UDARA segar di atas Bukit Sangyang membuat tubuh Patra segera pulih dari rasa lelah. Sebelum memutuskan untuk pulang, ia pandangi bentangan pohon cengkeh yang ada di Desa Waduk dari kejauhan.
Meski keluarganya tak lagi memiliki ladang cengkeh, seperti hidup yang harus diperjuangkan, baginya tak ada waktu untuk memanjakan kesedihan. Setiap hari ia membantu ibunya memanfaatkan sisa setengah hektar tanah yang sejak awal sudah ditanami dengan pohon kelapa.
Kadang ia membantu ibunya memarut daging kelapa untuk di peras menjadi santan. Pohon-pohon kelapa itu seolah tahu alasan kenapa harus terus berbuah.
Saat senggang, Patra menaiki pohon kelapa dan memotong dahan kering untuk diolah menjadi sapu lidi untuk dijual ibunya ke pasar.
Kepul asap dari dapur rumah-rumah di bawah sana seperti memberi isyarat kepada perut. Dengan malas, Patra melompat turun.
Sambil menenteng botol minuman, ia berhati-hati berlari menuruni Bukit Sangyang agar tak terpeleset atau menabrak pepohonan karena tak bisa menghentikan kecepatan langkahnya.
Pada dataran yang cukup landai, Patra menyapa orang-orang yang sudah mulai bekerja di sawah. Sebagian gedung sekolahnya juga terlihat di depan sana. Ia berbelok ke kiri, beberapa pohon kelapa di tepian jalan mengantarkannya menuju bagian belakang rumahnya.
Langkah kaki Patra terhenti. Ia heran mendapati adiknya meringkuk sambil menangis di dekat pohon kelapa yang baru saja ditebang.
"Kau dimarahi ibu lagi?" selidik Patra mengingat-ingat perilaku nakal adiknya itu.
Kadang Patra merasa kesal karena adiknya sering bertingkah macam-macam di saat pagi hari. Susah disuruh mandi, sarapan, atau diam-diam bermain api di dapur. Saat itulah ibunya kerap marah ketika adiknya membantah ketika ditegur.
Patra tak sampai hati membiarkan adiknya menangis sendirian. “Cepat naik,” perintah Patra membungkuk membelakangi adiknya.
Namun, Tak ada reaksi apa pun dari adiknya. Patra akhirnya menoleh ke belakang. Dengan wajah ketakutan adiknya menggelengkan kepala dan menolak ketika Patra memaksa untuk menggendong dari depan.
Sikap adiknya itu membuat Patra heran. Tak biasanya ia bersikap seperti itu. Selama ini adiknya tak mau digendong hanya ketika perasaannya sedang senang. Seperti ingin menikmati kesenangan tanpa bantuan orang lain.
Namun, saat sedih mengepung, ia perlu pertolongan untuk melewatinya bersama-sama. Patra gagal meredakan tangis adiknya. Matahari semakin meninggi, sekilas ia lihat sumur pompa sudah menunggu.
Air dingin akan membuat tubuhnya lebih segar. Semakin ditunda, ia akan melewatkan sarapan demi tak terlambat ke sekolah. Melihat adiknya masih menangis, Patra segera ingin memberitahu ibunya.
Saat tiba di sumur pompa, Patra langsung menghentikan langkahnya. Ia seperti mendengar suara isak tangis ibunya. Bukankah terlalu pagi untuk bertengkar? Pikir Patra. Ia pun merasa kesal kepada bapaknya.
Masih banyak pekerjaan lain yang bisa diselesaikan di pagi hari dan menjadi kacau setiap kali mereka bertengkar. Tak ada sarapan pagi. Tak ada uang saku sekolah. Tak ada gelak tawa. Semuanya tak ada.
Patra menoleh memerhatikan adiknya masih meringkuk di bawah pohon kelapa. Pantas dia tak mau diajak masuk ke rumah, pikir Patra belum menyadari apa yang terjadi.
Isak tangis ibunya semakin terdengar jelas berasal dari halaman rumah. Patra mendatangi suara itu. Sambil mengendap, punggungnya menempel ke dinding rumah yang belum dilapisi oleh semen.
Ia mengintip. Jantung Patra berdegup kencang saat melihat ibunya bersimpuh di tanah. Lutut Patra semakin lemas saat mengetahui apa yang terjadi. Enam laki-laki bertubuh kekar sedang menendang perut bapaknya berulangkali.
Dalam beberapa saat, Patra tak tahu apa yang harus ia lakukan. Tangisan ibunya menyayat telinga. Ia tak sanggup berlama-lama menahan diri. Masalahnya, jumlah mereka terlalu banyak, apalagi tubuh mereka gempal dan kekar.
Berkelahi adalah sesuatu yang mengerikan bagi Patra. Jika ada kesempatan untuk menghindarinya, Patra memilih untuk pergi sekalipun dikatakan sebagai pengecut. Namun, apa yang terjadi di depan sana membuat hatinya perih.
Ia tak tahu caranya berkelahi apalagi cara untuk memenangkannya. Namun, ketika matanya melirik sebilah kapak menancap di batang kayu tak jauh dari tempatnya berdiri, darah Patra mendesir. Ia mendapatkan ide.
Kapak itu. Ya, kapak itu! Aku akan menakut-nakuti mereka. Hanya itu yang terlintas di benaknya.
Ketajaman kapak itu sudah teruji oleh waktu karena selalu diasah bapaknya untuk membelah kayu setiap hari.
Sekali ayun, batang pohon kayu kering akan terbelah menjadi dua bagian. Tanpa menunda lagi, dengan gerakan cepat Patra meraih gagang kapak dan melepaskannya dari batang kayu.
Patra sempat terdiam sebentar untuk menyakinkan dirinya. Ia kumpulkan semua keberanian, menarik napas dalam hinga akhirnya benar-benar siap menghadap orang-orang itu.
"Berhentiii..!" teriak Patra. Ia pun langsung mendekati ibunya sambil menenteng sebilah kapak. Sinar matahari membuat mata kapak itu berkilap. Patra bisa melihat raut wajah orang-orang itu terkejut.
“Bangun, Bu. Cepat bersembunyi,” pinta Patra.
“Jangan, Nak. Kamu bisa terluka,” ucap ibunya memperingatkan sambil memegangi lengan Patra.
“Tenang saja, Bu. Patra akan baik-baik saja!”
Dengan semua keberanian yang Patra miliki, ia pun melangkahkan kakinya. Namun, tak seperti yang diharapkan, orang-orang itu tidak mundur selangkah pun. Mereka justru bersiap menyambut kedatangannya dengan penuh hasrat. Jari-jari tangan kasar mereka mengepal kuat.
Kepalang basah, pikir Patra. Ia pun nekat memburu lelaki yang menendang perut bapaknya tadi. Terdengar suara ibu Patra menjerit. Sementara bapaknya berusaha ingin mencegah. Namun, sia-sia.
Langkah Patra memburu seperti menggiring bola ke arah gawang. Otot kakinya meregang kuat, langkahnya melesat cepat. Pandangan Patra membidik salah seorang dari mereka.
"Aku harus membuat mereka takut. Cukup satu orang, mereka pasti akan pergi," ucap Patra dalam hati.
Tinggal dua langkah lagi, Patra memperkuat cengkeraman telapak tangannya di gagang kapak. Namun, ia tak memiliki pengalaman dalam perkelahian. Ia tak menduga serangannya akan begitu mudah dipatahkan oleh lawan.
Saat Patra mengayunkan kapak, sigap orang itu menghindar ke samping dan langsung menyarangkan tendangan balasan yang sangat keras ke bagian perut Patra.
"Bukkk!"
Patra meringis. Sakit. Ia sempat terdiam. Napasnya sesak. Matanya berkunang-kunang. Pandangannya menjadi gelap. Beberapa detik kemudian kapak di tangannya meluncur jatuh menancap ke tanah. Patra langsung ambruk.
"Patra..!" "Patraaa..!" ibunya berteriak dan segera menyusul anaknya yang terkapar.
Dua orang dari mereka dengan sigap langsung menghadang ibu Patra. Mereka maju perlahan sambil tertawa keras. Ibunya Patra tak memiliki pilihan lain, melawan pun hanya akan menambah rasa sakit yang sudah ia terima sejak tadi.
Sebelum dua orang itu semakin dekat, ibunya Patra segera berpaling dan berlari menyembunyikan rasa takut ke dalam pelukan suaminya.
"Jika kebun kelapa milik kalian tak ingin kami sita, siapkan saja uangnya. Besok kami akan kembali," ancam salah seorang yang memiliki raut wajah seperti tak pernah tersenyum bertahun-tahun lamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Mia Roses
Bukit Sanghyang masih alami, smoga selamanya begitu..
2022-10-17
1
Hawa zaza
aku mampir lagi disini kak, yuk semangaat🔥🔥
2022-10-16
1
Nisa Deeba
kalo kepepet takut jd berani
2022-10-11
0