[Bab 4] Kekecewaan besar.

"Maaf … pak maaf, saya terlambat karena mencari ruangan direktur, saya sempat tersesat karena luas sekali tempat ini." ucap Renata gugup karena terlambat 5 menit.

"Hahaha tak apa, biasanya kau hanya mengunjungi lantai 1 dan 2 kan." ucap Vin sambil tertawa kecil.

"Jadi apa pekerjaan saya pak?" tanya Renata senang.

"Duduklah." ucap Vin.

"Jadi pekerjaanmu adalah membantu mengerjakan skripsi, menemani ku saat menemui klien, mengatur dokumen ... ." ucap Vin yang menjelaskan semuanya pada Renata.

"Apa ... mengerjakan skripsi, ternyata tak ada bedanya dengan jabatan ku yang dulu. Aaahh … aku malas mengerjakan semua itu dan juga aku harus menemani nya menemui klien nya. Dia pasti bercanda kan." batin Renata yang menghiraukan penjelasan Vin.

"Hey … apa kau mengerti," tegas Vin ke Renata.

"Ii–iya pak saya mengerti." jawab Renata.

"Baiklah tugas mu sekarang, bantu saya menyusun skripsi." ucap Vin

"Lagi - lagi skripsi … aku lelah mendengar kalimat itu." gumam Renata.

"Apa yang kau bicarakan?" tanya Vin.

"T-tak ada pak" jawab Renata yang terkejut.

Hari mulai sore seperti biasa para pegawai kantor meninggalkan kantor satu persatu, Renata di minta Vin untuk membeli segelas kopi hangat di cafe sebrang jalan. Saat berjalan keluar kantor, lagi - lagi Renata melihat sesosok Bian yang sedang bergandengan tangan dengan renata :Bella karena penampilan Bella yang mudah dipahami ia bisa langsung tau. Renata kaget melihat kemesraan mereka yang tampak jelas di depan kantor. Bian yang dianggap orang yang paling istimewa di hidup Renata, ternyata berkhianat dibelakangnya. Tanpa menghiraukannya Renata berlari melewati Bian dan bergegas menuju cafe.

"Ayah ... apakah ini maksud dari perkataanmu? kata - kata yang terus memenuhi isi kepalaku sejak tadi pagi, aku terus memikirkannya apa arti dari pesan yang kau berikan, sekarang aku paham ayah apa yang kau maksud." batin Renata sambil melewati Bian.

Air mata Renata jatuh dengan sendirinya saat melihat mereka berdua. Bian yang terkejut karena melihat Renata berlari melewatinya.

"Apa!! itu Renata bukan, gawat apakah dia melihatku bergandengan tangan bersama Bella." batin Bian terkejut.

"Renata!!" panggil Bian dengan suara lantang.

"Renata ... tunggu." teriak Bian yang hendak mengejar Renata namun langkah nya dihentikan oleh Bella.

"Sudahlah bi, untuk apa kau mengejarnya." seru Bella sambil memegang tangan Bian.

"Tapi bel ... " jawab Bian dengan wajah panik.

"Lebih baik kita pulang." Ajak Bella dengan menggandeng tangan Bian.

"Baiklah." jawab Bian dengan raut wajah pasrah

"Itu Renata bukan? dan cowo yang memanggil Renata adalah kekasihnya? tapi mengapa malah bersama orang lain?" ucap Vin dari jendela ruangan nya yang menyaksikan kejadian antara Renata dan Bian.

"Gadis yang malang, kisah cintamu terlalu berantakan … Renata." sambung Vin lalu menutup tirai.

Renata sampai di cafe ujung jalan, rasa kecewa menyelimutinya, emosi Renata yang campur aduk. Sebenarnya Renata ingin berlari pulang namun ia memberanikan diri untuk masuk ke dalam cafe untuk memenuhi tugasnya. Selesai memesan kopi, ia kembali ke kantor nya namun tak langsung menemui Vin ia singgah ke toilet, air mata Renata tak bisa lagi ia bendung, ia menangis sejadi - jadinya di dalam toilet.

"Kupikir kau baik Bian, tapi ternyata dugaan ku salah." gumam Renata yang masih menangis.

Tanpa sadar Renata berada di dalam toilet sekitar 30 menit, ponsel Renata berdering namun ia mengabaikanya. Ponsel Renata terus menerus berdering saat Renata menengok ponsel nya ia sadar kalau yang menelefon nya itu Vin. Renata bergegas keluar dari toilet ia segera merapikan pakaian, dan make up nya karena berantakan terkena air matanya.

Renata berlari menuju ruangan Vin yang tak jauh dari tempat keberadaannya.

Ceklek … suara pintu ruangan Vin terbuka, dengan sosok Renata dengan nafas yang terengah - engah.

"Maaf pak saya terlambat, tadi di cafe antriannya panjang." ucap Renata dengan penuh alasan yang ia buat.

"Mata sembab, pakaian yang berantakan, make up yang pudar, jelas sekali ia menangis dan singgah ditoilet untuk mengutarakan segalanya." batin Vin sambil menatap tajam ke arah Renata.

"Huhh … ." helaan nafas Vin yang membuat Renata sedikit terkejut

"A–ada apa pak?" tanya Renata kebingungan.

"Ren ... kau sakit? sebaiknya kau pulang saja jika kau memang sakit, aku bisa mengurus semua ini sendiri disini." seru Vin menunjukkan ekspresi khawatir.

"Ti-tidak pak saya sama sekali tak– " ucapan Renata terpotong

"Aku melihat dari bajumu yang berantakan, make up mu yang memudar, dari raut wajahmu aku bisa tahu kalau kau sedang tidak baik - baik saja, sebaiknya kau pulang atau mau aku antar?" ucapan Vin yang sempat membuat Renata tak bisa berkata - kata.

"Ren ... ." panggil Vin.

"Tak usah pak saya bisa pulang sendiri, terimakasih karena telah mengizinkanku pulang saya pamit." jawab Renata lirih

Renata keluar dari ruangan Vin, pikirannya campur aduk dan masih tak percaya apa yang ia lihat di pintu masuk kantor.

Jam Renata menunjukkan pukul 18.35, tak lama taksi datang ia segera menaiki taksi itu, dan sampai di rumahnya. Renata membuka pintu rumah, memandang sebentar foto mendiang orang tuanya, lalu menuju kamar dan melempar semua barang - barangnya. Amarah Renata yang sudah tak bisa dihentikan.

"Kenapa!? hah!? kenapa, padahal baru tadi siang aku senang karena naik jabatan tapi tadi iya tadi aku kembali melihat kejadian yang paling ku takuti, lagi - lagi aku kehilangan orang yang spesial di hidupku!!" teriakan Renata yang menggelegar di kamarnya.

"Apa aku tak pantas untuk merasakan kebahagian, aku juga ingin bahagia seperti orang lain!!!!!, hidupku hanya dipenuhi oleh pahitnya kehidupan, tiada hari tanpa menangis di hidupku. kapan tuhan? kapan? aku merasakan hidupku yang diwarnai manisnya kehidupan!!!!, aku lelah dengan semua ini aku lelah." ucap Renata duduk dipojok ruangan sambil menangis sejadi - jadinya.

"Kenapa tuhan? setiap aku memiliki orang yang selalu membahagiakan ku, kau harus mengambilnya bukankah itu tak adil!!" Renata kembali berteriak, ia melampiasakan emosinya dengan melempar barang - barang yang ia miliki.

Kamar Renata yang berantakan, mental Renata yang sedang tidak baik, malam itu ia habiskan dengan menangis. bahkan ia memiliki niat untuk mengakhiri hidupnya. ia mengambil pecahan kaca lalu menggores tangan nya, darah Renata mulai bercucuran, Renata mengentikannya karena teringat pesan orang tua nya bahwa apapun yang terjadi Renata harus bisa melewati nya. Tapi, Renata masih menggores - gores tangannya. sekarang tangan Renata penuh dengan bekas luka.

"Ibu ... ayah ... maaf Renata sudah bertindak sejauh ini, Renata minta maaf, karena tidak bisa menjadi anak yang baik, maaf ... maaf."

Renata kembali menangis karena melihat goresan luka di tangannya, lalu ia bangkit dari tempat dimana ia duduk, membuka pintu kamar dan menuju kamar mandi. Melihat dirinya di cermin kamar mandi sambil berpikir bahwa ia memang tak ditakdirkan untuk bahagia. Renata membersihkan dirinya dan menutup luka di tangan nya serapat - rapatnya sama seperti ia menutup luka dihatinya dengan senyuman palsu.

"Ternyata ... aku seburuk itu ya ... pantas saja takdir tak mau berpihak padaku." ucap Renata menatap ke arah cermin.

Di malam yang sunyi, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak menunjukan pukul 02.45 dan suara jangkrik diluar. Renata menatap ke jendela melihat betapa indahnya langit malam yang dihiasi bintang - bintang.

"Aku seperti langit tanpa bintang - bintang, dan terus meunggu bintang - bintang agar menghiasi langit malam." ucap Renata yang termenung takjub melihat bintang di langit.

"Aku berbeda dengan bulan yang selalu mendapat sinar, sedangkan aku ... ah sudahlah." ucapnya sebelum ia menutup tirai kamar dan bersiap tidur.

Sinar matahari menembus dari celah jendela kamarnya, burung - burung berkicau, alarm Renata berbunyi. Hari baru dimulai, Renata bangkit dari tempat tidurnya, ia menginjak pecahan kaca yang pecah kemarin malam.

"Aduh ..." seru Renata terkejut dan melihat setiap sudut kamarnya yang berantakan.

"Apakah ... kemarin aku semarah itu?, dan bertindak berlebihan?" ucap Renata sambil melihat tangannya.

"Hari ini hari libur, sepertinya aku harus membereskan rumah lalu pergi ke swalayan untuk berbelanja bulanan, dan juga ..." mata Renata terarah pada sebuah foto kenangan nya bersama Bian ia mengambil foto tersebut lalu membantingnya ke lantai.

"Aku benci nama itu, aku benci segalanya tentang dia, dasar brengsek."

"Sudahlah, aku pasti bisa melupakan nya." ucap Renata bersiap untuk mandi.

Saat mandi... ponselnya berbunyi tiada henti, namun Renata tak mempedulikan nya dan masih sibuk bersiap, karena ia terganggu dengan suara itu ia mengangkat nya dan menduga kalau yang menelefon nya itu Bian. Dugaan Renata benar.

"Apa?" tanya Renata dingin

"Kau marah? maafkan aku, aku tak bermaksud untuk ... " jawab Bian dengan alasannya

"Alasan!! aku tak membutuhkan nya, aku sudah melihat nya dengan mata kepalaku sendiri. Alasanmu itu tak berlaku lagi Bi." ucap Renata dengan meninggikan nada bicaranya

"Iya aku tahu itu ... aku minta maaf banget." Bian yang terus membujuk Renata.

"Maaf!? maaf kau bilang? setelah kau menghancurkan perasaan seseorang ... kau bilang maaf?" ucap Renata kesal.

"Jadi sekarang maumu apa Ren? aku cape ngehadapin sikap kamu yang gini." ucap Bian ikut kesal.

"Sama Bi, aku juga cape ngehadapin sikap kamu, sekarang aku mau kita break aja ya" tegas Renata.

"Oke kalau itu yang kamu mau, sekarang juga kita putus, makasih kenangannya bye." ucap Bian dengan meninggikan nada bicaranya.

air mata Renata berjatuhan dengan sendirinya. Kenangan indah bersama Bian harus hilang seketika.

"Padahal kita sedekat itu loh, kok bisa ya jadi seasing ini." ucap Renata sambil menghapus air mata di pipinya.

----------------

Bersambung.......

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!