Kabar Buruk Sahabat

SEANDAINYA kau bukan seorang petani sekalipun, memiliki sebidang tanah yang gembur dan luas, adalah surga kecil yang akan kau sadari segera. Segala macam jenis tanaman bisa kau semai dengan mudah, bahkan tanpa harus mengetahui tingkat keasaman tanah sekalipun.

Tunas-tunas tumbuh seperti keajaiban belaka. Hanya dengan mengikuti cara-cara sederhana, menyiraminya dengan air dan menaburkan pupuk kandang, semua pekerjaan hampir selesai. Sembari menunggu waktu, kau bisa bercerita banyak hal bahkan berkhayal sesuka hati tentang tanaman yang kau panen nantinya.

Barangkali ada jeda yang membuatmu pusing sementara, saat sekawanan hama tanaman datang bertamu membawa segala ketidakramahannya.

Namun, jika kau mau sedikit belajar mencecap pengalaman orang-orang terdahulu, semuanya akan tampak begitu mudah sambil menjentikkan jari dan seulas senyum kemenangan. Ya, bercocok tanam itu mudah!

Namun, bagi para transmigran, mereka tidak memiliki jaminan tentang tanah yang akan mereka dapatkan. Puluhan hektar tanah seperti bentangan kain kusam keluaran pabrik.

Sekusam apapun, itulah jalan berliku di bawah terik matahari yang menantang. Sederet apapun pengalaman, mereka tetap harus menyesuaikan dengan lingkungan baru.

Sebanyak apapun kegagalan, semangat harus tetap merayap lewat cucuran keringat. Membayangkan para transmigran, mereka seperti koloni semut yang dipindahkan ke dalam botol toples terbuat dari kaca.

Desa Gunung Gundul awalnya adalah perbukitan kecil yang kemudian diratakan menjadi tanah datar oleh pemerintah. Ada sesuatu yang harus dimaklumi ketika lidah lebih nyaman menyebut bukit sebagai gunung. Bagi mereka, sebutan bukit, pegunungan atau gunung bukan sesuatu yang penting untuk dibicarakan.

Mereka lebih senang memikirkan cara menghadapi musim kemarau tiba atau melakukan sesuatu yang bisa membuat hidup mereka tidak terasa mencekam. Seperti ketika mereka bersepakat mengganti nama Gunung Gundul menjadi Gunung Makmur. Bagi mereka, itu semacam doa untuk selama-lamanya.

Jika kau meniru Patra, menaiki Bukit Sangyang, tampak jelas perbatasan antara Desa Gunung Makmur dengan Desa Sangyang. Meski jarak antar desa hanya sejauh tiga kilometer, perbedaan yang mencolok adalah bagaimana cara mereka memanfaatkan jatah lahan transmigrasi.

Desa Sangyang dianugerahi sungai yang hulu mata airnya di Bukit Sangyang. Mereka yang bermukim di desa itu dengan mudah membagi lahan mereka menjadi sawah dan ladang cengkeh. Sementara Desa Gunung Makmur yang gersang, dianugerahi jalan utama dari Kota Pelaihari menuju Pantai Takisung.

Anugerah itu kemudian mereka manfaatkan dengan mendirikan bengkel, warung, menjadi pedagang, buruh bangunan atau beternak kambing dan sapi. Tanah merah berkerikil yang mereka miliki hanya digunakan untuk menanam pohon nangka, sawo, rambutan, jambu, cempedak, atau ubi.

Selebihnya, mereka berjuang mengandalkan keterampilan dan pengalaman yang mereka miliki. Bagi yang kurang beruntung, mereka akan bekerja membantu menggarap lahan atau sebagai pemetik cengkeh milik warga transmigran di Desa Waduk.

Seperti namanya, Desa Waduk memiliki waduk buatan seluas tiga hektare yang letaknya tak jauh dari ladang cengkeh milik Jauhari Kasman, seorang pensiunan guru yang tinggal di Desa Gunung Makmur.

Dibandingkan dua desa lainnya, Desa Waduk termasuk tidak beruntung. Sudah satu tahun mereka belum bisa merasakan penerangan listrik. Hanya ada tiang-tiang listrik terbuat dari kayu tanpa kabel sebagai penghias jalan. Jika malam tiba, romansa suara jangkrik terasa melecut bias cahaya bulan.

Desa Waduk terasa lembab, dingin dan muram. Namun jika kau ingin melihat pepohonan cengkeh, Desa Waduk adalah tempatnya. Desa mereka dianugerahi sungai yang mengalir deras. Konon, air sungai itu langsung mengalir dari Pegunungan Meratus.

Untuk melihat keindahan waduk dari kejauhan, kau bisa mendaki Bukit Sangyang seperti yang dilakukan oleh Patra. Di sana ada sumber kehidupan yang setiap hari diandalkan warga dari desa lainnya.

Sebenarnya, dari ketiga desa yang saling berdekatan itu, mereka saling membutuhkan. Seperti ketika harus menyekolahkan anak-anak mereka, maka semua bangunan sekolah ada di Desa Gunung makmur.

Setiap hari, jalan menuju Desa Gunung Makmur otomatis ramai dilalui anak-anak sekolah. Dari rumah, mereka membawa doa dan harapan para orangtua tentang nasib baik mereka kelak.

Ada yang begitu takzim dengan meniupkannya ke ubun-ubun, ada pula yang mengucapkannya langsung ketika anak-anak mereka berpamitan sembari mencium tangan.

Doa adalah harapan yang tak ada lelahnya untuk diucapkan. Seperti halnya mereka berdoa tentang harga cengkeh di pasaran.

Cengkeh adalah sesuatu yang menakjubkan. Setiap kali panen tiba, cengkeh seperti sihir yang tak tertolak. Jika ada orang yang paling beruntung, mereka adalah para tengkulak cengkeh.

Saat harga cengkeh melambung tinggi, orang-orang saling bergegas mendatangi Desa Gunung Makmur hanya untuk satu tujuan, ikut meraup keuntungan.

Setiap hari tengkulak terus bertambah dan kehadiran mereka semakin memahitkan keadaan. Di tangan mereka, harga cengkeh adalah permainan. Namun, jumlah mereka semakin berkurang dengan kehadiran Yudha.

Tersingkirnya para tengkulak menimbulkan masalah baru. Yudha mulai bertingkah. Kehadirannya seperti Tuan Baron dalam telenovela Little Missy yang ditayangkan TVRI.

Meski tak sama persis, seburuk apapun tabiat Yudha pada akhirnya mereka hanya bisa pasrah. Nasib mereka seperti undian berhadiah malapetaka. Seperti perasaan takut yang baru saja dirasakan Sabran ketika melihat keluarga Wijan disiksa.

Sambil mengendap dari balik semak, Sabran melihat Patra ambruk bersama kapak di tangannya. Itulah kejadian terakhir yang membuat wajah Sabran memucat dan langsung mengayuh sepeda onthelnya menuju rumah Jauhari Kasman.

Lelaki tua itu pasti akan mengoceh lagi. Jauhari pernah menyebutnya sebagai lelaki plin-plan, pengecut dan segala macam yang tak seharusnya ada dalam diri lelaki.

Apa yang baru saja dilihatnya – seandainya ada keberanian – itu pun tak lebih sekadar nyala api di batang korek kayu yang mudah padam tertiup angin.

Jangankan dirinya, orang satu kampung pun tak ada yang berani berurusan dengan Yudha. Kalau pun Jauhari akan marah kepadanya karena hanya meringkuk di balik semak, ia sudah siap. Keberanian memang terlalu mewah bagi dirinya.

“Jauhari…!” Teriak Sabran tergesa-gesa membiarkan sepedanya terbanting hingga tergeletak begitu saja di tanah.

Jauhari tersentak sambil menajamkan pendengaran. Mulutnya berhenti mengunyah sarapan nasi goreng yang baru saja dihidangkan. Ia perhatikan satu-persatu wajah anaknya dan terakhir memandangi wajah istrinya.

“Tidak biasanya Sabran datang sepagi ini?” ucap Jauhari penasaran. Semakin lama dibiarkan, suara Sabran semakin keras dan merusak suasana sarapan yang sudah dipersiapkan istrinya sebaik mungkin.

“Dia tidak perlu berteriak seperti itu,” celetuk istrinya bersamaan Jauhari menaruh sendok di atas piring untuk segera menemui Sabran. “Ajak dia sarapan. Aku ingin tahu pendapatnya tentang nasi goreng buatanku kali ini,” ucap istrinya.

Jauhari tergesa meninggalkan meja makan untuk menemui Sabran. “Masuklah, sebentar lagi rumah ini akan ramai gara-gara teriakanmu,” Jauhari memalingkan wajahnya ke kanan dan kiri, memerhatikan rumah tetangga. Benar dugaannya, mereka mulai membuka pintu.

"Mereka sekarang di rumah Wijan. Gawattt..!” suara Sabran terengah-engah. “Aku melihat mereka memukuli Wijan beserta anak dan istrinya!" jawab Sabran mengatur napas.

Terpopuler

Comments

donadoni

donadoni

Semangat kakak

2022-10-14

0

Gusnihtmh

Gusnihtmh

kalo sahabat kena musibah wajib bantu

2022-10-11

0

TK

TK

berkelana

2022-10-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!