang disukai Jessi. Apalagi jika ada kecupan di kening. Ah, terlalu berhalusinasi. Ia bersandar di tembok. Tatapannya masih bertahan dengan kelap-kelip lampu, air mengalir di jendela kaca besar ini. Sungguh menyenangkan jika bisa menikmati keindahan malam kota New York ini seterusnya.

“Bolehkah aku memulukmu?” belum sempat di jawab, lengannya sudah melingkar di perut Jessi. Ia tersentak. Terlalu kaget hingga tidak bisa berkata apapun dan menjadi kaku seperti patung. Seolah ada alarm yang berbunyi dengan nyaring, pembicaraannya dengan Catharina muncul kembali di pikirannya. Ini pelukan intim pertama mereka, apalagi Alfred memeluknya dari belakang. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Maka, Jessi memilih untuk

menghilangkan ketegangan itu, merilekskan tubuhnya dan berusaha mengatur degup jantung yang mulai menggila. Tentu saja itu gagal. Di situasi seperti ini, ia mencoba bersuara. Memecah keheningan yang tiba-tiba merasuk.

“Wow, ada apa ini?” suaranya bergetar. Hembusan napas yang hangat dari Alfred membuatnya mulai kehilangan akal. Untuk itu ia mulai melepaskan lengan pria itu yang semakin erat dirasa.

“Hei, hei. Hentikan. Aku bisa melaporkanmu karena ini termasuk pelecehan.” Perkataan itu berhasil membuat Alfred

melepaskan tangannya. Jessi berbalik dan melihat kekesalan Alfred yang tergambar dengan jelas di wajah pria itu. Kekesalan itu membuat rasa gugup Jessi menguap. Ia tertawa dengan kencang, semakin membuat Alfred tidak karuan.

“Oke, oke. Aku minta maaf. Tapi yang kamu lakukan berhasil membuatku kaget. Kamu kenapa?”

Seperti seorang anak kecil yang tidak mendapatkan permen kesukaannya, Alfred berkata, “Aku hanya ingin

memelukmu. Kenapa itu tidak boleh? Tega sekali kamu mau melaporkanku.” Kakinya di hentak-hentakkan ke lantai. Tangannya mengayun seirama hentakan kaki. Persis anak kecil yang merajuk. Karena itu Jessi tertawa dengan lebih kencang.

“Uwu, Aped kecal ya. Cini, cini, mama peyuk.” Dan Jessi membawa Alfred ke pelukannya, jemarinya mengelus pelan punggung Alfred yang lebar.

“Aku sudah tidak mau lagi.” Alfred masih merajuk dan melepaskan pelukan Jessi.

“Ssssstt. Ayo sini, mama peyuk. Cup, cup. Anak baik.” Pria itu menatap tajam wanita yang masih melancarkan godaannya itu.

“Aku hanya ingin mengucapkan terimakasih.”

Alfred membawa Jessi ke pelukannya. Tidak ada lagi kekesalan, ia bisa melihat kehangatan yang lembut dari

tatapan pria itu sebelum ia berakhir di dada bidang Alfred. Jessi merasa tidak puas, ia masih penasaran dengan tatapan lembut nan hangat itu. Ia menengadahkan kepala, Alfred menunduk. Tatapan mereka bertemu. Sedetik kemudian, Jessi bisa merasakan kelembutan dari bibir Alfred yang menyentuh bibirnya. Kecupan lembut itu membuatnya tenang. Jessi bingung dengan perasaan ini, bagaimana bisa ia merasakan ketenangan karena kecupan itu. Tanpa sadar ia menutup matanya, ia membuka mulutnya sedikit memberikan kesempatan untuk memperdalam ciuman itu. Jessi seperti melayang ke langit ke tujuh. Alfred semakin memperdalam ciuman mereka. Pikirannya benar-benar kosong, ia hanya ingin menikmati bibir lembut wanita itu. Selama ini ia tidak pernah memikirkan perasaannya untuk Jessi. Yang ia tahu, ia mengganggap Jessi sebagai sahabat, juga rekan kerja yang baik. Namun, semua berubah kala Catharina datang. Catharina-lah yang membuatnya sadar akan perasaannya terhadap wanita mungil ini. Wanita ini bahkan terlihat biasa saja di awal pertemuan mereka. Alfred menganggap Jessi adalah wanita pekerja keras yang tidak peduli hal lain selain belajar dan bekerja. Bahkan ia tidak peduli saat teman wanitanya bepergian ke pesta atau ke klub. Ia menghabiskan malam-malamnya dengan belajar.

*

Mereka bertemu disalah satu café tempat Jessi bekerja. Lalu mereka bertemu dalam kelompok yang sama. Mereka

menjadi akrab, Jessi menolongnya membersihkan apartemen juga membuatkan Alfred makan. Sebagai ucapan terimakasih, Alfred memberinya uang. Lalu setelah lulus, Alfred secara pribadi meminta Jessi menjadi sekretarisnya. Jessi mengenalnya dengan baik, begitu pun dengan Alfred dan keluarga pria itu. Jessi bekerja dengan baik. Tidak hanya membantu dengan urusan di perusahaan atau di apartemen, Jessi juga membantu ia melewati masa-masa kelam putus dari pacar yang hampir menjadi tunangan. Memperkenalkan dengan sejumlah wanita-wanita hebat namun tidak pernah bertahan lebih dari tiga bulan karena Alfred tidak merasakan getaran, atau kembang api yang meledak saat berciuman atau perut yang dipenuhi kupu-kupu.

Sangat berbeda dengan sekarang ini, Alfred bukan hanya sekedar merasakan kupu-kupu yang beterbangan namun seperti ada kebun binatang mengisi dirinya. Ia akui, ia sudah jatuh terlalu dalam kepada wanita itu. Jessi kehabisan napas karena ciuman dalam ini, ia mendorong Alfred pelan dan pria itu melepaskan ciuman itu. Hanya beberapa detik karena selanjutnya Jessi bisa merasakan tubuhnya yang  terangkat. Ia di hujani kecupan-kecupan kecil diseluruh wajahnya.

Alfred membaringkan Jessi di tempat tidur dan memberikan kecupan panjang di kening wanita itu. Kecupan selamat malam yang membawa Jessi berbaring disamping pria itu dengan tenang. Aroma shampoo memenuhi penciuman Alfred, lengannya yang kokoh dengan nyaman memeluk Jessi. Jessi membalas ciumannya, kini wanita itu sudah tahu dengan perasaannya. Alfred tidak lagi peduli dengan apa yang akan terjadi besok. Ia hanya akan menikmati malam ini dan saat ini.

Hujan di tengah malam namun ia merasakan kehangatan dan ketenangan. Ia bisa mendengarkan detak jantung Jessi, napasnya teratur. Itu seperti alunan musik pengantar tidur. Dikecupnya sekali lagi kening wanita itu.

“Tolong, jangan benci aku.”

Sedangkan Jessi, meskipun matanya tertutup tapi pikirannya kalut. Panas dan kelembutan masih begitu terasa di bibir dan keningnya. Wajahnya memanas. Ia ingin menangis, merutuki diri sendiri karena terlena, berbagai macam pikiran berkecamuk. Hingga akhirnya ia lelah dan mulai terlelap.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!