Emelly dengan antusias memperhatikan sang pembantu yang sedang memasak makanan, jujur di dalam hatinya, Emelly sangat iri karena tidak pandai memasak. Dirinya hanya bisa memasak jenis mie instan saja.
"Sudah siap, Non."
Emelly tersenyum semangat. "Bibi taruh semua makanan ini di meja makan, ya. Emelly mau memanggil Theo dan Rion dulu."
Sang pembantu mengangguk, dengan cepat Emelly berlari ke kamar Theo dan Rion.
Saat sampai di kamar Rion, Emelly berfikir sebentar, jujur saja dia masih canggung dengan adik tirinya itu, Emelly belum terbiasa mengomelinya walaupun Rion sudah tinggal di sini belasan tahun.
"Rion sarapan! Hari ini hari Senin! Jangan sampai telat!" teriak Emelly tanpa mengetuk pintu.
"Ya!" sahut Rion di dalam kamar, sangat singkat sampai ingin rasanya Emelly merobek mulut Rion. Emelly menggelengkan kepalanya, dia berjalan menuju kamar Theo.
Ketika sudah sampai, Emelly mengepalkan tangannya untuk memberi semangat, dia harus tetap sabar menghadapi Theo yang tidurnya seperti seseorang yang sudah meninggal. Setiap pagi, pasti akan ada konser jika membangunkan Theo.
Brak!
Brak!
"Bangun! Ayo bangun!" teriak Emelly yang geram, bahkan Emelly tak mengetuk pintu melainkan mendobraknya dengan sangat kencang.
Seseorang yang masih dalam mimpi itu terganggu dengan dobrakan pintu, dia menutup kedua telinganya dengan bantal.
"Theo! Ayo bangun! Sarapan!"
Mendengar suara kakaknya yang menggelegar membuat Theo berdecak. "Theo tidak akan mati kalau tidak sarapan juga!"
Emelly menggeram, dirinya tak mau kalah. "Cepat! Jangan banyak drama!"
"Theo tidak mau menjadi aktris! Karena tidak pandai bermain drama!"
"Ck! Anak ini." Emelly berkacak pinggang mendengar jawaban adiknya. "Ayo sarapan! Theo!"
"Tenang Kak! Theo tetap tampan walaupun tidak sarapan!"
"Yasudah tetap saja tidur! Dan jangan harap bisa keluar kamar!"
Mendengar itu, Theo langsung beranjak dari tempat tidur dan berlaku ke pintu. Dengan cemas ia membuka pintu yang sempat ia kunci, untung saja kakaknya belum mengunci pintu dari luar. Kakaknya ini tidak pernah main-main dengan ucapannya.
"Iya, Kak. Theo sudah bangun."
Emelly berdecak. "Mandi dulu sana. Bau!" Setelah mengucapkan itu, Emelly meninggalkan Theo yang bergumam.
"Harum lah! Cowok tampan selalu harum."
***
Semua orang sudah berada di meja makan. Theo yang makan dengan rakus dan Rion makan dengan cuek dan acuh, jangan lupakan dengan wajah juteknya. Sedangkan Emelly makan dengan khawatir, masalah yang dirinya trending membuatnya tak nafsu makan.
Theo dan Rion masih di bangku SMA dan sudah kelas dua belas. Keduanya sama-sama mengambil jurusan IPA.
Walaupun sikap Theo tak begitu bagus, dia tetap memiliki otak yang cukup pintar. Di sekolahnya, Theo menjabat sebagai ketua OSIS yang dingin dan angkuh, berbeda jika di rumah, dia berubah menjadi seseorang yang manja dan jahil.
Sedangkan Rion, dia juga memiliki sifat yang hampir sama dengan Theo, namun perbedaannya, dia tak merubah sifatnya jika di rumah. Baginya keluarga ini penuh drama yang sok harmonis, dan Rion tak mau ikut dalam drama keluarganya ini.
Menurutnya, kedua saudara tirinya dan ayah tirinya memang tak benar-benar menyayanginya. Oleh karena itu ia selalu bersikap seperti orang lain. Rion takut, ketika ia sudah menyayangi mereka, mereka akan meninggalkannya, Rion tak mau itu terjadi. Jadi lebih baik ia menjaga jarak. Dan karena traumanya di masa lalu yang sulit membuatnya percaya apa itu kasih sayang dan perhatian.
"Kakak kenapa?" tanya Theo, pertanyaannya membuat Rion melirik ke arah Emelly.
"Ha? Tidak apa-apa kok." Emelly meminum air untuk menenangkan pikirannya.
Theo menghela nafas. "Yasudah, Theo berangkat dulu."
Emelly mengangguk. "Hati-hati!"
Emelly kembali menatap makanannya, yang masih belum tersentuh. Ia mendongak melihat Rion yang makan dengan sangat lambat, bahkan makanannya masih banyak berbeda dengan piring Theo yang memang sudah bersih.
Kalau Rion lambat begini, dia pasti terlambat.
Emelly berdiri mengambil tempat makan, dan mengisinya. Rion hanya mengangkat bahunya acuh, tidak peduli.
"Nih."
Rion mendongak, keningnya mengkerut. "Apa?"
"Ini kamu bawa ke sekolah. Agar tidak telat."
Rion masih diam.
"Ayo Rion! Kalau kamu tidak berangkat juga nanti bisa telat. Apalagi ini hari Senin."
Akhirnya Rion berdiri, dia dengan ragu mengambil nasi kotak itu lalu membukukan punggungnya seperti orang-orang Korea yang ingin pamit.
Emelly hanya mengangguk. "Hati-hati!"
Rion tak menjawab, dia berlari meninggalkan rumah sambil membawa kotak makan.
***
Morgan Zach, siapa yang tak mengenal dirinya? Seorang CEO muda yang terkenal karena kehandalannya dalam bisnis.
Menjadi terkenal memang tak sepenuhnya menyenangkan, dia harus kebal dengan omongan orang-orang tentang dirinya, harus sabar ketika ada berita buruk tentangnya, namun hingga saat ini namanya masih bersih dari gosip miring yang mungkin akan mengotori citra baiknya.
Menjadi sosok Morgan juga harus proporsional, dia tidak boleh melibatkan perasaan apapun ketika sedang bekerja namun kali ini ia memang gagal, dirinya gagal menahan perasaannya saat lima bulan yang lalu seseorang yang masih ia cintai melamar kerja di kantornya.
Dia adalah Claudia Anita, perempuan itu berhasil masuk kedalam hidupnya lagi, menerobos hatinya yang sedang dalam proses melupakan. Hatinya kembali hancur melihat perempuan itu yang selalu tersenyum manis ke padanya.
Mantannya saat kuliah, kini berstatus menjadi sekretaris di kantornya dan dengan santainya perempuan itu selalu mengumbar senyuman seolah-olah tak pernah terjadi apapun antara dirinya dan Morgan.
Entah itu disengaja atau tidak, Claudia selalu bersikap manis yang membuat Morgan takluk padanya, dirinya seperti seorang kucing jika berhadapan dengan Claudia.
Namun hingga saat ini, Morgan dan Claudia masih belum mempunyai hubungan apapun, kecuali sebatas sekretaris dan atasan. Mungkin belum, entah sampai kapan mereka saling jujur dengan perasaan yang ingin saling memiliki.
Tok!
Tok!
"Masuk!" sahut Morgan yang masih mengerjakan berkas-berkas, ia menjawab ketokan pintu itu tanpa mengalihkan pandangannya dari pekerjaannya.
Dengan perlahan, sosok yang mengetuk itu muncul, dia datang membawa nampan yang berisi secangkir kopi. Perempuan itu melangkah dengan anggun menghampiri atasannya.
Suara kaki melangkah, membuat Morgan mendongak. Dirinya bisa melihat Claudia yang tengah tersenyum berjalan ke arahnya.
"Ini Pak," ujarnya sambil meletakkan secangkir kopi itu. Morgan berdehem, menghilangkan rasa gugupnya, dia mengambil kopi itu dan meminumnya.
Claudia hanya tersenyum, namun lain dengan jantungnya yang berdegup kencang, lima bulan bekerja di sini, tidak membuat perasannya berubah, dia masih saja menyimpan perasaannya itu. Claudia masih gugup berhadapan dengan Morgan walaupun sudah lima bulan bekerja.
"Terimakasih. Kamu boleh pergi." Morgan kembali berkutat dengan berkas-berkasnya.
Claudia tersenyum, lalu pergi dari ruangan Morgan.
"Entah sampai kapan, aku bisa memendam perasaan ini," ujarnya tersenyum menatap ke arah pintu yang sudah tertutup rapat.
Namun ketika mengingat sesuatu, senyuman itu luntur, tangannya mengepal kuat. "Aku tak boleh seperti ini, dia hanya masa lalu. Dan sampai kapanpun seseorang di masa lalu tidak akan pernah menjadi masa depan."
Karena pikirannya mulai kacau, Morgan berdiri dan berjalan ke arah sofa, dia menyalakan televisi yang sedang menayangkan berita.
"Emelly Carolyn penyebab kecelakaan?" gumamnya pelan, dia membaca huruf besar dalam berita itu.
"Emelly Carolyn?" gumamnya sekali lagi, sepertinya dia pernah mendengar nama itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Puja Kesuma
buanglah mantan pada tempatnya bukan dikantormu morhan...
2022-09-30
0
Eva Karmita
jangan terjebak dengan masa lalu, pandanglah kedepan jangan menoleh ke belakang lagi Morgen
2022-09-25
0
fima12
lanjut lagi dong 🤭
2022-09-25
0