"Eh? Ira? Calon istri? Maksudnya?
"Maksudnya, Ira yang calon istri kamu."
"APA??!!!"
Seperti kereta yang tengah menabrak pepohonan yang rimbun, maka seperti itulah hati Juna. Jantung Juna serasa dilolosi dari rongganya.
"Mama jangan bercanda, ya?" Juna mengerjapkan matanya beberapa kali. Bukan karena ia tak bisa membantah, atau pun karena dirinya tak mampu mengelak. Hanya saja, meski tampak jenaka, namun papa Juna, Iskan buka lah lelaki yang suka bercanda dan selalu tegas jika ia sudah menginginkan sesuatu.
Juna Takut, takut jika nanti Dirinya akan sungguh-sungguh dijodohkan dengan Ira. Juna berharap, papa hanya bercanda saja.
"Bercanda dari mana, Juna. Senja tadi kamu bilang kalau mau menikah asal dengan perawan, asal dia gadis, bukan janda atau pun bekas orang. Mama pikir, gadis seperti Ira sangat cocok buat kamu. Dia jarang keluar, tak pernah bergaul dengan lelaki, juga gurunya di sekolah selalu bilang kalau dia anak yang tertutup dan tidak pernah neko-neko."
Ningsih mengatakannya dengan berapi-api. Tapi Juna masih enggan untuk menelan mentah-mentah apa yang mamanya katakan. Sungguh sial.
"Ma, Ya ampun. Tapi ini Ira, ma. Ira anak pembantu kita."
"Memangnya kenapa sama Ira? Ira anak yang baik, dia juga anak yang memiliki prinsip, mengedepankan kebahagiaan orang tua dan juga nggak banyak maunya kayak gadis-gadis lain. Ya udahlah, Juna. Jangan banyak membantah. Kebiasaan kamu ini. Mama juga nggak pernah memandang seseorang hanya dari kasta, kedudukan, dan perbedaan golongan. Meski anaknya pembantu kita, Ira memiliki pemikiran yang smart."
Iskan yang sejak tadi hanya diam, tersenyum kecil sembari mengamati suasana. Seperti biasa, Juna memanglah setiap hari selalu bertengkar dengan mamanya. Hanya saja, pertengkaran mereka selalu berakhir dengan tawa setelahnya.
"Ya Tuhan, mama. Enggak, enggak. Aku nggak mau."
"Harus mau karena ini sudah jadi keputusan papa, Juna. Jika Arjuna Sastra Suseno tidak bersedia menjalankan perintah papa, maka papa tak akan mewariskan semua usaha dan aset-aset papa ke kamu. Kamu tahu, kan? Papa gak pernah bermain-main dengan ucapan papa."
Tubuh Arjuna lunglai, lelaki itu lantas merosot dan merebahkan kepalanya di bahu kursi. Sumpah, Jika mama mendengar percakapan dirinya dengan teman-temannya, maka tragedi segera datang. Ini buktinya.
"Tapi, pa..... Ira itu masih kecil, kecil sekali. Dia masih delapan belas tahun, sementara Juna sudah menginjak usia Tiga puluh tahun. Perbedaan usia kami terpaut selisih dua belas tahun. Dia pasti nggak aku sama laki-laki setua aku."
Sekali lagi Juna memelas. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana setelah ini. Agaknya, nasib baik tak berpihak padanya.
"Siapa bilang? Kamu nggak tua-tua amat, Juna. Sudahlah, jangan banyak membantah. Untuk Ira, biar nanti jadi urusan papa. Papa nggak akan membuat kamu kecewa. Papa berani jamin, dia masih gadis-dis-dis-dis......." Iskan tersenyum penuh arti. Selisih matanya mengerling menggoda pada putranya. Astaga, Juna takut jika nanti dirinya terkena stroke karena ulah mama dan papa.
"Terserah papa saja."
Disinilah titik terlemah Juna. Lelaki itu betul-betul tidak mampu membuat papanya mengerti dirinya. Apa lagi mama.
"Bagus. Persiapkan dirimu. Pernikahan akan di persiapkan dua bulan lagi."
"APA??!!"
Pernyataan Iskan, cukup membuat Juna benar-benar darah tinggi hingga nyaris stroke sebentar lagi.
--
Ira berdendang pelan dengan bibirnya yang kecil itu, ketika Juna telah keluar dari kamarnya. Majikan muda Ira itu tampak ditekuk wajahnya. Auranya mendung dan membuat Juna tampak aneh pagi ini.
"Ira, kamu mau ke sekolah?" Tanya Juna pelan sembari mengedarkan pandangannya ke arah lain. "Kok siangan baru mau berangkat?"
Tunggal Iskan itu lantas melirik jam tangannya dan menatap Ira, "Udah mau Jam delapan loh ini, kamu baru mau berangkat?"
"Iya, den. Kan ujian baru selesai kemarin. Ira ke sekolah nggak untuk belajar lagi."
"Oh iya." Juna lantas menepuk jidatnya sendiri. Akibat tekanan dan paksaan dari orang tuanya semalam, rupanya cukup membuat Juna pikun secara perlahan.
"Sekalian berangkat bareng saja, yuk?"
Juna ingin bicara sesuatu pada Ira, namun tidak di rumah hingga nanti berujung mendapat ledekan dari kedua orang tuanya. Tidak tidak, Juna tidak ingin itu terjadi.
"Apa..... nggak apa-apa, den?"
Ira bertanya ragu. Tapi sudut hatinya yang lain, ia berharap Juna memaksanya. Astaga, sejak kapan Ira memiliki harapan yang aneh-aneh?
"Nggak apa-apa. Sudah, ayo kita berangkat." Juna memandangi Ira yang tampak bengong.
Di perhatikan Ira yang mematung. Ditatapnya lekat Ira yang terbengong itu. Wajah Ira tak buruk juga.
Pembawaan wajahnya yang imut, dengan kulit seputih pualam, matanya yang sipit dengan bulu mata lentik yang bergetar saat berkedip, hidungnya yang mungil namun tinggi, alisnya yang tebal nan rapi, serta bibir ranumnya dengan lesung Pipit yang berada di kedua sudut pipinya, membuat Ira tak kalah cantik dengan wanita kelas sosialita. Rambutnya yang hitam legam, dengan tinggi tak lebih dari seratus lima puluh dua sentimeter, membuat Ira cukup sedap di pandangan mata Juna.
"Ra, kamu kenapa?" Juna mengejutkan Ira yang melamun.
"Oh, nggak apa-apa, deh. Tunggu sebentar, Ira minta uang saku ke ibu untuk ongkos angkot pulang sekolah nanti."
Pipi Ira kedapatan bersemu merah karena malu. Gadis itu lantas berlalu begitu saja dan setengah berlari menuju kamarnya yang ia tempati berdua dengan sang ibu.
"Jangan lama, Ra. Saya nggak mau terlambat ke kantor." Ira tak menjawab kalimat Juna.
Dengan langkah lebar, Juna lantas membawa tas kerjanya menuju ke mobil. Sepertinya, Juna perlu membujuk Ira agar Ira bersedia diajak untuk kompromi.
Saat Ira berada di samping mobil Juna, Juna mengangkat sebelah alisnya, lelaki itu lantas membuka kaca mobil dan berseru pada putri pembantunya itu.
"Masuk, Ra. Kenapa nggak masuk?"
"Nggak bisa buka, den." Seloroh Ira dengan polosnya. Astaga, Juna kembali menepuk jidatnya sendiri. Tentu tingkah keduanya ini tak lepas dari si penguntit, Ningsih. Iskan juga tampak masih berada di balkon kamar, ikut mengamati Juna yang ngotot tak mau dijodohkan dengan Ira, tapi kini sedang membukakan pintu mobil untuk Ira.
"Lihatlah, ma. Juna itu munafik menurutku. Dia nggak segan-segan mengantar Ira sekolah, padahal selama ini ia nggak pernah memberi tumpangan pada Ira." Iskan menyenggol lengan istrinya.
"Maka dari itu, percepat saja pernikahannya." Ningsih mengutarakan keinginannya pada sang suami.
"Resepsi besar-besaran tak bisa dilakukan malam nanti, ma. Mungkin dua atau tiga bulan lagi, itu saja sudah serba cepat."
"Atau begini saja, bagaimana kalau dinikahkan secara sederhana saja dulu, asal pernikahan mereka tercatat. Tiga bulan lagi, kita buatkan pesta meriah untuk mereka?"
"Ide bagus. Nanti sore ayo kita keluar ke rumah bapak dan ibu, kita tanyakan hari yang baik untuk pernikahan sederhana Juna dan Ira."
"Ya, papa akan transfer uang ke mama dan persiapkan saja segala sesuatu dan kebutuhan pernikahan mereka nanti."
Hati Ningsih berbunga-bunga sambil melepas suaminya untuk ke kantor. Lihat saja, bisa-bisa Juna akan terkena stroke sungguhan kalau tahu rencana kedua orang tuanya.
**
Jangan lupa tetap tinggalkan jejak untuk kisah Juna dan Ira, ya. kasih ulasan, banyakin komen, kasih vote, maka aku akan update minimal dua kali sehari, seperti hari ini.
Terima kasih buat yang sudah dukung. Aku sayang kalian🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Asiah Erap
Bagus novelnya thor😍
2023-09-01
1
Azzahra Rara
wah pasti seru ini ,,jgan stroke ya juna,,,nanti g bisa urus istrimu
2022-09-19
1
Diana Susanti
jodoh apapun siapa juga dan kapan tidak ada yg tahu
2022-09-18
1