Penyesalan Jauhari dan Ingatan Masa Lalu

KABAR yang dibawa Sabran tentang kondisi keluarga Wijan sangat mengejutkan Jauhari. Tanpa menunggu lama lagi, Jauhari segera masuk ke dalam rumah untuk berpamitan kepada istrinya dan kembali menemui Wijan. Meski kesal, istrinya tak mungkin mencegah suaminya untuk menyelesaikan sarapan.

“Kau ikut denganku saja,” Perintah Jauhari segera menyiapkan sepeda motor yang masih terparkir di samping rumah.

“Hanya kita berdua?" tanya Sabran ragu. "Sebaiknya ajak juga Mat Yusi sekalian?"

Jauhari bisa memahami kenapa Sabran menyarankan untuk mengajak Mat Yusi. Tapi Jauhari memilih untuk tidak melibatkan Mat Yusi terlalu jauh dalam permasalahan kali ini.

“Aku khawatir dia kumat seperti dulu. Lebih baik kita berdua saja.”

“Bagaimana kalau nanti…”

“Kau takut?!” Tanya Jauhari tak memberi kesempatan kepada Sabran menyelesaikan ucapannya. Ia sudah bisa menebak jalan pikiran Sabran.

Dalam urusan berkelahi, Mat Yusi memang bisa diandalkan. Namun Jauhari tak ingin urusan menjadi lebih runyam gara-gara kekerasan dibalas dengan kekerasan.

“Sudahlah, aku berangkat sendiri saja!” Jauhari segera menghidupkan sepeda motornya tanpa bersungguh-sungguh ingin meninggalkan Sabran.

Saat Jauhari menoleh ke arahnya, meski ragu ia tetap naik ke atas sepeda motor dengan perasaan cemas.

"Hanya orang jahat yang sengaja memelihara anjing untuk menggigit orang lain," bathin Jauhari merasa kesal mengetahui Yudha semakin membuat onar.

Ada perasaan menyesal yang mengganggu pikirannya beberapa hari ini. Berkali-kali ia menyalahkan dirinya sendiri ketika mengingat tentang Yudha.

Semua berawal ketika kedatangan Yudha ke desa hanya untuk membeli cengkeh. Tak pasti apa yang kemudian membuatnya berniat tinggal bersama warga di desa.

Jauhari sangat mengenal baik Yudha. Ia adalah orang yang pertamakali didatangi Yudha untuk urusan bisnis cengkeh. Harga tinggi yang ditawarkan Yudha mampu menyingkirkan para tengkulak cengkeh lainnya.

Hubungan mereka semakin baik. Bahkan, Jauhari tak sungkan mengajak warga untuk menjual cengkeh mereka hanya kepada Yudha saja.

Lambat laun peran Yudha tak hanya sebagai tengkulak. Dengan uang yang ia miliki, banyak warga yang menerima tawaran Yudha untuk menjual ladang cengkeh mereka.

Satu-persatu Yudha memboyong anak buahnya untuk mengurusi ladang cengkeh. Saat itu hubungan Jauhari dan Yudha masih baik. Mereka sering bertemu dan membicarakan banyak hal untuk pembangunan desa.

Kepada Jauhari, Yudha mengaku berasal dari Jakarta dan memiliki banyak bisnis di kota-kota besar. Jauhari pun maklum jika kemudian Yudha harus bolak-balik ke Jakarta setiap minggunya.

Dari Yudha pula Jauhari mengetahui banyak hal tentang perkembangan cengkeh di tanah air. Selain Kalimantan Selatan, Yudha juga mengaku sering membantu para petani cengkeh di Sumatera.

"Bisnis apapun di Indonesia ini, semua dikendalikan oleh Jakarta," ucap Yudha memberi alasan kenapa ia mesti menjaga hubungan baik dengan para relasi bisnisnya di Jakarta sana.

Jauhari setuju. Meski ia sendiri belum pernah menginjakkan kaki ke Jakarta, baginya itu tak penting. Kehadiran Yudha sudah cukup menjadi jalur penghubung agar harga cengkeh tetap mahal.

Semua tak berlangsung lama. Jauhari merasa tertipu ketika mengetahui Yudha mulai menjalani bisnis rentenir. Awalnya, Yudha memberikan uang pinjaman kepada petani cengkeh tanpa bunga.

Saat mereka tidak bisa membayar sesuai jatuh tempo, Yudha meminta agar dibayar dengan cengkeh yang dihargai sangat murah. Jika mereka tak setuju, maka Yudha memberlakukan bunga tinggi atas keterlambatan pembayaran.

Akibat perbuatan itu, tak sedikit ladang cengkeh yang dimiliki warga diambil paksa oleh Yudha karena mereka tidak bisa membayar uang pinjaman beserta bunganya.

Kenapa kali ini harus Wijan? Pertanyaan itu berkali-kali mengusik pikiran Jauhari. Ia tak terima jika Yudha mengusik hidup sahabatnya itu. Tergesa-gesa ia pun melarikan sepeda motor lebih kencang.

***

Sabran heran mengetahui rumah Wijan sudah terlihat lengang. Tak ada keramaian dan jerit tangis seperti yang ia saksikan sebelumnya. Ia berjalan mondar-mandir memeriksa bagian samping rumah seperti tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Aku tidak bohong, mereka tadi ada di sini,” ucap Sabran membela diri meski Jauhari tak sedikit pun meragukannya.

“Coba kau pastikan Wijan ada di dalam rumah,” pinta Jauhari.

Sabran pun bergegas sambil memerhatikan setiap tanah yang dilewatinya. Wajah sumringah menghiasi wajahnya ketika menemui bekas darah segar.

Sabran menunjuk ke tanah itu, ia berharap Jauhari datang mendekat dan memercayai semua yang sudah ia ceritakan. Baginya, kepercayaan Jauhari sangat penting. Ia sudah merusaknya satu kali. Itu pun tak sengaja. Saat itu Jauhari mengabulkan permintaannya untuk dibelikan sapi.

Pernah rumah Sabran didatangi para perampok dan ia tak berdaya sama sekali. Tak ada perlawanan atau berteriak meminta bantuan.

Sabran justru memilih bersembunyi di dalam rumah dengan tubuh gemetar. Kejadian itu membuat Sabran berhenti memelihara sapi dan setuju dengan tawaran Jauhari untuk bekerja mengawasi gerak-gerik Yudha dan memberitahukan jika terjadi sesuatu dengan keluarga Wijan.

Sekilas Jauhari melihat seseorang mengintip dari balik korden jendela. Ia kemudian menghampiri Sabran yang berkali-kali mengucapkan salam dan mengetuk pintu. Tak lama kemudian Wijan muncul dengan memaksakan senyum di antara wajahnya yang lebam.

“Kami pikir orang lain,” Wijan mempersilakan tamunya untuk segera masuk.

“Memangnya kau pikir siapa?” jawab Jauhari. “Melihat wajahmu seperti itu, aku jadi ingat ketika dulu kau disengat lebah?” Jauhari berharap ucapannya bisa mengingatkan Wijan betapa lucunya kejadian itu.

Saat mereka masih bersama-sama tinggal di dusun, sebelum Wijan memutuskan pergi sebagai transmigran, dengan bangganya ia menceritakan kalau baru saja ditemui seorang lelaki berjubah putih lewati mimpi dan memberinya mantra kesaktian.

Apabila mantra itu dibaca, tubuh Wijan tak akan mempan dengan tusukan senjata tajam, apalagi cuma disengat lebah.

Wijan lantas membuktikannya dengan menaiki Pohon Jati dan memetik sarang lebah di pohon itu. Sengatan pertama mendarat di lengannya. Wijan terkejut dan nekat meremas sarang lebah dan melemparkannya ke bawah.

Namun, tak lama kemudian, beberapa lebah menyerang wajahnya berkali-kali membuat Wijan mengerang kesakitan. Meski gagal, Wijan tetap bersikeras kalau dirinya tetap kebal. Ia berdalih kalau ada yang terlupa dari mantra yang ia ucapkan.

Jauhari tertawa mengingat kejadian itu tapi Wijan tak menanggapinya. Jauhari yakin sahabatnya itu sulit untuk tertawa karena hanya akan membuat otot wajahnya menjadi sakit.

Jauhari tersenyum ketika memerhatikan kumis Wijan. Benjolan di bagian tulang pipi membuat kumis itu tak lagi melengkung ke bawah dengan sempurna.

Sejak dulu, Wijan memang selalu membanggakan kumisnya. Tak banyak orang memiliki kumis yang tebalnya rata hingga melingkar di perbatasan mulut bibir. Ia merasa kumisnya itu bisa membuat dirinya lebih berwibawa.

Walau di beberapa kesempatan, ketika Wijan sedang makan di acara selamatan misalnya, beberapa orang tak sabar menunggu sebutir nasi tersangkut di kumis Wijan. Setelah itu, mereka akan menyindir Wijan dengan mengatakan kalau upilnya jatuh dan tersangkut di kumis yang memintal seperti kawat.

“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Jauhari.

Terpopuler

Comments

AYU

AYU

balas gigit dong

2022-10-15

0

Gusnihtmh

Gusnihtmh

hahahaha lucu thor endingnya

2022-10-11

0

TK

TK

kumisnya melegeda 👏👏😂

2022-10-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!