Ladang Api

Ladang Api

Kepada kampung Halaman

CERITA ini menyusup lewat sebuah pagi yang tak menyenangkan. Tepatnya dua puluh tahun lalu, ketika pepohonan cengkeh masih banyak terlihat di sepanjang tepi jalan menuju pantai Takisung.

Namun, jika kau membaca cerita ini di tahun berbeda, maka kau harus menghitung mundur dan berhenti pada tahun 1993.

Semuanya dimulai dari Desa Sangyang, sebuah desa kecil yang meminjam nama sekaligus bersembunyi di bawah kaki Bukit Sangyang.

Dari jalan besar menuju Pantai Takisung - tolehlah ke kanan - bukit itu memiliki bongkahan batu teramat besar; seperti gadis pemurung yang gelisah dengan tahi lalat di di pipinya. Bongkahan batu teramat besar itu sudah menjorok keluar sejak lama.

Dulu, bongkahan batu itu terlindung oleh banyak pepohonan besar. Perlahan, sebagian batang pohon mulai lapuk dan akhirnya mati bersama daun-daun kering yang membusuk. Tak sedikit batang pohon yang masih tumbuh ditebang oleh orang-orang untuk dijadikan kayu bakar.

Sebenarnya Bukit Sangyang terlalu subur hanya untuk mempermasalahkan beberapa batang pohon yang ditebang.

Namun, tetap saja seorang remaja berusia 18 tahun bernama Patra selalu tak membiarkan bapaknya berpikir seperti itu. Rumah mereka persis di bawah kaki Bukit Sangyang. Bongkahan batu besar di atas sana serupa bayang-bayang menakutkan di malam hari.

“Bagaimana kalau longsor? Jika batu di atas sana menggelinding jatuh, maka pertama kali yang akan terlindas adalah rumah kita,” protes Patra suatu kali.

Sebagai anak laki-laki yang kemudian tumbuh dewasa, Patra terlihat berbeda dengan anak-anak seusianya. Entah apa yang merasuki pikirannya selama ini, tapi itu seringkali membuat Wijan, bapaknya merasa heran, tepatnya bosan.

Banyak anak laki-laki membantu orangtuanya menebangi pohon di Bukit Sangyang, sementara Patra justru menolak bahkan meminta agar bapaknya melarang orang-orang menebangi pohon.

“Pasti gara-gara dia suka bermain ke atas Bukit Sangyang, setan-setan di sana sudah merasuki pikirannya,” Wijan kesal menceritakan kepada istrinya karena dihalang-halangi Patra untuk menebang kayu di Bukit Sangyang.

Wijan berharap istrinya itu mau membantunya untuk memberikan pengertian kepada Patra. Persediaan kayu bakar sudah semakin menipis karena selain digunakan sendiri juga dijual ke pasar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

“Hussh…! Jangan ngomong sembarangan,” jawab istrinya melanjutkan pekerjaan di dapur.

“Jadi kau membela anak itu? Lantas bagaimana kalau persediaan kayu bakar kita habis?”

“Ucapan anak kita itu ada benarnya. Kita masih banyak punya pohon kelapa. Beberapa sudah kering, lebih baik kau tebang saja salah satunya,” jawab istrinya dan meminta agar tak lagi mempermasalahkan pendapat Patra.

Dari balik dinding kamar, Patra mendengarkan percakapan mereka. Ada perasaan senang ketika mendapat pembelaan ibunya.

Bagi Patra, ibunya jauh lebih cerdas dan bijaksana tak sebanding dengan bapaknya. Ia penasaran sekali apa yang dulu membuat ibunya mau dinikahi lelaki ceroboh dan selalu bertindak gegabah itu.

"Tak mungkin gara-gara kumis bapak!" bathin Patra.

Setelah memastikan bapaknya pergi mengambil kapak untuk menebang pohon kelapa, seperti biasa, setiap pagi Patra menyempatkan diri untuk mendaki puncak Bukit Sangyang.

Ia akan berlari sekuat tenaga agar memiliki waktu untuk beristirahat di atas puncak bukit. Setelah itu ia akan pulang ke rumah untuk menyiapkan dirinya pergi ke sekolah.

Berkali-kali ia seka peluh yang membutir di bagian wajah hingga leher. Semakin menanjak, kakinya terasa semakin berat untuk melangkah.

Ia terus bergerak menuju bongkahan batu berukuran besar di atas sana. Patra akan menuntaskan segala lelah, termasuk resah yang selalu menyusup di kepalanya dengan duduk di atas batu itu.

Di kejauhan sana, lanskap Pegunungan Meratus terlihat memanjang dengan kibasan warna hijau lumut. Konon, pegunungan itu menyembunyikan banyak cerita tentang emas dan batubara.

Memandangi Pengunungan Meratus sambil berkhayal menjadi orang kaya bisa membuat Patra tersenyum. Ia tak perlu repot-repot pergi ke Pasar Minggu menemui Paman Ujang, begitu cara orang kebanyakan menambahkan kata paman untuk memanggil para pedagang laki-laki.

Paman Ujang seorang penjahit sepatu berkaki cacat. Sebelum orang-orang mengenalnya sebagai penjahit sepatu, ia dikenal sebagai pemain sepakbola dari Kota Pelaihari dengan prestasi pencetak gol terbanyak.

Patra pernah mendengar langsung dari Paman Ujang tentang orang-orang jahat yang mematahkan kaki kirinya dengan bongkahan kayu.

“Sejak hari itu aku tidak bisa bermain sepakbola lagi,” kata Paman Ujang. “Kau harus berhati-hati. Orang bisa saja menjadi jahat karena sepakbola.”

Paman Ujang menunjukkan bekas tulang kakinya yang patah kepada Patra. Ada benjolan di bagian tulang kering. Di sanalah bongkahan kayu menghantam keras kakinya.

Ia perhatikan wajah Patra dan langsung tertawa. “Tak perlu takut. Justru kau harus melatih kakimu agar lebih kuat dan cepat saat berlari,” gelaknya seolah-olah tak menyimpan dendam sedikit pun.

Patra tak menganggap itu sebuah lelucon dan ia tak tahu kenapa harus ikut tertawa. Seperti saat ini ketika mengingat kejadian itu, semacam ada kelucuan yang tak bisa dijelaskan, Patra masih bisa tersenyum berkali-kali.

Sembari mengatur napas, Patra menyandarkan punggung di sisi batu berwarna hitam keabu-abuan. Di beberapa bagian sisi batu itu terlihat sisa-sisa kekalahan melawan tetesan air hujan.

Dengan kaki berselonjor, Patra meneguk air putih terakhir di dalam botol plastik yang dibawanya dari rumah. Ia lantas berdiri, menaiki bagian atas batu itu. Lelah bermenit lalu, berangsur hilang.

Patra lantas memandangi Kota Pelaihari dari kejauhan. Dari atas Bukit Sangyang, kota itu terlihat seperti sedang mendengkur diselimuti kabut tipis.

Entah apa yang sedang dikerjakan Paman Ujang sepagi ini. Barangkali ia sudah berada di salah satu pasar seperti yang diceritakan kepada dirinya kalau setiap hari mendatangi semua pasar secara bergiliran.

Patra kemudian memalingkan tubuhnya, ia pandangi Pantai Takisung jauh di sebelah Selatan sana. Pantai Takisung terlihat seperti mengecup bibir langit. Namun, bukan alasan keindahan itu kenapa Patra kemudian termenung.

Gelombang pikirannya melaut hingga melintas jauh mengarungi batas tepi lautan. Ia membayangkan sebuah pulau yang menjadi kampung halaman bapaknya. Pelajaran geografi yang ia dapatkan di sekolah tak mampu menjelaskan semua keingintahuannya selama ini.

Entah alasan apa orangtuanya memutuskan mengikuti program transmigrasi dan harus pergi meninggalkan kampung halaman. Padahal, setiap kali ia tanyakan tentang asal dusun bapaknya, Patra selalu mendapat cerita yang selalu dibangga-banggakan.

“Mereka pekerja keras. Walau kulit jari mengelupas akibat bebatuan cadas, tetap saja mereka kerjakan asal bisa menanam bibit jagung,” kenang bapaknya bersemangat.

Bagi Patra, kebanggaan semacam itu membuat segala sesuatunya menjadi kabur. Setiap ada kesempatan, Patra lantas memburu bapaknya dengan banyak pertanyaan.

“Kenapa harus pergi?” Puluhan kali Patra menanyakannya dan ia hanya mendapatkan cerita tentang orang-orang yang selalu giat bekerja keras. Itu bukan jawaban yang ingin ia ketahui.

Bukankah setiap penghuni rumah di bawah sana, mereka juga pekerja keras? Mereka tak peduli dengan panas matahari ketika memanggang kulit.

Mereka pun tak peduli ketika jari kaki mereka terkena kutu air atau tergigit ular. Kenyataannya, mereka tetap kembali ke ladang, menggarap setiap jengkal tanah yang diberikan pemerintah.

Patra yakin, semua itu bukan hanya demi bertahan hidup, tapi jika mereka, termasuk bapaknya,ingin menebus semua masa lalu tentang kampung halaman yang telah mereka tinggalkan.

Lantas, sepahit apakah hidup di kampung halaman mereka sendiri? Apakah menjadi seorang transmigran membuat kehidupan menjadi lebih baik?

Sambil menopangkan dagu di atas kedua lutut, Patra berusaha mengingat beberapa nama keluarga yang tak jelas kemana tujuan mereka pergi. Bukankah pada akhirnya tak semua bisa bertahan di tempat ini?

Tak sedikit para transmigran justru menjual rumah dan tanah mereka untuk selamanya. Tidak ada yang tahu menjadi seperti apa mereka sekarang.

Dari sekian cerita yang telah habis, masih tersisa penggalan cerita bagi mereka yang tetap tinggal. Merawat harapan mereka sebagai seorang transmigran.

Patra masih ingat bagaimana orangtuanya bersiasat dengan hidup. Satu setengah hektar tanah beserta pepohonan cengkeh telah dijual kepada salah seorang pendatang baru demi membiayai operasi adiknya di rumah sakit.

Pendatang baru itu bernama Yudha. Lelaki yang kedatangannya memberikan banyak harapan kepada para petani cengkeh. Diam-diam, Patra membenarkan kekaguman yang pernah diucapkan bapaknya terhadap Yudha.

“Menjadi kaya itu mudah jika kau menjadi orang yang pintar. Sebaliknya, karena bodoh kekayaanmu bisa habis. Lihatlah, Yudha. Dulu ia bukan orang yang punya duit banyak, tapi kepintarannya bisa membuat duit datang sendiri kepadanya. Itu sebabnya bapak ingin kau sekolah setinggi-tingginya agar bisa mengubah nasib keluarga kita.”

Terpopuler

Comments

°Aryas°

°Aryas°

bagus juga ini ceritanya

2023-05-07

0

Jabbar Jabir

Jabbar Jabir

Banjarmasin hadir, ceritamu tersusun sangat rapi, ini bukan amatir tapi ahli yang tersembunyi

2022-10-17

2

Nisa Deeba

Nisa Deeba

jd pengen ke sana, riil kan thooor

2022-10-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!