5th Anniversary

5th Anniversary

Cemburu?

Tepat pukul lima sore, mobil sedan yang dikemudikan pria berjas hitam itu berhenti di depan gerbang sebuah rumah, lalu ia dan perempuan yang duduk di sebelah kemudi turun, disambut tatapan tajam pria berperawakan jangkung yang tiba-tiba menggeser gerbang dengan tidak santai.

"Pacaran teros!" sindir Raga, menyorot sengit sang istri. "Anaknya lagi sakit bukannya dijagain malah asyik-asyikkan sama laki-laki lain."

"Pak, terima kasih atas tumpangannya," ujar Nawang tanpa menghiraukan Raga yang seketika meloloskan dengkusan dongkol, sementara pria yang dipanggilnya Pak itu mengangguk.

"Iya, sama-sama. Kebetulan juga 'kan kita searah, jadi nggak masalah." Tercetak senyum tipis di bibir Rendra---atasan Nawang---sebelum meneruskan, "Sayang banget ya perempuan secantik kamu dibiarin pulang sendiri."

"Maksud lo apa?!" Raga ngegas.

Dan Rendra sama sekali nggak peduli. Malahan ia pamit. "Kalau gitu, saya pamit ya."

"Hati-hati, Pak."

Selepas kepergian Rendra, Nawang berbalik melewati suaminya. Bikin Raga tambah dongkol karena tak dianggap. Eh, emang sejak kapan istrinya yang jutek itu menganggap dia ada?

Mengusap wajah gusar, pria berusia dua puluh sembilan tahun itu segera menyusul Nawang. "Nawang, tunggu!" serunya, geram. Yang dipanggil tetap melangkah menuju kamar sang jagoan. "Nawang, aku lagi ngomong!" Nawang masih bersikap tak acuh. Hal itu berhasil menyulut emosi Raga, lantas ia tendang kursi makan hingga benda yang terbuat dari kayu itu terguling jatuh dan menimbulkan bunyi debam. Barulah Nawang berhenti tidak jauh dari meja makan. "Harus berapa kali aku bilang?! Kamu nggak perlu kerja, cukup di rumah, jagain anak kita. Kenapa susah banget sih?"

Akhirnya Nawang berbalik, membalas tatapan sang suami. "Perjanjiannya lima tahun, Mas. Bulan depan, kita selesai."

"Aku nggak akan ceraiin kamu, paham?" tandas Raga, penun penekanan.

"Biar apa?" Nawang mengangkat dagunya tinggi-tinggi, lalu bersedekap dada. "Biar mamamu terus-terusan nekan aku, nginjek-nginjek ibuku, dan---"

"Berenti nyalahin mamaku!" potong Raga, membentak.

Otomatis Nawang tersentak, kakinya mundur beberapa tindak.

Raga menghunuskan tatapan tajam, didekatinya Nawang, ia tampar perempuan itu.

Yang ditampar meringis menahan perih. Air matanya menetes. Nawang memalingkan pandangan. "Dengan satu tamparan ini, aku makin yakin untuk pisah dari kamu, Mas."

***

Siapa yang tak kesal melihat istrinya pulang bersama laki-laki lain, sementara di rumah anaknya sedang sakit. Raga menjatuhkan diri di depan pintu kamar, duduk berlutut seraya mengacak rambut frustrasi, menyesali apa yang barusan terjadi. Namun, penyesalannya segera surut begitu pintu terbuka. Raga menoleh, kepalanya mendongak. Nawang menggendong Jaya sambil menyeret koper besar. Buru-buru Raga bangkit.

"Mau ke mana?" hardik Raga.

"Pulang," jawab Nawang, tak kalah ketus.

Raga mengedikkan dagu. "Pulang ke mana yang kamu maksud? Laki-laki tadi?"

"Dia bosku. Namanya Pak Rendra."

"Aku nggak nanya."

Tahu bahwa berinteraksi dengan Raga hanya akan buang-buang tenaga, Nawang memilih menyudahi. Kakinya diayun lagi. Tapi dengan sigap Raga mencekal pergelangan tangannya, lalu mengambil alih Jaya dari gendongannya. Setelah itu, menendang kopernya. Refleks Nawang menjerit. "Mas!"

"Pergi sendiri! Nggak usah bawa-bawa anakku!"

"Jaya anakku juga, Mas!" protes Nawang, meraih pergelangan tangan Jaya, tapi lagi-lagi Raga menghalaunya. "Mas, tolong kembaliin Jaya! Kalau kita pisah, hak asuh Jaya bakal jatuh ke tanganku karena dia masih di bawah umur."

"Oh, kamu pengin pisah dari aku biar bisa nikah sama bosmu itu, 'kan?" tuduh Raga.

"Enggak!" bantah Nawang, disertai gelengan.

"Kalau emang enggak, masuk! Balikkin lagi kopernya. Dan jangan pernah nyuruh aku buat ngelepasin kamu, atau justru kamu yang berusaha melepaskan diri dari aku ..." Raga menghela jarak, suaranya mendadak serak. "Karena aku nggak akan ngelepasin kamu, sekalipun kamu mohon-mohon ke aku. Juga aku nggak akan biarin kamu lepas."

"Gila kamu!"

"Emang!"

Nawang memutar tubuh, kembali masuk kamar, diikuti Raga. Pria itu merebahkan putranya ke ranjang, lalu ia tempelkan telapak tangan ke kening sang jagoan. Suhu badannya masih tinggi. Raga duduk di tepi ranjang selagi atensinya dilempar ke Nawang. "Ambilin obat penurun demam!"

"Barusan udah aku kasih!" jelas Nawang, ketus.

"Terus, kalau udah dikasih obat, anaknya bakal langsung sembuh?" sewot Raga.

Memancing decakkan Nawang. "Ya terus aku mesti gimana?"

"Tenangin kek, biar nggak rewel! Kamu nih semenjak kenal si Indro jadi nantangin aku!" Raga melotot marah, tapi tak mampu menyentil nurani sang istri.

"Namanya Pak Rendra, bukan Indro!" koreksi Nawang.

Raga mana peduli.

Sebelum rengekkan Jaya menginterupsi. "Ayah, mau tiduran sambil dipangku."

"Sini, Nak." Raga mengindahkan.

"Tadi kata Uti, kamu nggak mau makan ya?" Nawang mengajak bicara putranya. Anak itu mengangguk membenarkan. "Makan dulu yuk sama Bunda!"

"Makanannya nggak enak, Bun," keluh Jaya.

"Nggak enak gimana, Nak?" sela Raga.

Jaya mendongak menatap ayahnya. "Nggak ada rasanya, Ayah."

"Tapi kalau perut Jaya kosong, nanti Jaya makin sakit. Terus Ayah sama Bunda tambah sedih." Raga menunjukkan raut sedih. Jaya yang ikut sedih langsung menghambur ke pelukan sang ayah. "Jaya, makan ya? Disuapi Bunda atau Ayah?"

"Enggak mau makan," tolak Jaya.

Raga mengesah, netra abunya dilarikan ke sang istri yang balik menatapnya.

"Bawa Jaya ke meja makan," titah Nawang, lalu beranjak meninggalkan kamar.

"Kamu ni ngomong sama suaminya kayak ngomong sama orang lain!" omel Raga.

Nawang tidak perlu repot-repot meladeni suaminya karena semakin sering ditanggapi, maka peperangan di antara keduanya tidak akan usai. Sekali lagi, Nawang hanya ingin pisah dari Raga setelah apa yang ia dengar tiga tahun silam.

"Ayah," ringik Jaya.

Raga menurunkan pandangan. "Iya, Nak. Kenapa? Ayah di sini."

"Badannya dituker aja, Yah."

"Dituker apa, Nak?" Raga merespons dengan sabar, ia usap punggung kecil sang jagoan. Jaya mendongak, matanya berkaca-kaca. "Udah dong jangan nangis. Abis ini Jaya makan, terus istirahat, biar besok pagi badannya agak enakan, oke?"

"Ayah." Jaya meringik lagi.

"Apa, Nak? Ayah di sini, nemenin Jaya." Raga peluk putranya.

"Nggak mau makan." Jaya menggeleng dalam dekapan.

Bangkit, Raga gendong anaknya untuk dibawa ke meja ruang sesuai titah Nawang.

Perempuan itu sudah menyiapkan nasi telur---porsinya lebih sedikit dari biasanya, serta segelas air putih. "Disuapi Ayah atau Bunda?"

"Bunda," jawab Jaya, lirih.

Nawang mengambil duduk di samping Raga---yang memangku Jaya. Ia pegang piring berisi nasi telur, sedang satu tangannya yang lain menyuapi sang jagoan. "Dihabisin ya. Nggak apa-apa nggak ada rasanya. Yang penting perut Jaya nggak kosong."

"Besok temenin aku ke nikahannya Fariz," kata Raga, menunggu reaksi Nawang. Tapi istrinya ajek bungkam. "Kamu nggak usah kerja," lanjutnya, memutuskan.

"Kita harus terbiasa sendiri-sendiri, Mas."

"Sampai kapanpun aku bakal bergantung sama kamu!" timpal Raga.

"Besok Jaya nggak usah ke sekolah dulu ya. Di rumah aja. Sama Uti," ujar Nawang, mengajak bicara sang jagoan, tanpa peduli kalimat Raga barusan. "Bunda nggak lama kok kerjanya. Besok 'kan shift pagi, jadi siangnya di rumah. Nggak apa-apa, 'kan?"

"Sorenya temenin aku." Raga menimbrung, mencoba mencari perhatian.

"Udah, Bun." Baru dua sendok, Jaya mendadak kenyang.

Nawang mengangguk, meletakkan piring ke meja, ia sodorkan segelas air putih ke sang jagoan, diterima Raga. Dibantunya si kecil meneguk minuman. "Udah ya, sekarang bobok. Mau bobok di kamar sendiri atau sama Bunda?"

"Sama Ayah."

"Oke." Nawang berdiri, berderap ke dapur, mengembalikan piring dan gelas. Tepat ketika ponselnya yang tergeletak di meja bergetar pendek---menandakan pesan masuk. Raga yang sadar langsung membuka pesan tersebut tanpa perlu meminta izin.

^^^Pak Rendra^^^

^^^Nawang, besok ada acara?^^^

Raga mengeraskan rahang.

Lalu ia blokir nomor Rendra.

"Kamu ngapain, Mas?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!