Flasback On
Shana kembali teringat ketika dia baru diangkat menjadi sekretaris. Di mana saat itu juga Deen yang menjabat sebagai CEO yang baru juga selalu salah memanggil namanya.
Sebulan, tiga bulan bahkan setahun bekerja sebagai sekretaris sang atasan masih salah memanggil namanya Shana masih biasa saja. Tetapi, lama-kelamaan dia kesal sendiri hingga dia sudah lupa dengan hal itu.
Namun, entah kenapa kali ini Shana kembali merasa kesal mendengarnya. Shana juga teringat kembali betapa sibuknya dia setiap hari mendampingi Deen jika tugas ke lapangan. Apalagi kalau sudah ke luar kota.
Sehari-hari juga di kantor sangat sibuk. Menyelesaikan pekerjaan yang ada di kantor, menerima telepon dari mana saja terutama dari kolega perusahaan mereka. Bahkan Deen meminta Shana membuat janji pertemuan dengan perusahaan lain secara tiba-tiba.
Dan pada akhirnya otaknya akan mumet merombak jadwal yang sudah dia susun rapi sebelumnya. Rasa nya kepalanya mau pecah jika moodyan bosnya itu kambuh.
Terkadang dia berpikir jika Deen tidak punya perasaan. Bagaimana bisa bosnya itu dengan mudahnya mengatakan ‘ganti dengan hari lain’ tanpa rasa bersalah dan pertimbangan sedikit pun. Harus mengikuti apa yang dikatakan sang atasan.
Dan alhasil, Shana pun harus memutar otak, memundurkan bahkan merombak kembali jadwal yang sudah sedemikian rapi dia susun hanya untuk mengikuti permintaan terbaru sang bos. Untung saja dia bisa mengimbangi cara kerja dari atasannya itu.
Kalau dia tidak banyak-banyak bersabar, pasti Shana akan gila dan bahkan sudah mengajukan surat pengunduran dirinya lebih awal. Terkadang juga dia lupa kalau satu hari itu hanya dua puluh empat jam saja saking sibuknya bekerja.
Dan tidak heran juga kalau dia menjadi ketularan mengikuti cara kerja sang atasan yang gila kerja. Hingga dia sering dimintai untuk lembur. Dan ujung-ujungnya setiap pulang kerja, dia akan merasakan seluruh tubuhnya akan sakit dan pegal-pegal.
Selama ini, hanya satu harapan Shana yang menjadi kekuatannya bekerja dengan Deen. Selama sang bos tidak membenci hasil pekerjaannya dan berbicara dengan sopan kepadanya, Shana sendiri akan merasa baik-baik saja.
Untuk masalah sang bos yang selalu salah dan bahkan tidak mengingat namanya dengan benar, Shana sendiri sudah memaklumi itu. Mungkin saja Deen punya masalah dalam hal mengingat nama orang.
Tapi, ada juga yang membuat tingkah Deen yang membuat dia gondok setengah mati. Pernah suatu kali dia mendapat pesan dari si bos. Tulisan yang membuat dia pengen jungkir balik.
“Soup Iga.”
Pesan yang sangat singkat, ringkas, padat dan jelas. Memang benar kalau dia berharap si bos selalu berbicara sopan kepadanya. Tetapi, tidak sesopan itu juga kali. Saat dia membaca pesan tersebut, rasanya dia ingin membanting ponselnya.
Untung saja nalarnya jalan kalau dia diminta si boss untuk membelikan makan siang dengan lauk soup iga. Melihat nama lauk yang dipesan tersebut, sudah tentu saja tidak ada di cafetarian perusahaan. Dia harus keluar dan mencari rumah makan atau restoran yang ada di sekitaran kantornya itu.
Terkadang dia ingin protes kepada atasannya itu supaya makan di cafetarian perusahaan saja. karena dia sangat malas kalau dimintai keluar dari pekarangan perusahaan hanya seorang diri dan terkadang membuat dia mengantri untuk membelikan makanan yang Deen inginkan. Dan itu membuat dia merasa sebal.
Walaupun dengan berat hati, Shana pun pergi membeli makan siang untuk sang bos. Tetapi, saat dia kembali lagi ke kantor dan berpapasan dengan sang atasan di lorong menuju ruang kantor mereka tanpa mengatakan apa-apa.
Padahal Shana sudah membawa makan siang atasannya itu. Bahkan dia sampai berlari-lari balik ke kantor demi mengejar supaya waktu makan siang si bos jangan sampai telat.
“Eeeh, Pak Deen…?” sapa Shana waktu itu, tetapi laki-laki itu tidak mendengarnya sama sekali.
Dia malah melewati Shana begitu saja. Memang laki-laki itu sedang menerima panggilan telepon. Tapi, bisa kan sebentar menghentikan obrolannya. Atau setidaknya memberi dia kode bagaimana dengan nasi makanan yang sudah sekretarisnya beli itu.
Dengan berbaik hati Shana memutuskan untuk menunggu dan menaruh makan siang sang atas di ruangan si bos. Saat dia membuka ruangan kerja Deen sangat terasa sunyi, bersih dan rapi. Kecuali meja kerja atasannya itu yang selalu penuh dengan tumpukan berkas. Shana yakin itu pekerjaan si bos yang belum selesai.
“Kenapa dia belum datang, apakah dia sudah pulang? Tapi, tidak mungkin karena pekerjaannya masih menumpuk seperti gunung. Aku tunggu saja, pasti dia sebentar lagi akan datang. Dia kan belum makan siang” batin Shana.
Tunggu punya tunggu hingga Shana hampir satu jam di dalam ruang kantor Deen, tetapi laki-laki itu tidak ada tanda-tanda kemunculannya lagi. Shana pun memutuskan untuk menelepon si bos yang entah di mana rimba nya sekarang.
Shana langsung bertanya saat si bos sudah menerima panggilan teleponnya.
“Pak Deen, ini Shana.”
Dengan hati-hati Shana bertanya kepada Deen. Takutnya atasannya itu sedang menghadiri meeting atau sejenisnya.
“Iya.”
Shana mendengar jawaban yang sangat singkat tanpa ada embel-embel yang lain.
“Maaf mengganggu waktunya sebentar. Bapak ada di mana sekarang, apakah bapak sudah pulang?”
“Iya.”
Dan sambungan telepon mereka pun berakhir. Shana sempat terdiam, bengong mendengar jawab dari atasannya itu. Sepertinya kesadaran dirinya sempat hilang. Dia merasa kakinya sudah melayang dan tidak memijak lantai ruangan itu.
Setelah kesadaran dan rohnya kembali kebutuhannya, akhirnya dia merasakan kalau dia sedang mengalami emosi yang sudah terpendam sekian lama. Rasanya Shana ingin membakar ruangan kantor bosnya itu. Dia sudah capek-capek membeli makanan si bos malah ditinggal begitu saja.
Untung saja saat itu Shana tidak menemukan alat pembakar. Kalau tidak, itu ruangan mungkin saja sudah gosong. Sampai sekarang Shana itu melupakan kejadian hari itu.
“Rib Soup Day.”
Shana hanya bisa berteriak untuk mengeluarkan kekesalan dan emosi yang dia rasakan. Dia juga mengacak-acak rambutnya membuat dia seperti orang gila beneran. Sama sekali dia tidak bisa menahan lagi emosinya.
Dia juga mengumpat atasannya itu yang tidak merasa bersalah sedikit pun. Malah memutuskan sambungan telepon mereka begitu saja. Bagaimana bisa si bos tidak ingat kalau dia sendiri yang menyuruh Shana untuk membelikannya makan siang.
Bahkan jam makan siangnya pun tidak telat sama sekali. Yang paling bikin kesalnya, mereka berdua saling berpapasan. Si bos bukannya tidak melihat dia. Deen jelas-jelas melihatnya saat mau kembali ke kantor.
Tetapi, dia malah tidak mengatakan apapun dan membuat Shana menunggu seperti orang bodoh. Memang atasan yang tidak punya perasan, tidak punya hati. Memang benar julukan yang patut diberikan untuk atasannya itu adalah manusia dingin sedunia.
“Hah…! Sudah pulang…?”
“Dasar Deen Neal Kingsly kurang ajar. Atasan tidak punya hati. Dasar breng…”
Flasback Off
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments