Shana terlonjak kaget dari lamunannya beberapa tahun yang lalu. Hampir saja kata mutiara itu terucap dari mulutnya kalau tidak mendengar suara dari Deen yang merespon ucapannya.
“Jadi, kamu mau ngomong apa?”
Mendengar suara Deen, Shana buru-buru mengendalikan pikirannya. Saat dia menata wajah Deen, dia kembali mengumpulkan keberaniannya untuk ngomong.
“Haaa, akhirnya sekarang waktunya aku untuk mengakhir menjadi budak atasan yang sangat menyebalkan ini” batin Shana setelah merasa keberaniannya terkumpul kembali.
“Ternyata begini rasanya ketika kita menghadapi saat-saat kita mendekati hari kebebasan yang sudah di depan mata” lanjut Shana lagi masih berkutat dengan dirinya sendiri.
Tanpa berpikir panjang lagi, Shana langsung meletakkan surat surat pengunduran dirinya di depan Deen dengan amplob putih. Shana masih menunggu reaksi dari atasannya itu.
“Pak, saya mau resign dari perusahaan.”
Akhirnya Shana pun bisa mengungkapkan niat dirinya yang mau berhenti bekerja kepada Deen langasung dengan mulus. Setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya barusan mengalir begitu saja.
“Sebentar lagi aku tidak akan bertemu lagi dengan Pak Deen, laki-laki yang sangat menyebalkan. Dan aku tidak akan bekerja di perusahaan ini lagi. Aku tinggal membagun usaha milikku sendiri dan mengelolanya sendiri juga. Betapa senangnya bisa memiliki usaha sendiri” gumam Shana yang penuh dengan rencana di dalam pikirannya.
“Ini apa…?”
Shana sangat bingung melihat laki-laki di depannya itu. jelas-jelas dia tadi sudah mengatakan jika dia akan resign dan di amplobnya itu juga sudah tertulis dengan jelas kalau itu adalah surat pengunduran dirinya. Kenapa dia masih bertanya lagi.
“Itu surat resign, pak. Kalau bapak sudah selesai memeriksanya, saya akan memberikannya ke bidang personalia juga.
Shana kembali menjelaskan. Karena tidak mungkin dia langusng pergi ke bidang personalia sebelum Pak Deen selaku atasannya belum menyetujuinya.
“Ini surat punya siapa?”
“Dari saya, pak.”
“Kenpa kamu…”
“Saya sudah menulis alasan saya mengundurkan diri di dalam surat itu, pak. Bapak boleh memeriksanya sendiri terlebih dahulu. Kalau tidak ada lagi yang mau bapak tanyakan, saya bali ke ruang kerja saya dulu” ujar Shana.
“Kalau begitu saya permisi” ujar Shana karena tidak mendengar apa-apa lagi dari Deen.
“Tidak boleh.”
Shana pun melangkah kan kakinya berbalik meninggalkan meja kerja Deen. Tetapi, baru kakinya dua kali melangkah harus terhenti lagi.
“Haa…? Ke-kenapa bapak…”
Shana bermaksud untuk bertanya kenapa Deen memperbolehkannya, tetapi kalimatnya sudah langsung dipotong Deen langsung. Dia sangat kaget dengan jawaban dari bosnya itu.
“Surat ini saya tolak.”
“Bapak baca dulu. Jangan langsung menolak begitu saja dong” balas Shana dengan perasaan gusar karena rencananya sepertinya tidak akan berjalan dengan lancar.
“Pokoknya surat pengunduran dirimu ini saya tolak.”
“APA…!!! DITOLAK…!!!”
Shana sangat kaget bercampur dengan perasaan bingung dengan jawaban dari bosnya itu. Dia
tidak menyangka dan tidak percaya jika didetik itu juga pengunduran dirinya langsung ditolak Deen tanpa membacanya dulu.
“Iya, saya tolak. Jadi, sekarang tolong atur jadwal pertemuan dengan kepala bagian pemasaran dan tim hari ini” ujar Deen seolah-olah dia tidak pernah mendengar dan menerima surat pengunduran diri dari Shana barusan.
“Ah. Ba-baik, pak” jawab Shana dengan nada gugup.
Tetapi, beberapa detik kemudian dia malah merutuki dirinya sendiri setela sadar. Kenapa dia malah mengiyakan bosnya itu. Dia harusnya membantah jika dia ingin tetap resign, tetapi malah tidak menuruti apa yang dikatakan Pak Deen tanpa perlawanan.
“Eeeh…!!!”
“Bagaimana dengan persediaan dan permintaan untuk bahan produk baru yang akan kita pasarkan bulan ini?” tanya Deen dengan pandangan kembali ke berkas-berkas yang ada di hadapannya tanpa melihat bagaimana raut wajah Shana setelah dia menolak mentah-mentah surat pengunduruan diri sekretarisnya itu.
“Saya akan menghubungi dan memastikan terlabih dahulu ke bagian pemasok yang baru, pak. Pagi ini akan saya serahkan laporannya ke bapak” jawab Shana dengan sigap seperti biasanya.
“Baik, saya tunggu. Sekarang kamu boleh balik ke ruang kerjamu” balas Deen tanpa ada yang perlu yang akan mereka bahas lagi dan tidak measa ada kejadian yang mebuat hatinya tadi tiba-tiba seperti naik rollcoaster.
“Aduuh, bukan ini yang aku inginkan. Kenapa malah jadi begini sih” batin Shana yang kembali merutuki dirinya sendiri diam-diam di dalam hati setelah dia kembali ke ruang kerjanya.
Setelah beberap menit dia kembali ke meja kerjanya, telepon yang ada di meja kerjanya berdering. Dan dia pun langsung menjawabnya karena dia melihat kode nomor yang tertera di sana adalah nomor telepon dari ruangan bosnya yang belum lama dia jumapi tadi.
“Iya. Ada yang bisa saya bantu, pak?” tanya Shana langsung.
“Tolong atur untuk jadwal besok ya?”
“Baik, saya akan cek terlebih dahulu ya pak” jawab Shana. Dan setelah itu sambungan telepon mereka berakhir begitu saja.
“Besok…? Kok jadi begini sih…?” tanya Shana bingung dengan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri.
Padahal dia kan sudah memutuskan untuk resign dari perusahaan itu, kenapa dia begitu bersemangat. Kenapa dia malah terlihat tidak berniat untuk keluar dari perusahaan itu. Kenapa…?
Sore harinya pun saat sudah mendekati jam pulang kerja. Deen lebih dulu keluar dari ruang kerjanya untuk pulang.
“Sampai ketemu besok ya?”
“Baik, pak” jawab Shana yang masih sibuk dan terlihat berkutat dengan pekerjaannya dan fokus menatap ke layar komputer di depannya.
“Shana…?” panggil Deen sekali lagi.
“Iya, pak” jawab Shana baru kemudian dia melihat ke arah Deen yang sudah berjalan jauh menuju lift.
“Eeeh…!!! Tadi bos bilanga apa ya?” gumam Shana bertanya-tanya di dalam hatinya sendiri dengan pikirannya yang bingun sendiri.
Malam hari di apartemennya, Shana merenbahkan badannya.
“Huuufff…! Percuma aku bergadang tadi malam mengetik surat resign, tetapi malah ditolak begitu saja tanpa ada pertimbangan. Bahkan dia tidak membaca sama sekali sudah langsung ditolak.”
“Shana, dasar kamu tidak punya pendirian sama sekali. Hari ini kamu mengutarakan niat untuk resign, malah ditolak mengtah-mentah. Bahkan kamu masih mau bekerja lembur. Malah iya-iya saja saat bosmu bilang sampai jumpa besok.”
“Padahal kemarin malam begitu semangatnya kamu mengucapkan kata-kata perpisahan yang akan kamu sampaikan kepada bosmu itu. Tapi, apa hasilnya? Tidak ada. Kamu malah mengikuti semua perintahnya seperti seorang budak penurut. Dasar kau Shana…!!!”
Sahan memarahi dirinya sendiri sambil merebahkan badannya dengan posisi terlentang di atas ranjangnya. Dia kembali membayangkan rencananya kedepan. Mengingat jumlah uang asuransi yang akan dia terima dengan nominal lumayan besar.
“Aaah, apa sebagian aku gunakan membeli sahan saja? tapi, aku tidak tahu dan tidak paham soal saham. Kalau aku tidak pinta mengelolanya bisa rugi karena hanya ikut-ikutan saja.”
“Apa aku beli properti saja aja kali. Itu lebih aman sepertinya” batin Shana yang sepertinya ide terakhirnya itu ide yang sangat bagus. Tetapi, beberapa detik kemudian…
“Aaah, entahlah. Yang mana ini lebih aman dan cocok aku kerjakan belum tahu pasti. Bagaimana kalau buka usaha café saja. dari awalkan aku sudah berniat untuk membuka café setelah resign dari kantor. Tapi, bagaimana ya memulainya. Aku juga tidak tahu.”
“Aaaah, dasar kau Shana…!!!”
Shana hampir nyerah berkutat dengan pikirannya yang tidak jelas itu. Dia kemudian memikirkan kemungkinan pilihan yang terakhir.
“Bagaimana kalau aku batalin rencana pengunduran diriku dari kantor. Orang kaya raya saja masih tetap bekerja juga. Kerja lebih santai dengan hati tetap senang” ujar Shana sambil menghayalkan kemungkinan-kemingkinan yang akan dia lakukan ke depannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments