Kedatangan Mertua

"Kamu ngapain, Mas?"

Alih-alih menjawab, Raga justru melepas kartu SIM pada ponsel sang istri, lalu disimpan di saku celana. Setelah itu bangkit dan dibawanya Jaya ke kamar. Percuma ngomong panjang-lebar, karena yang ada mereka malah bertengkar. Pria itu kembali merebahkan putranya ke ranjang, tapi si kecil menolak dengan mempererat dekapan. "Jaya mau bobok sambil dipangku Ayah?"

"Iya."

"Ya udah." Duduk bersandar di kepala ranjang, Raga peluk putra kecilnya. "Sekarang Jaya bobok. Ayah temenin."

"Ayah jangan berantem sama Bunda lagi," cicit Jaya, pilu.

Mendengar itu, Raga langsung menurunkan pandangan, menyanggah, "Enggak, Nak. Ayah sama Bunda nggak berantem." Jaya mendongak, otomatis dekapannya terurai, ia alas tatapan sang ayah. Raga menunjukkan senyum lemah. "Kadang cara ngobrol orang dewasa memang begitu."

"Tapi tadi Ayah marah. Jaya lihat waktu Ayah tendang koper Bunda." Umurnya baru genap empat tahun, tapi bocah laki-laki berbadan gempal itu bisa membedakan; mana situasi baik-baik saja dan sebaliknya. "Ayah." Ia panggil ayahnya dengan nada memohon. "Ayah jangan marahi Bunda ya. Soalnya Bunda suka sedih, sampe nangis sendirian di kamar kalau Ayah nggak ada."

Tidak mampu berkata, Raga peluk anaknya lagi. Memang selama hampir tiga tahun terakhir ini, dia dan Nawang kerap bertengkar. Setiap berinteraksi selalu menggunakan nada tinggi, ditambah Nawang yang mulai sibuk sendiri. Entah obrolan apa yang terjadi antara istri dan ibunya, tapi Nawang selalu bilang kalau pernikan mereka hanya berlaku selama lima tahun. Yang artinya bulan depan mereka harus selesai.

Raga menghela napas panjang, lalu diembuskan dengan gusar.

Nawang bukan orang baru. Perempuan itu adik kelasnya sewaktu SMP dan SMA. Jarak usia mereka terpaut dua tahun. Dan ketika takdir kembali mempertemukan keduanya, Raga yang sedari SMP telah menaruh hati pada Nawang, akhirnya mengungkapkan rasa. Tak peduli bahwa orang tua Nawang adalah karyawan di rumahnya.

Nia merupakan ART sementara Ruslan sopir pribadi ayah Raga. Nia dan Ruslan bekerja cukup lama di rumah kedua orang tua Raga, bahkan kabarnya sejak Raga masih dalam kandungan.

"Ayah sayang Bunda, 'kan?" Suara Jaya menyadarkan Raga dari kesenduan.

"Iya, Nak. Sayang banget," tegas Raga, mempererat pelukan. "Gananjaya sayang Ayah, 'kan?"

"Sayang, Yah."

"Apa pun yang terjadi, Gananjaya harus sama Ayah, ya."

***

Setelah memandikan putranya, Nawang bersiap-siap karena hari ini dia mendapat shift pagi. Namun, seketika langkahnya terhenti begitu Raga mendahului memasuki kamar mandi. Nawang mendengkus keki. Di rumah ini memang hanya ada satu kamar mandi, padahal bisa saja kamarnya dan sang jagoan kamar difasilitasi kamar mandi, tapi Raga ogah. Bukan nggak mau buang-buang duit, toh, rumah yang mereka tempati tidak terlalu besar, tapi juga tidak sempit. Dan dari awal, Nawang selalu mewanti-wanti Raga untuk tidak berlebihan membangun istana. Sebab yang diperlukan sebuah keluarga bukan mewahnya bangunan, tetapi nyamannya sebuah tempat untuk berpulang.

"Mas, buruan!" seru Nawang.

"Ini kamar mandiku. Suka-sukaku mau berapa lama!" sahut Raga.

Memancing dengkusan Nawang lagi. "Tapi aku udah mau telat, Mas!"

"Ya bagus. Nggak usah masuk sekalian."

"Mas, kamu tuh kenapa sih?!" sungut Nawang, "Aku kerja, nggak boleh. Giliran aku di rumah, ma---" Menjeda kalimat begitu sadar kembali melibatkan Renata, perempuan dua puluh tujuh tahun itu segera menutupi kekesalannya dengan mengalihkan topik. "Aku juga mesti antar Jaya ke Ibu. Dia nggak mau sama Mbak pilihan Mama."

"Kamu nggak usah alesan teros ya, Naw!" sentak Raga, emosi.

Nawang berjengit, lalu menggeleng tidak mengerti. "Alesan apa?"

"Bunda, mau minum!" rengek Jaya, setengah berteriak. Anak itu sedang duduk di sofa ruang tengah sambil nonton Spongebob.

"Iya, Nak, sebentar!" sahut Nawang, kembali menatap pintu kamar mandi yang masih tertutup, ia berpesan, "Cepetan, Mas, kalau nggak mau kita berantem."

"Mandi bareng aja, biar nggak rebutan!" seru Raga dari dalam.

Dan Nawang enggan menggubris, kakinya diayun pergi menuju dapur untuk mengambilkan minum. Setelahnya, bergerak menghampiri sang jagoan dan duduk di sebelahnya. "Nih!" Ia sodorkan gelas plastik berisi air putih, diterima si kecil---berikut ucapan terima kasih, dan diteguk hingga tersisa sebagian. "Gimana? Udah agak enakan?" Jaya mengangguk menanggapi, ia berikan gelas di tangannya ke sang ibu. Nawang menerimanya lantas diletakkan di meja. "Nanti Jaya sama Uti ya? Bunda sama Ayah mesti kerja."

"Tapi kemaren kata Ayah, Jaya sama Bunda aja."

"Ayah bilang gitu?" Nawang mengernyit jengkel.

Jaya mengangguk menegaskan.

"Tapi Bunda mesti kerja, Nak."

"Tapi Jaya maunya sama Bunda." Jaya peluk ibunya. "Jaya nggak mau sama Mbak. Kemaren Jaya dimarahi gara-gara numpahin minum." Mendongak menatap sang ibu, "Kalau sama Bunda 'kan nggak pernah dimarahi."

"Jaya---"

"Bunda nggak boleh kerja," lirih Jaya, membenamkan wajah di dada sang ibu. Sejak berumur satu tahun, Jaya diasuh oleh nenek dari pihak ibu karena omanya cukup sibuk. Tapi satu tahun belakangan, Nia tidak bisa menjaga Jaya sepenuhnya karena Ruslan mulai sakit-sakitan. Jadilah ibu Raga yang nggak bisa atau entah nggak mau bantu itu mempekerjakan baby sitter untuk menjaga cucu kesayangnnya. Tapi, mbak yang mengurus Jaya tidak pernah bertahan lama karena setiap berkunjung, Renata selalu rewel alias banyak komentar.

"Kenapa nggak boleh, Nak?"

"Nggak boleh, Bunda."

Nawang mengesah, dikecupnya puncak kepala sang jagoan. "Kan Bunda kerjanya nggak lama."

"Bunda nggak mau sama Ayah, ya?" tembak Jaya, tiba-tiba, lalu dekapannya terhela, ia angkat wajahnya. Nawang terenyak. "Gara-gara kemaren Ayah tendang koper Bunda, makanya Bunda nggak mau di rumah, 'kan?" cecarnya, "Bunda nggak usah sedih. Kemaren aku udah marahi Ayah."

Hal yang mampu menggetarkan hatinya selain kebahagiaan kedua orang tua, serta momen ketika Raga melafalkan namanya saat ijab kabul, ialah cara sang jagoan membelanya. Konon, anak laki-laki akan lebih dekat dengan ibunya. Tapi nyatanya; Jaya lebih dekat dengan ayahnya. Namun, kasih sayang anak itu terhadap kedua orang tuanya sama-sama imbang. Jika dia rasa ibunya yang keliru, dia akan membela ayahnya. Pun sebaliknya.

Seharusnya dengan keberadaan Anak Bagus Gananjaya, hubungan mereka jadi makin lekat dan dekat. Tapi semakin ke sini, kondisi rumah tangga mereka justru kian panas. Ditambah ibu Raga yang selalu memperingatinya untuk tidak melupakan fakta. Bahkan wanita itu juga tidak keberatan mengurus surat perceraian antara ia dan suami.

"Bunda," gumam Jaya, sendu. "Tapi kemaren Ayah bilang; Ayah sayang banget sama Bunda. Bunda sayang Ayah nggak?"

***

Sebenarnya Raga sudah mandi sejak tiga puluh menit yang lalu, tapi dia sengaja mendahului Nawang agar istrinya itu terlambat, dan akhirnya batal berangkat. Dan usahanya tidak sia-sia. Jarum jam telah berada di angka delapan, sementara Nawang harus sudah sampai sebelum jam delapan. Pria itu menampilkan senyum puas, lalu kakinya terayun menuju ruang tengah. Niatnya ingin merepotkan Nawang, tapi potret di ujung sana membuat langkahnya kontan terjeda. Ia terenyak.

"Bunda sayang Ayah nggak?"

"Sayang kok. Tapi Bunda lebih sayang Gananjaya."

"Kenapa, Bun?"

Nawang menggeleng, matanya berkaca-kaca. Dipeluknya Jaya dan setetes air mata luruh dari telaganya. Raga kian terpaku dalam sesak. Tamparan semalam terlayang karena emosi yang membuncah, dimana sabar telah terkikis oleh letih. Sebelumnya, semarah-marahnya Raga, dia akan pergi untuk meredam amarah, lalu kembali saat hatinya telah terkondisi. Namun, kemarin adalah puncak. Sebab bukan hanya Rendra yang menjadi alasan, Raga juga tersinggung ketika Nawang melibatkan ibunya di dalam pertengkaran mereka sore itu.

"Gananjaya!" Seruan dari luar terdengar syahdu di telinga.

Jaya yang merasa terpanggil segera mengurai pelukan, lalu berangsur turun, dan berlari ke depan. Renata datang membawakan banyak mainan seperti biasa. "Oma!" Menghambur memeluk pinggang sang nenek, membuat senyum Renata merekah apik.

Wanita itu memarkirkan kecupan di puncak kepala sang cucu. "Oma kangen banget sama Jaya."

"Jaya juga, Oma." Jaya melepas pelukan.

"Maaf ya, beberapa hari ini Oma harus nemenin Opa luar kota, jadi nggak bisa main sama Jaya." Meski kurang sreg dengan Nawang, tetapi Renata sangat menyayangi cucunya. Dan meskipun tidak banyak waktu yang dihabiskan bersama Jaya, tetapi Renata cukup bawel soal cucunya. "Oh ya, kata Ayah, kemaren Jaya sakit. Sekarang gimana? Masih ada yang sakit? Oma temenin ke dokter ya?"

"Udah sembuh, Oma. Soalnya semalem Jaya boboknya sambil dipeluk Ayah."

"Ayahmu itu emang orang tua terbaik." Jelas Renata sedang menyindir Nawang yang dia dengar belakangan ini sedang dekat dengan laki-laki lain. Namun, kalimatnya itu tak diambil hati oleh Nawang. Baginya, sudah biasa.

"Tapi, Oma ..." Jaya menatap ibu dari ayahnya, "... kemaren Ayah marahi Bunda, terus tendang koper Bunda."

Mata Renata langsung terlempar ke anak dan menantunya. "Kalian bertengkar di depan Jaya?"

"Ma, nggak gitu." Raga buru-buru menggeleng.

"Kalau kamu kesel sama Nawang, Mama anggap itu wajar. Tapi nggak seharusnya kamu berantem di depan Jaya!" Renata masih saja memojokkan Nawang, sedang si target cuma buang muka, menahan genangan air di pelupuk. "Dan kamu Nawang ..." Meletakkan seluruh atensi ke sang menantu, "... kalau mau pisah dari anak saya, nggak gini caranya. Norak!"

"Bukannya Mama yang mau?" balas Nawang, memindah fokus---membalas tatapan sengit sang mertua. "Kenapa Mama nggak jujur aja ke Mas Raga? Jadi nggak seolah-olah aku yang paling jahat di sini."

"Ma, ini sebenernya ada apa?"

//

Nah lho. Wkwk.

BTW kalau kalian nyari tokoh perempuan yang kalem, nurut, pasrah, silakan tonton channel ikan terbang 🤣🤣 karena tokoh Nawang bakal bikin kalian darah tinggi. Dan sebelum terlalu jauh, yang fobia ketinggian, jangan nekat. Awokawok.

Gimana chapter ini? Dah bikin penasaran pa belom?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!