Sisi lain Pak Fathan

Sambil memegang kedua bahuku, Pak Fathan pun bertanya, “Fir, ada apa? Siapa tadi? Apa yang sudah dia katakan padamu? Fir!”

Aku yang masih merasa takut itu pun hanya bisa terdiam dengan tubuh yang masih gemetar.

Melihatku seperti itu, Pak Fathan pun langsung berkata, “Ayo. Lebih baik Bapak antar kamu pulang.”

Pak Fathan pun langsung memapahku berjalan menuju mobilnya dan kemudian sesaat setelah itu, dia pun langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan agak tinggi.

Sesampainya di rumah, aku yang masih gemetar pun akhir dibopong oleh Pak Fathan menuju kamar dan mendudukkan aku di pinggir tempat tidur.

Dengan tatapan yang penuh dengan rasa cemas, dia melihatku. Entah apa yang sedang dia pikirkan, namun saat itu aku dapat merasakan kecemasannya.

“Pak, aku gak tahu apakah ini adalah sebuah peringatan ataukah hanya pekerjaan orang iseng saja tapi,...” Aku menghentikan ucapanku sesaat dan kemudian, “tapi aku khawatir kalau hal itu akan benar-benar terjadi,” ucapku.

Mendengar ucapanku, Pak Fathan pun langsung duduk di sebelahku dan berkata, “Iya. Aku tahu. Mulai saat ini dan seterusnya, kamu tidak akan sendirian lagi. Ada aku yang akan selalu menemanimu.”

Aku pun mengangguk saat mendengar ucapan Pak Fathan. Walau pun aku tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh Pak Fathan, tubuhku selalu saja refleks memberikan jawaban.

Pak Fathan yang mendapatkan respons seperti itu dariku tiba-tiba tersenyum dan kemudian menyandarkan kepalaku di bahunya.

Saat itu entah mengapa tubuhku merasa jauh lebih tenang dan tidak gemetar lagi.

“Pak, terima kasih,” ucapku dan dia pun mengangguk.

“Ya sudah. Kamu istirahatlah. Aku akan pergi keluar sebentar. Ada hal yang harus aku urus. Jika kamu takut, carilah Bibi dan mengobrollah dengannya. Ok?!” ucapnya dan aku pun mengangguk.

***

Sesaat setelah Pak Fathan pergi, aku pun kembali mencoba memberanikan diri untuk melihat foto yang tadi aku temukan. Dengan melihat jauh lebih jelas lagi, aku merasa kalau orang dalam foto tersebut sangat familiar.

Ku pandangi lagi dan lagi. Hingga suatu ketika...

“Dia! Dia kan orang dari fakultas yang sama denganku. Tapi siapa namanya, ya?!...” gumamku yang merasa tidak dapat mengingat namanya, “lalu apa hubungannya dengan orang yang meneleponku dan aku?! Aku merasa tidak dekat dengannya.”

Setelah beberapa saat kemudian, aku pun menaruh kembali foto tersebut dan kemudian mencari Bibi.

“Bi,” sapaku setelah melihatnya.

“Eh, Non Fira. Sudah pulang, Non?” tanyanya.

Aku pun mengangguk dan kemudian bertanya, “Bibi sedang masak apa?”

“Oh ini, Non. Bibi sedang masak makanan kesukaan Tuan,” ucap Bibi.

“Oh. Bibi sangat mengenal Pak Fathan, ya?!” ucapku.

“Iya, Non. Bibi sudah mengasuh Tuan dari Tuan masih kecil,” jelasnya.

“Oh begitu,...” sahutku, “Lalu apakah Pak Fathan juga sering membawa seorang wanita ke rumah ini?”

“Astaga, kenapa aku tanya pertanyaan bodoh seperti ini?” gumamku dalam hati merutuki diriku sendiri.

Mendapatkan pertanyaan seperti itu dariku, Bibi pun tersenyum. Entah apa yang sudah dia pikirkan. Tapi sesaat kemudian Bibi berkata, “Selama ini, Tuan tidak pernah sekali pun membawa seorang wanita ke rumah ini. Baru Non saja yang Tuan bawa ke rumah ini.”

“Hah?!” gumamku terkejut dalam hati.

“Oh begitu,” sahutku sambil salah tingkah.

Setelah mendengar jawaban dari Bibi, aku pun termenung sambil membantu Bibi di dapur.

“Eh iya, Non. Tapi bibi senang lho, Non ada di sini,” ucap Bibi.

“Senang?! Kenapa?” tanyaku bingung.

“Senang karena Tuan tidak lagi jadi orang yang pendiam. Tuan juga udah mulai mau tersenyum lagi,” ucap Bibi.

Mendengar ucapan Bibi aku pun menjadi penasaran tentang sesuatu dan kemudian bertanya, “Memangnya sebelum ini jarang sekali tersenyum?”

Bibi pun mengangguk dan kemudian berkata, “Iya. Tuan selalu saja memasang wajah dingin. Tuan selama ini tidak mau yang namanya bercanda. Dia selalu berwajah serius.”

“Oh,” sahutku.

***

Sore harinya ketika aku sedang menonton televisi, ponselku tiba-tiba berdering lagi. Dengan takut aku pun melihatnya dan setelah tahu kalau Pak Fathan lah yang menelepon dengan spontan aku pun langsung mengangkatnya.

“Halo,” ucapku.

“Halo, Fir. Gimana keadaanmu sekarang? Apakah baik-baik saja?” tanyanya.

“Keadaanku sudah lebih baik, Pak. Bapak sekarang ada di mana? Kok sudah sore begini belum sampai di rumah,” ucapku.

“Aku mungkin pulang agak sedikit terlambat, Fir. Kamu tidurlah duluan. Jangan lupa, ponsel kamu matikan saja, ya. Supaya tidurmu jauh lebih tenang,” pesannya.

“Iya, Pak,” sahutku.

Dan setelah itu pun telepon di matikan. Entah apa yang sebenarnya sedang di lakukan oleh Pak Fathan. Tapi aku berharap semuanya baik-baik saja.

***

Malam harinya, mungkin karena terlalu banyak berpikir, aku yang sedang tidur terlelap pun tiba-tiba...

“Tolong!! Tolong!! Tolong!!”

Saat itu aku merasa kalau aku sedang berlari di sebuah lorong yang gelap. Dari belakang terdengar suara pukulan besi yang sengaja dilakukan.

Suara itu semakin mendekat seperti sedang mengejarku.

Aku yang sangat ketakutan itu pun hanya bisa berlari sekuat tenaga sambil berteriak minta tolong. Namun biar pun begitu, tetap saja tidak ada yang datang menolong. Hingga aku tersudut di sebuah lorong yang buntu dan di saat yang bersamaan...

“Hahaha.. larimu kencang juga. Tapi tidak apa. Sekarang aku bisa leluasa menangkapmu karena sudah tidak ada jalan bagimu untuk melarikan diri lagi. Hahahaha..”

“Ja—ja—jangan mendekat! Jangaaaaaaan..!”

Dan dengan spotan aku pun langsung terbangun dan duduk.

“Hhaaahaaaa..”

“Fir, kamu kenapa? Kamu mimpi buruk lagi?” tanya Pak Fathan yang entah dari kapan sudah duduk di dekat tempat tidurku.

“Pak!”

Aku pun tanpa sadar langsung memeluk erat tubuh Pak Fathan dan tidak ingin melepaskannya.

Pak Fathan yang mungkin melihatku kondisiku seperti ini akhirnya memutuskan untuk membiarkanku memeluknya dan dia pun mengelus-elus rambutku sambil berkata, “Sudah jangan takut lagi. Ada aku di sini.”

Setelah beberapa saat kemudian, entah mengapa perasaanku sudah bisa kembali tenang dan tanpa sadar aku tertidur sambil memeluk Pak Fathan.

Keesokan paginya saat aku bangun...

“Aaaaaaargh!!” teriakku saat mengetahui Pak Fathan sedang tidur di sebelahku dengan posisi aku sedang memeluknya dan dia pun juga memelukku.

Mendengar teriakkanku, Pak Fathan pun akhirnya ikut terbangun dan kemudian berkata dengan nada khas orang bangun tidur, “Fir, kamu udah bangun? Teriakmu kencang banget, Fir.”

“Ba—ba—bapak kok bisa tidur di sini? Te—te—terus ini? Kenapa posisi kita seperti ini?” tanyaku bingung.

Pak Fathan yang belum sepenuhnya terbangun ini pun hanya berkata, “Aih. Aku kira ada apa?”

Pak Fathan yang baru pertama kalinya memanggil dirinya dengan sebutan aku itu pun langsung tertidur lagi tanpa menjelaskan apa-apa padaku.

Sementara aku...

“Oh tidaaaaaak!”

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!