“Ja—ja—jangan!!!” teriakku dengan nafas tersengal-sengal dan keringat dingin mengucur deras.
“Fir, kamu kenapa?” tanya Pak Fathan sambil memberikan segelas air minum padaku.
Aku yang masih terengah-engah itu pun menggelengkan kepalaku dan berkata, “Aku gak apa-apa, Pak. Terima kasih.”
Mendengar ucapanku, Pak Fathan pun menarik nafas panjang.
“Ya sudah. Kamu lanjutkan tidurnya. Bapak ada di sini menemanimu,” ucap Pak Fathan.
Aku pun mengangguk dan kemudian berbaring lagi.
***
Dua jam telah berlalu, aku pun akhirnya bangun dan aku pun merasa sangat segar sekali.
“Bagaimana keadaanmu, Fir?” tanya Pak Fathan.
“Jauh lebih baik, Pak,” sahutku.
“Syukurlah,” ucap Pak Fathan.
Lalu untuk beberapa saat kemudian, kami pun terdiam hingga akhirnya...
“Fir,” ucap Pak Fathan.
“Ya, Pak,” sahutku.
“Menurut Bapak, lebih baik kamu jangan kuliah dulu. Ambillah cuti dan pulanglah ke rumah orang tuamu,” ucap Pak Fathan.
Aku pun terdiam dan menunduk mendengar ucapan Pak Fathan tersebut. Aku merasa memang seharusnya aku pulang. Tapi aku juga tidak ingin menambah kekhawatiran bagi orang tuaku. Karena saat ini keluargaku sudah cukup menghadapi beban kesedihan karena kejadian yang menimpaku saat itu.
“Pak, rasanya aku tidak akan pulang,” ucapku.
“Kenapa?” tanya Pak Fathan bingung.
“Gak apa-apa, Pak,” sahutku singkat sambil menunduk.
Saat melihat sikapku ini, entah mengapa aku merasa kalau Pak Fathan seketika dapat merasakan dengan jelas apa yang aku rasakan.
Setelah beberapa saat kemudian...
“Pak, lebih baik aku pulang ke kost-kost an ku,” ucapku yang kemudian langsung turun dari tempat tidur.
“Fir, tunggu sebentar,” ucap Pak Fathan.
“Ada apa, Pak?” tanyaku.
“Bapak antar kamu pulang,” ucap Pak Fathan.
Tanpa menunggu jawaban dariku, Pak Fathan pun sudah terlebih dahulu melangkahkan kakinya di depanku.
Aku yang melihat Pak Fathan seperti ini pun cuma bisa diam termangu sehingga Pak Fathan pun memanggilku agar berjalan mengikutinya.
Sadar kalau aku sedang dipanggil oleh Pak Fathan, aku pun langsung segera menyusul Pak Fathan dan untungnya tidak banyak yang melihat kejadian itu.
***
Setelah beberapa saat menempuh perjalanan, akhirnya aku dan Pak Fathan pun sampai di tempat kost an ku.
“Pak, sudah sampai di sini saja,” ucapku meminta turun dari mobil Pak Fathan.
Pak Fathan pun menghentikan mobilnya sesuai permintaanku. Namun sebelum aku turun, Pak Fathan terlebih dahulu meminta nomor telepon milikku.
Tanpa memikirkan macam-macam, aku pun langsung memberikan nomor ponselnya pada Pak Fathan dan begitu pula Pak Fathan. Kami pun akhirnya saling bertukar nomor telepon.
Sesaat sebelum aku turun dari mobil, Pak Fathan pun menerima sebuah panggilan telepon.
“Ya, baik. Saya akan segera ke sana,” ucapnya pada orang di seberang telepon.
Lalu panggilan pun langsung diakhiri dan kemudian...
“Ya sudah. Kamu turunlah,” ucap Pak Fathan dan aku pun entah mengapa langsung mengangguk lalu turun.
Dengan terburu-buru, Pak Fathan pun langsung melajukan mobilnya kembali meninggalkan tempat kost an ku.
Sementara itu, aku yang sudah berada dalam kamar kost pun langsung duduk di tempat tidurku. Aku lagi-lagi duduk termenung dan berpikir ulang tentang semuanya.
“Kenapa? Kenapa harus memimpikan kejadian itu berulang kali?” gumamku yang merasa frustasi.
***
Keesokan paginya, aku yang tidak punya mata kuliah alias libur ini pun tidak tahu harus bagaimana. Aku sebenarnya beberapa hari ini merasakan kurang nyaman. Namun aku tidak tahu harus menceritakannya kepada siapa.
Hingga suatu ketika, tiba-tiba saja aku memutuskan untuk datang ke kampus dan duduk diam di tengah keramaian.
Lagi dan lagi, Pak Fathan tiba-tiba sudah berada di hadapanku dan bertanya, “Fir, ngapain kamu ada di sini? Bukannya kamu sekarang tidak ada mata kuliah?”
Aku pun langsung mengangkat kepalaku dan melihat ke arah Pak Fathan dengan ekspresi wajah yang sulit dijelaskan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Fir?” tanyanya bingung.
Namun aku tetap tidak bisa mengatakannya pada Pak Fathan. Hanya ada rasa takut dalam diam yang bisa aku lakukan.
“Ayo ikut Bapak,” ucap Pak Fathan yang langsung menarik tanganku dan di bawanya aku ke suatu tempat.
Aku yang masih diam saja ini pun akhirnya di dudukkan pada sebuah bangku dan dia pun duduk jongkok di depanku.
“Fir, ceritakan. Di sini tidak ada orang,” ucap Pak Fathan.
Aku pun masih tetap diam membisu hingga akhirnya ponselku berdering. Aku yang merasa trauma ini pun sangat enggan mengangkat telepon tersebut sehingga Pak Fathan yang mengambil ponselku dan mengangkatnya.
“Halo,” ucap Pak Fathan.
Namun tak ada jawaban dari orang yang menelepon tersebut dan panggilan pun seketika di putus.
Pak Fathan pun terlihat seperti sedang mencurigai sesuatu. Dia memastikan nomor siapa yang telah menghubungiku. Namun sayangnya nomornya tidak diketahui sehingga Pak Fathan terlihat semakin gelisah.
“Fir, lebih baik kamu tinggal dengan bapak kalau kamu tidak mau pulang ke rumah orang tuamu,” ucap Pak Fathan tiba-tiba sehingga membuatku sangat terkejut.
“A—a—apa Pak?” tanyaku.
“Kamu gak usah khawatir. Di rumah Bapak nanti bukan hanya bapak yang tinggal di sana. Tetapi juga ada seorang pembantu. Jadi kamu gak perlu khawatir. Urusan yang lainnya biar bapak yang urus. Ok?!” ucap Pak Fathan yang sepertinya sangat memaksa.
Aku yang mendengar hal itu pun kembali menundukkan kepalaku. Aku tetap saja merasa tidak nyaman walau sudah tinggal bersama Pak Fathan.
“Fir?! Bagaimana? Kamu mau kan?” tanya Pak Fathan.
Dengan sangat terpaksa, aku pun menyetujuinya.
Dia pun akhirnya berkata, “Ayo sekarang kita ambil pakaianmu dan segala keperluanmu.”
Seperti sebuah boneka, aku pun langsung menganggukkan kepalaku.
***
Setelah aku sudah membawa semua barang keperluanku, Pak Fathan pun langsung membawaku ke rumahnya.
Dalam perjalanan, entah mengapa lagi-lagi aku bisa tertidur pulas. Hatiku merasa tenang dan aku pun merasakan sebuah kenyamanan.
Hingga suatu saat, aku pun terbangun dari tidurku dan sudah mendapati diriku sudah berada di atas sebuah tempat tidur dengan kamar yang sangat tertata rapi.
“Ini di mana?” gumamku.
“Kamu sudah bangun, Fir?...” tanya Pak Fathan yang tiba-tiba saja muncul, “ini di kamar Adikku.”
“Adik?! Apa gak apa-apa aku tidur di sini?” tanyaku.
“Gak apa-apa, Fir. Lagi pula kamar ini sudah lama tidak terpakai,” ucap Pak Fathan.
“Emang Adiknya Bapak ke mana?” tanyaku.
Pak Fathan pun terdiam sejenak dan dia pun akhirnya berkata kalau adiknya hanya sesekali saja datang mengunjunginya. Lebih pastinya hanya saat sedang liburan sekolah saja.
“Jadi itu berarti Adiknya Bapak kan masih ada kemungkinan untuk pulang. Bapak yakin aku tidur di sini?” tanyaku yang merasa tidak enak.
Dia pun mengangguk dan kemudian berkata, “Iya. Yakin. Sudah tidak apa-apa. Urusan Adiknya Bapak, kamu gak usah terlalu dipikirkan.”
“Oh,” sahutku.
“Kalau begini jadinya, kenapa aku tadi mengiyakan tawaran Pak Fathan, ya?!?!” gumamku dalam hati.
Karena mungkin melihatku termenung, Pak Fathan pun akhirnya bertanya, “Kamu kenapa?”
“Oh. Aku gak apa-apa, Pak,” sahutku.
“Ya sudah. Kalau begitu kamu lekas gantilah pakaian. Kita sebentar lagi akan makan malam. Bibi sudah menyiapkan banyak makanan lezat untuk menyambut kedatanganmu,” ucap Pak Fathan sambil mengusap-usap rambutku dan kemudian pergi.
Sesaat setelah Pak Fathan pergi, aku pun tidak langsung mengganti pakaianku. Aku terlebih dahulu melihat-lihat seisi kamar dan hingga akhirnya...
“Foto ini?! Sepertinya aku pernah lihat orang yang ada dalam foto ini,...” gumamku, “tapi di mana ya?”
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
🍾⃝🐇ωεɪıɑ xɪɑи⍣⃝కꫝ 🎸
aku sudah mampir yaa
2022-09-21
2
🔵pacarku 😜Peak_Fam😜
aku mampir, semangat ya
2022-09-21
2