Bab 5

Dengan menteng kantong berisi buku, Nuri masuk ke dalam tempat kerja. Dia duduk di kursi yang tak jauh dari Nia. Mereka mulai merekap pesanan berskala besar dari beberapa customer.

Untuk bagian pemasaran secara online, Nuri mempekerjakan tiga orang sebagai admin. Sedangkan untuk pemesanan dalam jumlah besar, dia yang menjadi pemegang utama. Baru Nia akan meneruskannya pada bagian pemotongan. Dan memang dia yang jadi kepercayaan Nuri.

"Sesok gajian, sesok gajian, hore." Jono bernyanyi sambil menurunkan barang yang baru datang dari penjahit dan harus di kemas. Nuri dan yang lain tertawa meski hanya dengan candaan Jono yang sederhana.

"Iya Jon iya, sesok gajian."

"Jono selalu jadi alarm otomatis ya teh," timpal pekerja bagian pengemasan dengan nada bercanda. Sehingga menghadirkan gelak tawa.

Satu yang Nuri sadari, bahagia tak selalu soal materi. Kebersamaan seperti ini salah satu contohnya. Sayangnya materi menjadi bagian pokok dalam kebutuhan manusia.

Mengingat kehidupan Nuri beberapa tahun ke belakang sangatlah jauh berbeda. Dia harus hidup berpisah dari keluarga demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah yang selalu jadi masalah dalam keluarga.

Melawan rasa takut saat harus tinggal di sebuah kontrakan hanya seorang diri. Tentunya bukan takut karena makhluk tak kasat mata melainkan takut akan kejahatan sesama manusia yang begitu marak.

Tak jarang dia kurang tidur karena harus menyelesaikan pekerjaan sebagai penjahit. Bahkan ketika orderan dari bosnya membeludak Nuri sampai tak sempat tidur sama sekali. Dua puluh empat jam waktu yang dia punya lebih banyak dia habiskan untuk bekerja.

Pulang untuk melepas rindu pada keluarga kadang ia lakukan sebulan sekali atau bahkan lebih. Bahkan Nuri harus hidup hemat di tengah tingginya harga bahan pokok agar ia masih bisa mengirimkan uang.

Belum lagi dia sempat tertipu oleh kenalannya di dunia maya. Kehilangan uang sebesar lima juta saat itu membuat dirinya merasa seperti dicekik. Susah payah dia mengumpulkan uang tersebut hilang dalam hitungan detik.

Astaga dia ingin menangis tapi dia dipaksa untuk tegar saat menjelaskannya pada keluarga. Dia tidak ingin orang tuanya sedih karena kebodohan yang dia lakukan.

Hanya keluarga yang tau kejadian tersebut karena memang Nuri jarang sekali berbagi cerita pada orang lain.

Saat itu Nuri sudah tak memikirkan lagi soal laki-laki apalagi tentang pernikahan. Dia tak peduli apa tanggapan orang terhadap dirinya yang masih sendiri saat teman-temannya berlomba menikah lebih dulu. Tak jarang kata perawan tua disematakan di belakang namanya. "Kalau ada laki-laki yang serius, lebih baik menikah saja Nuri. Papa tak tega kalau harus lihat kamu susah terus seperti ini."

"Pa, menikah memang kewajiban, tapi bagi yang sudah mampu dan tak mampu melawan hawa nafsu. Tidak semua pernikahan berakhir bahagia. Nuri masih minim ilmu, tolong jangan meminta hal yang Nuri sendiri belum sanggup."

"Papa yakin kalau kamu menikah kamu tidak akan susah."

"Papa doakan Nuri agar bisa melewati semua ujian ini ya." Kalimat itu selalu jadi jurus pamungkas untuk menutup obrolan tentang pernikahan. Nuri enggan mengatakan alasan utama dia masih belum ingin menikah. Padahal orang terdekatnya tau ada beberapa lelaki yang mengatakan suka secara terang-terangan.

Waktu terus berjalan sampai akhirnya Tuhan membawa Nuri sampai pada titik saat ini. Dimana dia bisa mewujudkan cita-citanya yaitu membuka lapangan pekerjaan. Dia tidak ingin melihat orang kelaparan seperti dirinya dulu. Dia tidak ingin melihat seorang anak hidup dalam keluarga yang tidak harmonis karena selalu mendengarkan pertengkaran orang tua tentang uang. Uang, uang, dan uang.

Nuri menghembuskan nafas perlahan sampai tepukan pada bahu membuatnya menoleh. "Teteh melamun?" tanya Nia.

"Enggak, cuma teteh lagi mengingat jaman susahnya teteh. Tawa seperti ini yang selalu teteh harapkan dulu, Ni."

"Bersyukur banget ya teteh bisa melalui masa-masa sulit itu. Kalau aku sepertinya belum tentu mampu, Teh."

"Setiap orang memiliki jalan cerita yang berbeda, Ni. Bahkan mungkin ada yang jauh lebih tinggi tingkat kesulitannya dari pada teteh."

Nia mengangguk membenarkan. "Sekarang tinggal nyari jodoh ya, Teh," goda Nia.

Nuri terkekeh. Orang-orang di sekitaranya sekarang selalu membahas masalah yang satu itu.

"Yang kemarin kan cakep, Neng," ujar Pak Hanif yang baru saja meneyerahkan catatan potongan bahan pada Nia.

"Jelas, Pak. Namanya juga laki-laki," balas Nuri.

"Duda loh," Pak Hanif melontarkan kalimat candaan seperti yang sering dilontarkan oleh Nuri sebagai kalimat penolakan.

Nuri tertawa mengingat uacapannya yang selalu mengatakan ingin sorang duda beranak dua.

Nuri beranjak dari duduknya sambil tertawa tak mampu membalas lagi candaan pak Hanif. Dia pamit lebih dulu.

***

Hujan lebat turun di waktu sore. Menghadirkan sepi dalam diri Nuri. Apalagi orang-orang rumah belum juga kembali. Sementara para pekerja sudah pada pulang setengah jam yang lalu.

Nuri memandang rintik hujan yang jatuh pada rumput di taman belakang tumahnya, hatinya terus memanjatkan untaian doa meski hatinya merasa begitu rendah.

Apa sampai masa tuanya nanti dia akan tetap seorang diri. Akan tetapi dia begitu takut membuka diri pada lawan jenis saat menyadari kekurangannya.

Akankah ada seseorang yang menerima kekurangannya. Meneria dia dengan segela masalalunya. Haruskah dia mengatakan kekuarangan itu? Mungkin orang-orang yang saat ini terang-terangan mengatakan kalimat suka padanya akan pergi tanpa jejak saat tau kekurangan itu.

Nuri memejamkan mata dan menghirup udara sebanyak mungkin. Dia tidak boleh terlalu berharap jika tak ingin menghadirkan rasa kecewa.

Dering ponsel menyadarkan Nuri dari lamuanannya. Setelah menggeser ikon berwarna hijau dia segera menyapa dengan salam. Ternyata customer yang pesanny belum sempat dibalas oleh Nuri. Dengan senang hati Nuri melayani permintaan perempuan diseberang sana. Mereka bahkan membuat janji temu esok hari, jam sepuluh.

Nuri merebahkan tubuh pada sofa sambil membaca buku yang tadi dia beli juga menunggu adzan maghrib tiba.

Rupanya orang-orang masih betah berada di luar atau mungkin mereka terjebak hujan yang seperti ditumpahkan dari langit. Bahkan petir terdengar bersahutan. Ah tapi mereka kan berangkat menggunakan mobil. Entahlah.

***

Sesuai janji kemarin Nuri akan menemui pelanggan jam sepuluh ini. Dia sudah bersiap untuk berangkat dengan membawa beberapa sample terbaru dalam kantong berukuran sedang.

"Jon, gajiannya sama Nia ya." Nuri berkata pada Jon yang kemarin mengingatkan kalau hari ini jadwal mereka gajian. "Ni titip ya!" pesannya pada Nia sebelum keluar dari rumah kerja tersebut.

"Mbak Nuri ya?"

Suara seseorang menghentikan niat Nuri yang akan masuk ke dalam mobil. Dia menoleh dan mendapati seorang laki-laki yang sama sekali tak dikenalnya berjalan menghampiri. "Ya?"

"Maaf mbak ini ada titipan untuk Mbak Nuri." Lelaki itu menyodorkan paper bag berukuran sedang.

"Dari siapa, Pak?"

"Dari seseorang yang katanya mengagumi, Mbak Nuri." lelaki itu tersenyum lalu pamit.

Terpopuler

Comments

Anna Kusbandiana

Anna Kusbandiana

wow...wow..wow, ada pengagum rahasia Nur..!

2022-10-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!