Memilih untuk tidak menggubris pertanyaan Nawang, Raga kemudian pamit ke kantor. Dan setibanya di kantor, dia kembali dihadapkan oleh setumpuk berkas. Namun, fokusnya terpecah oleh kalimat Nawang tadi. Sebenarnya ada apa dengan istrinya? Mengapa perempuan itu selalu minta dilepaskan? Tidak bahagiakah dia selama lima tahun ini? Padahal mereka menikah bukan karena perjodohan---apalagi paksaan. Keduanya mantap menikah setelah enam tahun menjalin kasih, walau sempat berhenti selama satu tahun.
Mengembuskan napas, Raga menjeda kesibukkannya sejenak dengan meraih secangkir teh di meja, lalu ia teguk hingga tersisa sebagian. Berharap kehangatannya mampu menyiram gersang di hati, sebelum terdengar derit yang ditimbulkan pintu. Praktis Raga menoleh, lepas dengkusan dari bibirnya begitu Reon alias abang ketiganya muncul sambil cengengesan.
"Ayah!" sapa Reon, menirukan Jaya tiap memanggil Raga.
"Nganggur lo?" ketus Raga.
"Gue mah bebas," seloroh Reon, sombong. Pria yang usianya tiga tahun di atas Raga itu beranjak duduk di hadapan adiknya. "Kenape muka lo? Kusut amat," singgungnya. "Lagi berantem ama bini ye, terus nggak dikasih jatah?"
"Gue penasaran aja; sebenernya Mama ngomong apa ke Nawang? Kenapa dia selalu minta pisah dari gue?" ungkap Raga. Well, dia cukup dekat dengan abangnya ini, karena si sableng satu ini bisa jadi apa aja buat Raga. Seperti temen gelud, temen curhat, sampai temen ngegila.
"Kalau kata gue sih ... sori nih ya, ini mah menurut pandangan gue doang." Reon agak ragu ketika hendak melanjutkan. Terlihat dari sorot matanya. "Mama ngerasa kalau nasib lo nggak se-epic abang-abang lo. Secara menantunya Mama yang lain punya karir yang ... yeah, bisa dibilang oke lah. Mbak Nadya, istrinya Bang Raja model, terus istrinya Donal Bebek---"
"Bang Ronald, njir!" koreksi Raga, "Ntar kalau anaknya denger, bisa diamuk lo!"
"Nah, iye, itu maksud Reon Bramasta," timpal Reon yang demen banget nyelipin nama artis di belakang namanya. "Mbak Windi pramugari, bini gue dokter, dan bini lo cuma karyawan biasa."
Raga sedikit terganggu dengan kalimat karyawan biasa, meski kenyataannya memang begitu. Toh, dibanding para iparnya, Nawang cuma tamatan SMA, sedang istri-istri abang Raga mayoritas lulusan S2. Tapi, Raga menikahi Nawang bukan karena background dan pendidikan perempuan itu, alih-alih kenyamanan yang ia dapatkan saat bersama ibu dari anak-anaknya.
Ah, mengingat kata anak-anaknya, kekesalan di hati Raga mendadak sirna.
Sebentar lagi akan ada anggota baru di keluarga kecilnya.
"Gue nggak bermaksud nge-judge Nawang," imbuh Reon, "tapi lo tahu lah gimana keluarga besar mama-papa. Harta dan pendidikan selalu jadi patokan. Makanya gue sering mewanti-wanti lo; apa lo yakin, nikahi Nawang? Secara dia ... sori." Rehat, ia hirup oksigen di sekitar. "Dia cuma anak ART dan sopir di rumah kita. Pasti jadi pertanyaan juga; kenapa lo milih dia?"
"Bang, Nawang itu bukan orang baru di hidup gue. Dari kecil, kita sering ketemu," tekan Raga, tersirat emosi dalam suaranya. "Walaupun dulu kita nggak deket, tapi karena keterbiasaan, gue mulai ada rasa sama dia. Apalagi dia baik dan tulus banget."
Reon mengangguk paham. "I know, Ga."
"Sekarang gue udah jadi orang tua. Gue bisa menempatkan posisi sebagai ayah yang berhak atas anaknya, tapi gue juga nggak mau egois dengan merampas tujuan anak gue," lanjut Raga, menegaskan. "Apa pun keputusan anak-anak gue nantinya, gue nggak akan ngelarang selama nggak merugikan orang lain."
Gelengan takjub Reon menyambut kalimat bijak Raga. "Ayahku ini udah dewasa ya?"
"Iya lah. Anak gue aja on the way double."
"Wait." Reon mengernyit, "Double?" ulangnya, dibalas anggukkan Raga. "Nawang hamil?"
"Yoi."
"Wih, tokcer juga lo!"
"Jadi nggak mungkin gue ceraiin Nawang dalam keadaan hamil," kata Raga.
Reon mengernyit lagi. "Emang kalau dia nggak lagi hamil, bakal lo ceraiin?"
"Nggak lah."
"Lo cinta banget ya sama Nawang?"
"Kalau nggak cinta, nggak bakal gue seriusin, Bang!" tandas Raga, lalu diikuti desauan panjang dan berat. "By the way, Mbak Gitta mau bantu gue nggak ya? Dia 'kan lumayan deket ama Nawang."
"Bantu apa?"
"Cari tahu; apa yang bikin Nawang pengin pisah dari gue."
***
Saya:
Mas, aku abis periksa
Sekalian meriksain Jaya
Kalau sempet, kamu mampir ya
Mas Raga:
Shareloc aja bun
Setelah mengirim alamat, Nawang menunggu Raga di kafe dekat rumah sakit. Well, dia sengaja periksa lagi ke dokter untuk sekadar memastikan. Dan ternyata benar; dirinya memang tengah berbadan dua, sementara Jaya hanya kelelahan karena belakangan ini banyak kegiatan.
Mereka menempati salah satu meja sambil ditemani camilan dan minuman.
"Bunda, Jaya mau punya adek ya?"
Nawang mengangguk, senyumnya terbentuk. "Iya, Kak."
"Yeah ..." Ekspresi Jaya berubah bete.
"Kenapa, hm?" Nawang usap pipi tembam sang jagoan. Jaya mendongak---menatapnya dengan sorot sedih. "Kakak, takut kalau Bunda sama Ayah lebih sayang adek?" tebaknya, seakan mengerti kegelisahan si kecil. Jaya mengangguk, menghambur memeluknya dari samping. "Kak, kalaupun nanti adek lahir, Bunda sama Ayah tetep sayang Kakak kok."
"Adeknya disuruh ikut Om Reon aja, Bunda."
"Kenapa gitu?"
Jaya mendongak lagi, otomatis dekapannya sedikit terhela. "Nanti kalau ada adek, pasti Ayah sama adek terus."
"Kan masih ada Bunda," timpal Nawang.
"Tapi Bunda nggak seru!" Jaya cemberut.
Dibanding Raga, Nawang memang tidak banyak bicara. Bahkan perempuan itu cenderung kaku. Makanya Jaya lebih suka sama ayahnya, karena Raga selalu bisa menempatkan diri. Tetap menjadi orang tua, namun nggak seformal orang tua pada umumnya. Sebab Raga ingin anak-anaknya bisa dengan bebas dan lepas menceritakan keluh-kesah serta pengalaman-pengalaman mereka yang lain.
Seperti Ragil---ayahnya---yang juga dekat dengan dia dan ketiga abangnya.
"Nggak seru gimana?" Tiba-tiba suara lain menyela, menyita perhatian Nawang dan Jaya. Gitta berdiri tepat di samping meja yang mereka tempati. Perempuan berusia tiga puluh satu tahun itu menyunggingkan senyum hangat. "Hai."
"Loh, Mbak, di sini juga?"
"Iya, Naw." Gitta beranjak duduk di hadapan ipar dan keponakannya. "Kalian tumben nongkrong di sini? Biasanya nunggu Mbak ajak."
Nawang tertawa pelan. "Tadi aku abis periksa, sekalian meriksain Jaya."
"Kalian sakit?" Nampak kecemasan pekat di wajah Gitta.
"Kemaren Jaya demam, Mbak. Tapi udah mendingan kok," jelas Nawang.
Gitta manggut-manggut, cemas di wajahnya perlahan surut. Perempuan yang berprofesi sebagai dokter itu mengesah. "Terus, kalau kamu sendiri? Kenapa nggak bilang Mbak sih, Naw? Kan Mbak bisa mampir kemaren."
"Nggak perlu, Mbak. Mbak 'kan punya kesibukkan juga."
"Ya iya, tapi 'kan---"
"Mbak," potong Nawang, meraih telapak tangan Gitta yang berada di atas meja untuk digenggam. "Udah ya. Aku nggak mau ngerepotin Mbak terus. Tapi aku beruntung banget punya ipar kayak Mbak. Mbak selalu baik sama aku, sama Jaya juga." Tercetak senyum tipis di wajah ayunya. "Oh iya, ponakan Mbak bakal nambah satu loh."
"Maksudnya kamu---" Anggukkan Nawang merespons, membuat Gitta kontan membekap mulut sambil disertai gelengan tak percaya, tapi kemudian perempuan keturunan Minang itu bangkit, berpindah duduk di sebelah Nawang. Ia peluk iparnya itu. "Selamat, Naw."
"Makasih, Mbak."
"Itu artinya ..." Gitta mengurai dekapan, diraihnya telapak tangan Nawang untuk digenggam, lalu iris beningnya menatap lekat manik mata sang ipar dan melanjutkan, "... kamu nggak boleh pisah dari Raga."
"Mbak---"
"Naw, aku bisa lihat gimana cintanya Raga sama kamu," penggal Gitta, meyakinkan. Ia raup oksigen di sekeliling. "Ditambah kalian mau punya baby lagi. Jadi, please, kamu pikirin keputusan---"
"Mbak, aku nggak mau memperkeruh suasana!"
"Justru dengan kamu maksain diri untuk lepas dari Raga, itu malah bikin semuanya jadi makin nggak keruan, Naw!" Gitta menasihati, "Naw, please! Aku tahu Mama mertua kita, nggak seharusnya kita melawan beliau. Tapi masalahnya; yang dilakuin Mama ke kamu itu agak nggak masuk akal. Kalau emang Mama nggak suka sama kamu, kenapa nggak dari awal aja nolak kamu sebagai menantunya? Come on, Naw. Ini bukan cuma tentang sakit hati kamu aja. Nanti akan ada hati-hati lain yang terluka; anak-anak kalian."
Nawang diam, sependapat.
"Naw, cuma ini yang bisa Mbak lakuin sebagai orang terdekat. Dan kamu nggak sendiri kok. Kamu juga sering denger Mama bawelin Mbak yang sampe sekarang belum bisa hamil, 'kan?" sambung Gitta, menyinggung perihal masalah pribadinya.
Well, meski kerap dibanggakan di depan orang-orang, tapi Renata selalu memojokkan Gitta di belakang lantaran menantunya itu tak kunjung hamil. Tapi Renata bukan Nawang yang kalau udah capek, berani speak up. Gitta lebih memilih diam karena bersuara pun percuma.
Nawang, misalnya.
Berkali-kali mencoba melindungi diri, tapi mertuanya itu selalu playing victim.
"Semoga Mbak sama Mas Reon lekas dikasih momongan ya," hibur Nawang, kemudian menyulihkan fokus ke si kecil. "Tuh bilang ke Tante Gitta; mau nggak dikasih adeknya Jaya."
"Kenapa adeknya dikasih Tante?" sahut Gitta, mengajak bicara Jaya.
Yang ditanya menggeleng, bibirnya mengerucut.
Perhatian Nawang kembali pada sang ipar. "Dia takut kalau ayahnya lebih deket sama adek. Soalnya Bunda nggak seru."
"Oh yang tadi?" Gitta tertawa.
Ditanggapi Nawang lewat anggukkan.
Sebelum tawa Gitta lenyap, lalu tatapannya berubah serius. "Tetep sama Raga ya, Naw?"
"Aku juga berharap gitu, Mbak. Apalagi hubungan kami terjalin cukup lama."
"Naw, cuma dua yang bisa menghancurkan kebahagiaan kita; isi kepala dan keputusan yang terlalu cepat," ujar Gitta yang lagi-lagi berusaha meyakinkan Nawang. "Sekarang semuanya balik ke kamu; mau menuruti isi kepala dan mengambil tindakan sepihak, atau mengandalkan logika bahwa perjalanan panjang terlalu istimewa untuk ditukar dengan keinginan orang lain."
"Mbak---" Kalimat Nawang teredam oleh keterkejutan kala dirinya merasakan tangan seseorang memeluk lehernya dari belakang. Refleks ia mendongak dan mendapati Raga di sana. "Mas?"
//
Waduh, kira-kira Ayah Raga denger nggak ya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments