Sasha terbangun dengan kepala berat dan lelah. Semalaman dia tidak bisa tidur. Percakapannya dengan Jean benar benar menyita ruang di otak nya untuk berfikir. Sasha pergi melihat ke kamar putranya. Dia masuk dan duduk di tepi ranjang. Mengamati wajah damai Rainer yang masih tidur.
"Kau sangat mirip dengan ayahmu." Gumam Sasha.
Setelah mencium puncak kepala Rainer, Sasha beranjak pergi untuk mandi dan bersiap ke kantor. Setelah mandi dan siap dengan dress selutut berwarna peach, Sasha meraih tasnya dan keluar menuju dapur. Disana tentu saja sudah ada bibi Anne yang menyambutnya dengan segelas kopi dan omelet.
"Pagi bibi Anne." Sapa Sasha.
"Pagi sayang." Jawab bibi Anne. "Oh ada apa dengan kantung mata itu." Bibi Anne menunjuk wajah Sasha.
"Sepertinya aku kurang tidur." Sasha meringis menyentuh sisi wajahnya.
"Jangan sungkan untuk cerita kepadaku. Kau tahu aku sudah menganggapmu seperti anakku sendiri." Bibi Anne tersenyum lembut mengelus lengan Sasha.
"Bibi, apa yang akan kau lakukan jika bertemu kembali dengan orang yang sudah mengecewakanmu?"
"Biar aku tanya, apa kau membencinya?"
"Entahlah, suatu waktu aku sangat membencinya. Tapi setelah mendengar alasan dia pergi, sedikit banyak aku paham dan mengerti. Apalagi saat aku tahu dia datang ke Chicago untuk mencariku. Aku merasa sedikit memahaminya."
"Itu artinya kau belum selesai dengan perasaanmu. Ikuti kata hatimu. Tuhan mempertemukan kembali kalian, mungkin agar kau bisa menyelesaikan persaanmu." Bibi Anne tahu, pasti Sasha bertemu kembali dengan Jean.
"Tapi.... dia sudah menikah."
"Jika takdir kalian bersama dimanapun dan apapun kondisi kalian, Tuhan akan bisa menyatukan kalian."
Sasha tersenyum mendengar nasehat wanita paruh baya yang sudah dia anggap seperti ibu nya sendiri. Tapi sepertinya Sasha sudah tahu akhir nya seperti apa. Jean sudah terlalu jauh untuk bisa ia jangkau.
Sasha menyelesaikan sarapannya dan menaruh piring kotornya di bak cuci piring.
"Terima kasih sudah membuat perasaanku lebih baik." Sasha memeluk bibi Anne sayang.
"Kau harus bahagia. Bukan hanya untuk dirimu tapi juga untuk Rainer."
Sasha mengangguk lalu berpamitan untuk berangkat kerja. Saat Sasha membuka pintu, saat itu pula Jack membuka pintu apartement yang berada persis di depan pintu apartement Sasha.
"Morning." Sapa Jack dengan senyum nya yang menawan.
"Morning Jack." Sapa Sasha.
"Bareng ya." Jack meminta Sasha untuk berangkat bersamanya.
"Tidak perlu, Jack sungguh. Aku tidak mau merepotkanmu."
"Aku tidak merasa direpotkan."
Jack langsung menekan tombol Basement di lift.
"Aku bisa menghemat ongkos taksi kalo selalu begini."
"Baguslah. Kita bisa pergi dan pulang bersama."
"Jack!!" Tegur Sasha. "Astaga, aku hanya bercanda. Pokoknya jangan. Tidak ada rekan kerja yang setiap hari antar jemput."
"Aku tidak antar jemput. Kita hanya pergi dan pulang bersama."
"Sama saja Jack. Apalagi aku wanita. Kau seharusnya melakukan itu untuk kekasihmu."
"Aku tidak punya."
"Aku tidak percaya."
Jack mengedikkan bahu tidak peduli.
"Kalau aku punya untuk apa aku repot repot mendekatimu."
Mata Sasha terkejut menatap Jack.
Astaga. Seketika suasana menjadi canggung.
Ting
Suara lift menyadarkan Mereka. Lalu keduanya keluar dari lift. Tapi langkah Sasha berhenti.
"Jack... sepertinya aku naik taksi saja."
Jack tertawa melihat Sasha canggung.
"Aku hanya bercanda Sasha."
Sasha yang kesal melihat Jack tertawa memukul lengan Jack dengan tasnya.
"Kau tidak boleh melakukan candaan seperti itu kepada seorang wanita."
"Hahaha. Iya maaf. Maafkan aku."
Jack menangkap pergelangan Sasha dan menggandengnya sampai mobil. Yaaa beberapa hari ini, entah kenapa Jack dan Sasha menjadi lebih dekat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jean sudah rapi dengan setelan kerjanya, lalu turun kebawah untuk sarapan. Di meja makan sudah ada Jessica yang tengah menunggunya. Jean menarik kursi di paling ujung dan duduk.
Jessica mengambil piring Jean dan mengambil nasi dan lauk untuk suaminya.
"Kau baik baik saja? Apa masih pusing?" Tanya Jessica. Semalam suaminya pulang mabuk, dia pasti bangun dengan sakit kepala.
"Aku baik baik saja." Jawab Jean sambil mulai makan.
"Maafkan aku." Jessica menunduk menatap sarapannya yang masih belum tersentuh.
Jean menghentikan makannya, menaruh sendok dan menatap Jessica.
"Aku yang harusnya minta maaf padamu. Pikiranku sedang kacau semalam."
"Apa ada masalah dengan perusahaan?"
"Tidak ada. Kau tidak perlu memikirkannya."
"Jean, kita sudah 3 tahun menikah. Selama itu juga kau sudah menjadi suami yang sempurna di depan keluargaku. Maaf kalau aku banyak menuntutmu."
"Itu sudah kewajibanku."
"Tapi aku belum bisa kalau kau ingin bercerai."
Jean menatap terkejut istrinya. Bagaimana bisa dia tahu kalau Jean ingin bercerai dengannya.
"Sasha Alison. Itu alasanmu bukan?"
Jean diam tidak menjawab. Benaknya terus berfikir dari mana Jessica tahu tentang Sasha. Jean tidak pernah menyinggung Sasha selama mereka bersama.
"Aku tahu dia kekasihmu. Aku tidak akan melarangmu untuk bertemu atau berhubungan dengannya, tapi jangan sampai media bahkan keluargaku tahu."
"Jessica... Aku..."
"Dan bisakah kau bawa dia kemari. Aku ingin mengenal dan berteman dengannya. Aku yakin dia pasti salah paham dengan hubungan kita. Aku bisa menjelaskan padanya."
"Kalau itu sepertinya sulit. Dia bahkan tidak suka bertemu denganku."
"Kau masih mencintainya bukan. Maka dari itu jangan menyerah, atau kau bisa kehilangan dia."
Jean menatap Jessica bingung. Wanita ini benar benar berhati besar. Sungguh Jean tidak habis pikir.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sasha memasuki gedung Mauren grup bersama Jack. Dari kejauhan Kim terlihat berjalan menghampiri mereka.
"Bagaimana bisa kau masuk ke mobil tuan Synder kemarin?" Kim bertanya tanpa basa basi. Gosip itu menjadi tranding topic di kalangan karyawan Mauren grup.
"Nothing special, Kim." Jawab Sasha santai.
"Aku dengar dia bahkan menggandeng tanganmu." Kim masih berusaha mencari tahu.
Sasha tahu Kim memang orang paling Kepo diantara orang yang Sasha kenal.
Mereka bertiga sudah masuk ke ruangan tim marketing. Rose yang melihat kedatangan rekannya khususnya Sasha ikut menghampiri Sasha.
"Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu jika kau menanyakan hal yg serupa seperti Kim."
Sasha menatap tajam Rose yang sudah membuka mulutnya hendak bertanya.
"Kalian tidak seharusnya mempercayai gosip itu." Jack akhirnya bersuara.
"Kau juga Jack. Kau pergi kemana tiba tiba kemarin?" Kim bertanya kesal karena kemarin Jack tiba tiba pergi.
"Urusan pekerjaan." Jawab Jack singkat.
Padahal, Sasha lah alasan Jack pergi kemarin. Jack langsung berlari pergi saat melihat Sasha dan Jean pergi bersama saat jam makan siang. Dia mengikuti mobil Jean.
"Oh ya Sasha, proposal kita apa sudah di setujui?" Tanya Rose.
Sasha bingung harus menjawab apa. Pasalnya pertemuan dengan Jean kemarin tidak membahas sedikitpun perihal proposal yang menjadi alasannya ke ruangan direktur kemarin.
"Ehmm.. Direktur akan memberi kabar secepatnya. Dia masih mempelajari proposal kita."
"Benarkah? Tidak biasanya direktur seperti ini. Biasanya dia hanya melihat sekilas dan langsung memberi jawaban."
"Apa kau lupa dia direktur baru. Mungkin dia butuh waktu untuk menyesuaikan." Jack bantu memberi penjelasan.
"Ah iya kau benar juga."
Sasha melirik Jack dan tersenyum berterima kasih.
Waktu berjalan sangat cepat. Jam sudah menunjukan pukul 5 sore. Sudah waktunya mereka pulang.
Kim dan Rose sudah terlihat merapikan mejanya. Sedangkan Sasha masih sibuk dengan laptop di depannya.
"Sasha, kau tidak pulang?" Kim menghampiri meja Sasha.
"Tanggung. Kalian duluan saja." Sasha menyenderkan punggungnya dan merenggangkan badannya.
"Pekerjaan tidak akan ada habisnya. Kau bisa melanjutkan besok." kata Rose yg sudah ikut berdiri di samping meja Sasha.
"Iyaa aku tahu. Aku hanya butuh 30 menit lagi untuk menyelesaikannya. Kalian duluan saja."
Suara telepon di meja Sasha berbunyi.
"Halo."
"Sasha, ini Maria. Tolong keruanganku sekarang."
Tut
Suara telepon terputus. Sasha menutup teleponnya dan berdiri.
"Kau mau kemana Sasha?" Tahya Kim.
"Aku harus ke ruangan Hrd sekarang. Maria mencariku."
"Di jam segini?" tanya Kim heran.
Sasha mengedikkan bahunya tidak tahu. Dia meraih ponselnya dan berjalan keluar. Penasaran ada urusan apa hrd dengannya.
Sasha mengetuk pintu ruangan Maria.
"Masuk."
Sasha membuka pintu dan masuk ruangan Maria. Di sana juga sudah ada manager umum.
"Duduklah." Maria menunjuk sofa disampingnya.
Sasha duduk di samping Maria, menunggu wanita di depannya ini bicara.
Maria mengambil selembar kertas di atas meja dan menyerahkan pada Sasha.
Sasha mengambil kertas itu dan membaca isinya. Sasha terkejut membaca tulisan di kertas itu. Dirinya sampai membaca berulang kali untuk memastikan.
"Apa ini Maria?" tanya Sasha bingung.
"Seperti yang kau lihat. Tuan Synder sendiri memilihmu untuk menjadi sekretarisnya."
Manager umum di depan Sasha meraih cangkir kopinya dan menyesap pelan.
"Ta.. tapi kenapa? Bukankah direktur sudah memiliki sekretaris?"
"Elena sudah menyerahkan surat pengunduran dirinya." jelas Maria.
"Lalu kenapa aku?" Sasha masih bingung kenapa malah dirinya yang harus menggantikan.
"Aku sudah bilang tuan Synder sendiri yang memilihmu. Kalau kau penasaran tanyakan langsung padanya."
Sasha menatap kesal kertas di tangannya. Jean benar benar sudah membuatnya marah.
"Bukankah harusnya kau senang, kau berhasil naik jabatan dengan mudah. Dari tim pemasaran dan langsung menjadi sekretaris direktur. Itu pencapaian yang luar biasa."
Sasha tahu tidak ada pujian di dalam kata kata yang Maria ucapkan. Itu adalah sindiran halus.
"Terima kasih Maria, aku hargai pujianmu. Kalau begitu aku permisi dulu, aku harus menemui tuan Synder untuk mengucapkan Terima kasih."
Setelah puas melihat wajah kesal Maria, Sasha berbalik pergi dan keluar. Tangannya mencengkram kertas di tangannya. Kakinya melangkah menuju lift dan langsung ke lantai paling atas.
"Selamat sore nona Alison."
Sasha mengabaikan sapaan Elena dan langsung membuka pintu tanpa mengetuknya.
Jean yang tengah menelpon sambil berdiri di dekat jendela membalikkan badannya.
"Aku akan menghubungimu kembali."
Jean memasukkan ponselnya ke kantong celananya dan mendekati Sasha.
"Tolong jelaskan ini." Sasha memberikan kertas yang ia bawa.
Jean mengambil kertas itu. Tanpa melihatnya ia meletakkan kertas itu di meja dan menatap Sasha.
"Aku membutuhkan sekretaris. Elena mengundurkan diri karena dia akan menikah bulan depan."
"Dan kenapa aku?" tanya Sasha kesal.
"Tidak ada salahnya merekrut sekretaris dari dalam. Akan terlalu lama jika mencari dari luar."
Sasha diam tidak bisa berkata kata. Dia menghela nafas pelan menatap kertas yang Jean letakkan di mejanya.
"Kau tahu beredar gosip aku yang masuk ke mobilmu dan makan siang bersama? dan sekarang kau menjadikan aku sekretarismu? bagaimana menurutmu reaksi orang orang melihat aku?"
Jean mendekat dan berdiri di hadapan Sasha.
"Jangan pedulikan orang lain."
Sasha tersenyum mengejek.
"Mudah bagimu karena mereka bawahanmu."
"Aku akan memecat mereka yang berani membicarakanmu."
"Astaga Jean." Sasha tidak habis pikir dengan Jean yang berfikiran seperti itu. "Apa kau merencanakan sesuatu?" selidik Sasha.
"Tidak ada. Untuk apa aku melakukannya."
Sasha menatap Jean, melihat apakah ada sesuatu yang Jean sembunyikan.
"Aku sangat mengenalmu. Menurutku lebih baik orang yang aku kenal yang menjadi sekretarisku dari pada orang luar."
Sasha diam tidak merespon. Mungkin jika direkturnya bukan Jean, Sasha akan bersorak karena menjadi sekretaris direktur berarti naik jabatan dan tentu saja gaji yang lebih besar. Entah kenapa Sasha selalu berfikiran negatif jika itu berhubungan dengan Jean.
"Apa kau masih marah padaku?" Jean berjalan ke mesin kopi otomatis. Membuat 2 cangkir kopi. Memberikan satu cangkir untuk Sasha.
"Aku rasa sepertinya percuma untuk marah. Aku sudah baik baik saja sekarang."
Jean menatap lama Sasha, lalu bertanya tentang hal yang mengganggu pikirannya.
"Siapa anak kecil yang kau bawa ke pantai?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Gita aksa Mandala
terimakasih kak,semangat😍😍😍
2022-09-21
1