Padahal aku tampan loh."Lelaki tadi menyugar rambutnya ke belakang. Memang benar lelaki itu kulitnya bersih pun dengan rambutnya yang tertata rapi tapi penemapilan pakaiannya. Bukankah seseorang menilai orang lain dari penampilan lebih dulu.
Lelaki satunya yang ikut menghampiri terkekeh. Jelas dua perempuan itu terlihat ketakutan tapi temannya malah mengeluarkan kalimat seperti itu. Yang mungkin bagi sebagian orang yang tengah tertakan akan semakin menambah rasa takutnya.
"Ban mobilnya pecah, Mal," ucap lelaki yang tadi mengikuti Akmal.
"Bawa ban ganti?" tanya laki-laki yang bernama Akmal. Nuri mengangguk dan segera menurunkan ban tersebut dari bagasi.
Akmal langsung mengbil dongkrak dan segera mengganti ban tersebut. Sementara di dalam mobil mama baru bisa bernafas lega saat tidak ada tindakan yang menakutkan dari sekelompok anak muda itu.
"Lain kali kalau bepergian ajak saya, Mbak. Saya bisa jadi apa saja yang mbak butuhkan," celoteh Akmal.
"Terima kasih," ucap Nuri sambil menyodorkan dua lembar uang cap sang proklamator.
Akmal menepuk-nepuk tangannya kemudian menoleh ke arah Nuri dan menyajikan senyum manis semanis madu. "Ambil saja uang itu! Anggap saja uang nafkah dariku.
Mama menahan tawa melihat ekspresi Nuri. Perempuan itu tau anaknya paling tidak suka mendegarkan ujaran kalimat-kalimat seperti itu.
Uang yang disodorkan Nuri tadi kembali masuk ke dalam tas. Mobil segera melesak cepat bersama teriakan dari Akmal. "Aku tidak ingin bidadariku masuk surga lebih dulu."
"Gila-gila," ucap rombongan anak muda tadi.
"Orang dewasa lo godain, Mal."
"Sebab rasa tak mengenal umur dan rupa," balas Akmal sembari kembali duduk pada motor miliknya.
"Huuu pujangga jalanan," sambung anak yang lain.
Dering ponsel yang begitu nyaring menghentikan tawa sekumpulan anak muda. Akmal merogoh saku dan memperlihatkan nama yang tertera di sana. "Ibu ratu," ucap Akmal seraya menggeser ikon berwarna hijau.
"Iya Bunda Ratu?"
"Dasar gendeng," omel suara diseberang sana setelah mengucap salam lebih dulu. Akmal sedikit menjauhkan ponsel dari telinga. Padahal teman-temannya sendiri mendengar suara dari seberang sana tak terlalu keras. Akmal memang selebay itu.
"Pulang sekarang, bunda tunggu di rumah."
"Disuruh pulang, Bro." Padahal sudah barang tentu teman-temannya mendengar.
"Ya udah pulang noh, amankan namamu dalam daftar penerima warisan, Mal." kekeh Hamad yang sudah tentu bukan nama aslinya.
Akmal meraungkan suara motornya. Sebelum melaju dia menolah pada Hamad. "IT jalanan cari info tentang bidadari tadi!" Sorakan dari teman-temannya mengiringi suara bising dari knalpot milik Akmal.
Sampai di rumah Akmal segera turun. Bukannya disambut pelukan dan senyum hangat, Akmal malah disambut gelengan kepala dari sang bunda dan ayah.
***
Mama langsung membawa barang belanjaan. Sedangkan Nuri yang melihat mobil tengah menurunkan barang di depan rumah kerja segera menghampiri.
"Teh di dalam ada tamu." Nia memberitahu saat melihat Nuri menghampiri pintu masuk.
"Tamu yang menyebalkan?"
"Setiap laki-laki yang gak dikenal teteh anggap menyebalkan ya?" Nia tertawa kecil.
"Kalau gak mengganggu ya gak juga."
Nuri melihat Pak Irsya tengah menatap ke arahnya. Lelaki itu tersenyum akan tetapi sungguh terlihat menyebalkan bagi Nuri.
"Perjanjiannya tidak hari ini kan, Pak Irsya?"
"Anda benar Bu Nuri, tapi saya penasaran dengan hasil kerja anda dan team."
"Pak menjahit pakaian itu butuh waktu. Apalagi menginginkan hasil jahitan yang rapih. Anda bisa datang saat kami mengabarkan barang yang anda pesan sudah jadi."
"Baiklah aku mengerti." Pak Irsya mengangguk-anggukan kepala.
Nuri sudah berdiri hendak meninggalkan pria itu tapi urung saat mendengar pertanyaan dari Pak Irsya. "Bu Nuri, apa anda menerima ajakan makan malam dati seorang pria?"
Nuri menoleh kemudian berkata tidak.
Pak Isrya pun berdiri dan meninggalkan tempat duduknya tadi.
"Lagi berusaha mendekati Neng Nuri ya?" Pak Isrya menolah pada pak Hanif yang sedang menurunkan barang. "Bukan begitu cara meminta anak perempuan orang," sambung pak Hanif.
Pak Irsya jadi tertarik untuk berbincang dengan pak Hanif, dia tidak jadi meninggalkan tempat itu. "Bapak sudah lama kerja di sini?" pertanyaan basa basi dari pak Irsya memulai percakapan mereka.
Setelah berbasa-basi dan bercerita hal lain, pak Irsya kembali pada tujuan. "Apa bu Nuri tengah dekat dengan laki-laki lain?" pria itu bertanya dengan hat-hati. Ia juga menengok kiri kanan memastikan yang menjadi objek percakapannya tidak ada di sekitar.
"Sejak saya kerja di sini belum pernah melihat neng Nuri jalan dengan lawan jenis. Tapi ya saya kurang tau banyak karena urusan pribadi atasan ya bukan urusan saya."
Pak Irsya tersenyum kecut saat tak mendapat jawaban pasti. Dia pun segera pamit pada pak Hanif.
Saat sudah di dalam mobil, Pak Irsya mengetetik pesan pada seseorang. "Ide-mu yang ini tidak berjalan baik. Aku minta ganti rugi." Pesan terkirim.
"Rencana kita lanjutkan di acaraku nanti. Jangan dulu bergerak atau dia akan semakin tidak suka padamu. Ribet sekali jika sudah berurusan dengan hati. Sudah tua kok merepotkan."
Pak Irsya melotot membaca kalimat terkakhir. Dia melepas ponselnya ke kabin belakang dan segera melajukan mobilnya.
Dari lantai dua Nuri memperhatikan mobil pak Isrya yang mulai menjauh, barulah dia bernafas lega. Dia segera menyelesaikan pekerjaan yang tertunda diwaktu yang tersisa.
Nia mengetuk pintu untuk pamit. Ah ternyata waktu kerja yang lain sudah habis. Meski waktu kerja habis tapi Nuri tetap melanjutkan pekerjaannya. Toh dia pemiliknya lagi pula tempat kerja dan rumah berdampingan. Jadi dia tak perlu khawatir akan pulang kemaleman.
Gelak tawa orang dewasa dan anak kecil menyambut Nuri yang baru akan menucap salam. Rumahnya terlihat rame. Apalagi ada si pemilik kasta tertinggi dalam keluarga "cucu pertama dan perempuan"
Dia segera bergabung dan menyalami saudara-saudaranya yang jarang bertemu. "Jadi kapan, Teh Nuri?" tanya Latif saat Nuri menyalaminya.
Nuri paham pertanyaan itu. Dia membuang nafas secara kasar kemudian duduk di sebelah Latif. "Carikan saja WO, vendor cathring, biaya juga calon mempelai prianya. Bia aku tinggal menikmati saja," ucap Nuri sambil tersenyum menyebalkan.
"Uh dasar." Sebuah bantal sofa terlempar dari arah Fitri yang merupakan iparnya.
Mama jadi teringat kejadian tadi sore dan dia pun segera menceritakannya. Sontak Nuri jadi bahan olokan saudaranya yang lain.
"Berondong dong ma," kata Fitri.
"Iya kayaknya, dan lucunya mama mendengar anak itu berteriak gini, aku tidak ingin bidadariku masuk surga lebih dulu. Saat mobil kami melaju" Mama menirukan.
gaya anak bernadalan yang sore tadi bertemu mereka.
"Wah dapat pujangga jalanan dong," timpal Hamzah si bungsu yang menyebalkan sambil tertawa. Dia memang paling suka menggoda kakaknya.
"Ya ya ya terserah kalian saja. Yang penting kalian suka."
Naura si pemegang kasta tertinggi ikut tertawa bersama orang dewasa padahal jelas dia tidak mengerti itu. Nuri langsung mengangkat anak kecil itu kepangkuannya. "Kamu menggemaskan sekali." Nuri menempelkan wajahnya pada si kecil dan membuatmu tertawa.
"Teh mau punya yanga kayak Naura?" tanya Hamzah. "Nikah dong!"
Lekas makan malam semua penghuni rumah tersebut masuk ke dalam kamar masing-masing. Saat mereka yang sudah menikah menikmati aktifitas malamnya, Nuri masih saja berkutat dengan laptop dan buku-buku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Nani kusmiati
masih nyimak kelanjutan ceritanya, tetap semangat author 👍👍👍
2022-09-21
1