Pukul lima sore, sebagian pekerja sudah pulang. Hanya beberapa pekerja yang tersisa. Mereka memilih lembur untuk menambal kebutuhan yang semakin mahal. Hidup di jaman sekarang uang sepuluh ribu rupiah kadang nilainya dianggap sangat rendah.
Sepertinya rumah kedatangan tamu. Terdengar gelak tawa saat Nuri baru saja keluar dari rumah tempat kerja.
"Via!" Nuri terkejut ternyata yang bersama mamanya adalah teman lama dia. Entah berapa purnama mereka tidak bersua yang jelas mereka saling merindukan.
"Nuriii!" Via bangkit dan segera memeluk Nuri begitu erat.
"Kok datang gak ngabarin, Vi," Nuri mengurai pelukan dan ikut duduk di sebelah Via.
"Surprise dong, sekalian mau berangkat bareng ke acaranya Hani. Datang 'kan?"
Nuri baru ingat kalau dia diundang oleh Hani. Akan tetapi Nuri memilih tidak berangkat. Selain tidak ada teman yang bisa diajak ke sana dia juga tidak terbiasa keluar malam. Kejadian itu sungguh takut terulang lagi.
"Ayolah Nuri, aku sengaja datang kesini biar bisa berangkat bareng kamu. Nanti malam aku nginep deh di sini biar kamu gak khawatir pulang sendiri." Via paham dengan kondisi Nuri. Tapi acara seperti ini kan tidak terjadi setiap hari. Lagi pula acara ini bisa juga mereka gunakan untuk menyambung silaturahmi sesama alumnus.
Nuri menatap mama. "Mama rasa itu bukan ide buruk. Lawanlah ketakutanmu! Agar kamu tak selamanya terkurung di sana."
Via mengangguk membenarkan ucapan mama dari sahabatnya. Nuri butuh suasana luar, dia harus berdiri lagi dan tidak merasa rendah diri. Tak ada yang menginginkan musibah tapi semua terjadi pun tidak begitu saja. Tuhan sebaik-baiknya pembuat rencana.
"Baiklah tunggu sebentar aku akan bersiap," ucap Nuri sambil berdiri dan meninggalkan mereka di ruang tamu.
***
Sebuah kafe menjadi tempat acara Hani berlangsung. Nuri dan Via turun dari mobil yang sama. Via menitipkan mobilnya di rumah Nuri.
Mereka masuk dan langsung berbaur, saling betegur sapa dan bernostalgia. Si empu hajat belum terlihat, rupanya ia belum datang.
Di tempat yang sama tapi berbeda ruang pak Irsya tengah menikmati secangkir kopi. Lelaki itu tersenyum melihat serentetan chat dari seseorang.
"Aku tidak bodoh, tenang saja aku akan keluar kalau waktunya tiba," balas lelaki itu. Separuh kopi sudah masuk ke lambungnya.
Pukul sepuluh malam, acara yang didatangi Nuri dan Via berakhir. Mereka bersiap untuk pulang.
"Nuri, kapan-kapan aku mampir ke rumahmu ya," ucap salah seorang teman lama.
"Aku akan datang ke tempatmu memenuhi undanganmu saat kamu menikah," timpal yang lain.
Dari satu kelas dan satu geng semasa sekolah, memang hanya Nuri perempuan yang tersisa dan masih betah dengan kesendirian. Yang mereka tahu Nuri ingin menikah dengan duda beranak dua. Akan tetapi bukan itu penyebab yang sebenarnya.
Nuri mengangguk diikuti tawa kecil sembari menunggu Via yang tengah melakukan panggilan.
"Nuri maaf sekali aku gak bisa nginep di rumahmu," sesal Via. Perempuan itu menunjukan chat dari salah satu kerabatnya yang mengabarkan salah satu anggota keluarga mereka terkena musibah.
"Tenang Vi, aku bisa pulang sendiri." Nuri berbicara terlihat tenang padahal hatinya dipenuhi rasa cemas dan ketakutan.
Diwaktu yang sama pak Irsya keluar dari kafe. "Anda di sini Bu Nuri?" sapa lelaki itu.
"Iya baru saja kami akan pulang."
"Mas Irsya boleh aku minta tolong?" Kali ini Via yang bicara sedangkan Nuri mengerutkan kening. Tak menyangka kalau Via mengenal lelaki yang tadi siang memaksa bertemu dengannya.
"Tolong apa?"
"Antarkan Nuri pulang, ..."
"Vi..." Nuri menyela dan merasa tidak enak hati harus minta tolong pada lelaki itu.
"Tadi aku sudah janji akan menginap di rumah dia. Tapi salah satu saudaraku masuk rumah sakit. Aku gak enak hati sama tante karena mengingkari janji," lanjut Via.
"Tidak papa pak Irsya saya bisa pulang sendiri." Nuri keuekeuh menolak. Demi apa pun dia harus bisa pulang sendiri. Tuhan akan selalu melindungi, Nuri berusaha meyakinkan diri untuk menepis rasa takut yang kian menggerogoti.
"Baiklah, mari saya antar." Pak Irsya benar-benar membuat Nuri semakin merasa tidak enak hati.
"Pak..."
"Sudahlah Nuri, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu. Percaya saja aku kenal Mas Irsya kok. Dia sepupunya Hani." Via menjelaskan kebingungan Nuri.
Pak Irsya mengantarkan Nuri dengan mengikuti mobil perempuan itu dari belakang. Saat sudah melihat gerbang komplek perumahan tempat tinggal Nuri, lelaki itu memutar arah tanpa turun lebih dulu. Tentu saja Nuri belum sempat mengucapkan terima kasih.
***
Pagi sudah menyapa. Pak Irsya tersenyum melihat pantulan dirinya di cermin. Setelan jas berwana putih telah melekat di tubuhnya menandakan lelaki itu siap untuk bekerja. Mengingat kejadian semalam membuat jantungnya bekerja tiga kali lipat dari biasanya.
"Seperti ini cara kerja menghancurkan tembok es itu. Perlahan tapi pasti," ucapnya seraya merapihkan rambut.
***
Mama meminta Nuri mengantarnya membeli kebutuhan dapur. "Siap ibu ratu," canda Nuri.
Sebelum berangkat, Nuri meminta Nia menemuinya kemudian membari tau apa yang harus dikerjakan hari ini.
"Oh ya, pesanan yang luar daerah segera paketkan ya, Ni. Usahakan jangan sampe lewat dari jam satu. Kalau perlu minta anak-anak bagian potong untuk membantu mengemas."
"Siap, teh."
Nuri mewanti-wanti sebab tak ingin mengecewakan mereka yang sudah bekerja sama cukup lama. Kepuasan customer merupakan kebahagiaan dirinya. Tentu saja bahagia kan pemasukan mengalir terus ke rekeningnya.
Cukup banyak kebutuhan rumah tangga yang mama beli. Tak terasa mereka menghabiskan waktu banyak untuk membeli itu semua. Pukul tiga sore mobil Nuri baru meninggalkan pelataran parkir tempat belanja.
Sial. Saat melewati jalanan yang tak terlalu ramai, mobil menunjukan gejala gangguan. Dengan terpaksa Nuri menghentikan mobil untuk memeriksanya.
"Kenapa Nur?" mama melongokan kepalanya.
"Bannya pecah, Ma." Mata Nuri memindai sekitar berharap ada orang yang bisa dimintai bantuan. Sayangnya Nuri malah menemukan segerombolan anak muda dengan pakaian yang membuat perempuan itu berpikir negatif.
Seorang laki-laki diantara mereka menghampiri membuat pikiran Nuri terus berpikir yang tidak-tidak. Apalagi saat lelaki itu tersenyum, senyum yang manis itu malah semakin terlihat menyeramkan. "Allah tolong lindungi kami" Doa yang terus terucap dalam hati dengan cepat.
"Hey bung, lo membuatnya takut." Seirang lagi turun dari motor dan ikut menghampiri.
Nuri semakin waspada. Dia harus bisa melindungi diri juga mamanya. Meski tak dipungkiri rasa takut tak bisa dia tepis.
"Nuri," desis mama dari dalam mobil. Perempuan itu sama takutnya mengingat tempat ini sepi dan hari terus beranjak.
Lelaki yang lebih dulu membuat Nuri waspada itu terkekeh. "Memangnya aku semenyeramkan itu ya, Mbak?" ucapnya saat mereka sudah berdiri di dekat mobil Nuri. Nuri tak menjawab.
"Padahal aku tampan loh."Lelaki tadi menyugar rambutnya ke belakang. Memang benar lelaki itu kulitnya bersih pun dengan rambutnya yang tertata rapi tapi penemapilan pakaiannya. Bukankah seseorang menilai orang lain dari penampilan lebih dulu.
Lelaki satunya yang ikut menghampiri terkekeh. Jelas dua perempuan itu terlihat ketakutan tapi temannya malah mengeluarkan kalimat seperti itu. Yang mungkin bagi sebagian orang yang tengah tertakan akan semakin menambah rasa takutnya.
Beraambung
Note: Selamat pagi sayang-sayangku, semoga harimu menyenangkan 😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Nani kusmiati
Nuri punya cerita trauma apa ya,lanjut
2022-09-21
1