WIJAN merasa kesal ketika Jauhari selalu ingin mencampuri urusannya. Meski ia sudah berkali-kali menunjukkan sikap kesalnya itu, tetap saja Jauhari datang dan berujung menawarkan bantuan.
“Sebaiknya kau tanyakan kepada Sabran. Dia pasti sudah menceritakannya kepadamu. Bukankah selama ini ia selalu memata-mataiku?” jawab Wijan ketus.
“Dia tak pandai bercerita,” sahut Jauhari memaksa ingin mendengar langsung cerita dari mulut Wijan.
“Bukankah tadi anak buah Yudha memukulimu? Ceritakan saja kenapa mereka sampai membuat wajahmu seperti itu?” desak Sabran tak sabar.
“Hanya salah paham, tak perlu dibesar-besarkan. Kalian saja yang selalu ingin mencampuri urusan orang lain,” ucap Wijan kesal.
“Bukan itu masalahnya,” sahut Jauhari memotong pembicaraan. “Selama ini aku berupaya menghalang-halangi rencana Yudha menguasai ladang cengkeh milik warga. Tapi kenapa kau justru berurusan dengan Yudha?”
“Itu urusanmu dan kau tak berhak mengatur kepada siapa aku harus berurusan. Toh aku bisa menyelesaikan setiap masalahku,” suara Wijan meninggi dan itu membuatnya meringis menahan sakit.
Suasana menjadi tegang. Jauhari menyadari jika terus memaksa, situasinya akan menjadi rumit. Ia tahu persis bagaimana watak sahabatnya itu, keras kepala dan mudah tersinggung. “Lantas bagaimana keadaan Patra?”
"Ia baik-baik saja."
"Berarti besok dia akan masuk sekolah?"
Wijan terlihat ragu. "Sepertinya dia perlu istirahat dua atau tiga hari ini."
"Kau bilang dia baik-baik saja? Jauhari memandangi ruangan yang hanya ditutup dengan korden di dalam sana. “Aku ingin bertemu dengannya," ucap Jauhari mengisyaratkan agar Wijan menunjukkan tempat Patra beristirahat.
“Sebaiknya aku menunggu di sini saja,” celetuk Sabran menyadari sejak tadi gelagat Wijan tampak tak senang melihat kedatangannya bersama Jauhari.
“Sudah kubilang dia baik-baik saja. Biarkan dia istirahat. Terakhir tadi kulihat ia sedang tidur,” sahut Wijan tak beranjak dari tempat duduknya.
"Satu bulan lagi Patra lulus," Jauhari kembali mengingatkan. “Sebagai gurunya, aku berhak memastikan Patra baik-baik saja.”
“Jadi kau tak memercayaiku? Sebagai orangtuanya aku juga memiliki hak terhadap Patra,” ucap Wijan tetap bersikeras tak mengijinkan Jauhari bertemu dengan anaknya.
“Apa salahnya kalau aku menemui Patra sebentar. Kalau ia tidur, tak perlu harus dibangunkan. Sebentar saja,” pinta Jauhari.
Wijan tak menemukan alasan lain agar Jauhari membatalkan niatnya. Merasa terus didesak, dengan berat hati ia pun mengijinkan. “Baiklah, ikuti aku. Seharusnya kau tak perlu mengkhawatirkan keadaan keluarga kami,” cecar Wijan menumpahkan kekesalannya.
Di dalam kamar yang sempit, Patra terbaring di atas dipan terbuat dari kayu. Cahaya matahari samar-samar merembes dari celah jendela dengan tirai penutup seadanya.
Di dalam sana, istri Wijan tampaknya sedang merawat Patra. Ia segera menyeka air matanya ketika Jauhari masuk ke dalam kamar.
“Aku akan buatkan air minum untuk kalian,” ucap istri Wijan pergi ke dapur meninggalkan mereka.
Tanpa harus berlama-lama, Jauhari menempelkan punggung telapak tangannya ke dahi Patra. “Kondisi seperti ini kau bilang baik-baik saja? Kita harus membawanya berobat ke Puskesmas,” ucap Jauhari saat mengetahui tubuh Patra sangat panas.
Wijan langsung menarik lengan Jauhari ketika ingin membopong Patra. “Aku tahu apa yang harus kulakukan. Kau sudah melihatnya, sebaiknya kita keluar sekarang!” ajak Wijan memaksa.
“Anakmu sakit, Wijan. Kita harus membawanya segera!”
“Jangan membuatku terpaksa mengusirmu. Jika ingin membantu, biarkan aku menyelesaikan sendiri masalah keluargaku.”
Jauhari menarik napas dalam. Sesekali matanya melirik kepada Patra. “Kau dengar sendiri, ia merintih menahan sakit. Jika suhu tubuhnya semakin panas, bisa buruk akibatnya!”
“Itu urusanku. Sebaiknya kau pulang agar aku bisa membawa Patra ke Puskesmas sendiri!”
“Bagaimana caranya? Dengan tubuh selemah itu Patra tak mungkin duduk sendirian sementara kau mengayuh sepeda. Biar aku mengantarmu," tawar Jauhari memaksa.
Wijan bimbang. Ia berjalan ke luar pintu sebentar untuk menemui istrinya.
“Jangan berpikir terlalu lama, Patra harus segera mendapatkan obat dan perawatan!” teriak Jauhari saat Wijan belum kembali ke kamar.
Tanpa mengucapkan apa pun, saat Wijan kembali menemui Jauhari, ia langsung membopong Patra diikuti oleh istrinya dari belakang.
Jauhari langsung mendahului keluar untuk menyiapkan sepeda motor.
“Kau pergi ke sekolah. Beritahu Sawitri agar menggantikanku mengajar hari ini,” ucap Jauhari terburu-buru memerintahkan Sabran.
Suara sepeda motor terdengar seperti ejekan di telinga Sabran. Pergi ke sekolah tempat Jauhari mengajar itu artinya harus berjalan tiga kilometer. Ia menyesal telah meninggalkan sepeda onthelnya.
***
Setelah mengetahui dokter belum datang, Patra terpaksa harus menunggu di dalam ruangan sambil berbaring. Jam sepuluh memang masih terlalu pagi untuk bisa bertemu dengan satu-satunya dokter yang bertugas di Puskesmas.
Usia dokter itu cukup tua. Sebagus apapun sepeda motor yang dimilikinya, meski perjalanan dari Kota Pelaihari ke Desa Gunung Makmur bisa ditempuh empat puluh lima menit, dokter itu tetap memerlukan waktu dua kali lipatnya. Itupun hanya selama tiga hari, mulai dari Senin hingga Rabu. Sisanya, Puskesmas tanpa dokter.
Jauhari mengikuti Wijan untuk berteduh di bawah naungan Pohon Ketapang. Sejenak mereka hanya memandangi warga desa yang antri untuk berobat. Jauhari lantas mencabut sebatang rumput ilalang, memainkannya lalu memasukkan ke mulut.
“Apa wajahmu tak ingin diobati sekalian?”
“Tidak penting, besok juga sembuh,” tolak Wijan.
“Dulu kau juga bilang begitu saat wajahmu bengkak disengat lebah. Kenyataannya masih perlu bantuan obat.”
“Aku heran denganmu. Selalu saja mengungkit masa lalu.”
“Di tempat ini aku sama denganmu, Wijan. Sendirian. Mengingat semua tentang kampung halaman bisa membuatku merasa nyaman. Apalagi teman bermainku ada di sini.”
Setelah Wijan terdiam cukup lama, akhirnya ia mau bercerita. “Seharusnya aku tidak ikut transmigrasi.”
“Kau menyesal?”
“Lihat dirimu, nasib kita berbeda. Aku hanya orang bodoh, sekolah rendahan pun tak tamat. Hanya nasib baik yang bisa membuatku bertahan,” kenang Wijan seperti menguraikan anyir masa lalunya yang lebih memilih mencari kayu bakar ketimbang sekolah. Baginya, tak berguna menyesali semua itu sekarang.
“Kau masih punya Patra. Tak masalah betapa sulitnya kau menjalani hidup, selama kau bertekad untuk terus menyekolahkan Patra, kelak ia akan memiliki masa depan yang baik!”
Wijan menunduk gusar. “Ia sudah memutuskan berhenti sekolah setelah mengetahui semuanya.”
“Apa masalahnya?”
Sambil berbicara, sesekali Wijan melirik wajah sahabatnya itu. Sengaja ia buat suaranya agar tidak terdengar seperti sedang mendongengkan cerita sedih.
Namun, sekuat apa pun Wijan menutupi getir suaranya, Jauhari bisa mengetahuinya dengan sempurna. Betapa terpukulnya Jauhari ketika mengetahui kalau Sabran meminjam uang kepada Yudha untuk membayar uang sekolah Patra.
“Sewaktu aku menyusul istriku tadi, sebenarnya aku sedang membungkus ini.”
Jauhari penasaran ketika Wijan mengeluarkan pintalan kain dari saku celananya. “Apa itu?”
“Nanti antarkan aku ke pasar. Lagi pula istriku tak pernah memakainya selama ini. Wanita desa seperti dia hanya suka menyimpannya dalam pintalan kain.”
“Jadi kau ingin membayar Yudha dengan hasil penjualan gelang dan kalung emas itu?”
“Sudah kubilang aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Kau hanya perlu mengantarku ke pasar.”
“Sebaiknya kau simpan saja. Aku akan membantumu.”
“Aku kepala rumah tangga. Apa kata istri dan anakku jika selalu mengandalkanmu?” Wijan tetap bersikeras.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
AYU
LIKE dan VOTE buat Patra
2022-10-15
0
donadoni
Sambung trus nih bacanya
2022-10-14
0
Gusnihtmh
terima aja Wijan bamtuan sahabat
2022-10-11
1