Keraguan

Sore telah tiba. Ira tengah menyapu teras depan, ketika Arjuna datang dengan penampilannya yang masih rapi. Lelaki itu juga bahkan masih tampak tampan meski seharian bekerja hingga lelah.

Arjuna sendiri sebetulnya harus pulang satu jam lagi, namun entah mengapa papanya menyuruh Juna untuk pulang lebih awal dengan dalih ada hal penting yang mau dibicarakan di rumah.

Hati Arjuna sangat cemas pasti, mengingat tentang rencana gila kedua orang tuanya yang hendak menjodohkan dirinya dengan Ira, gadis pembantu yang saat ini tengah menyapu teras.

"Ra, papa sudah pulang, ya?" Sapa Juna pertama kali. Ira hanya mengangguk sambil tersenyum. Putri mbok Asih itu takut jika nanti ia salah bicara seperti pagi tadi, hingga membuat Juna mengungkapkan bahwa ia belibetan kalau ngomong.

"Oh ya, den. Kata bapak, Aden disuruh langsung ke ruang kerja bapak." Ira baru ingat akan pesan Ningsih baru saja.

"Ya sudah, tolong bawakan jasku, juga tas kerja dan letakkan saja di meja kerjaku." Ira menerimanya dengan senang hati. Tak ada perasaan apa pun. Hanya saja, Ira berpikir bahwa setelah ini mungkin hal seperti ini akan menjadi rutinitas setiap kali Juna pulang bekerja.

Arjuna lantas melangkahkan kaki kokohnya menuju ruang kerja ayahnya. Tak lupa, Juna juga menghembuskan nafasnya kasar, berdoa dan berharap agar rencana perjodohan tak lagi diteruskan.

"Sore, ma, pa?" Sapa juna yang mengecup pipi mamanya, sebelum lantas ia mendudukkan diri di sofa.

Ningsih dan Iskandar yang memerhatikan juna, lantas menatap Juna serius. Keduanya seolah ingin mengeksekusi Juna saat ini juga.

"Juna, kamu lelah?" Tanya Iskan, sontak saja di angguki Juna.

"Ada apa, pa? Kenapa serius sekali menyuruh Juna pulang lebih cepat? Biasanya papa selalu bilang kalau Juna pulang lebih cepat, juna makan gaji buta?"

Ningsih hanya terkekeh di tempatnya.

"Papa ingin mengabarkan, kalau pernikahan kamu dan Ira akan di percepat besok malam." Pernyataan Iskan, membuat juna Mengangguk. Lelaki itu benar-benar kelelahan hingga tak sebegitu fokus pada pernyataan papanya.

Namun sedetik kemudian, mata Juna melotot. Lelaki itu benar-benar syok dan tidak sadar sebelumnya.

"Apa? Di Percepat? Besok malam?" Jantung Juna seolah tengah berpacu kian cepat. Wajahnya mendadak tegang dengan mimik yang serius bukan main. "Apa-apaan ini, pa? Ma? Ya Tuhan, kalian kenapa memutuskan hidup Juna ke depan, sih? Juna nggak mau ngebet dulu."

"Terlambat." Kali ini suara Ningsih. Wanita itu benar-benar tidak memiliki kelonggaran sama sekali terhadap Juna. Sudah tiga puluh tahun, tapi masih saja minta mundur-mundur untuk menikah. "Semua udah siap. Dalam sehari, mama udah menyiapkan semuanya. Jadi kamu nggak usah menawar. Besok pekerjaan kamu biar di handel sama Pak Arsyad. Kamu tenangkan diri, dan juga jangan lupa untuk mempersiapkan diri."

"Ma, pernikahan bukan mainan." Ungkap Juna dengan nada sedikit meninggi. Sebelumnya, Juna tak pernah bersikap seperti ini.

"Itulah sebabnya. Nanti, jangan menjadikan Ira sebagai mainan kamu. Kamu harus menghargainya, memperlakukan dia dengan baik, dan juga jangan pernah membuatnya menangis. Kalau sampai itu terjadi, mama nggak akan segan-segan untuk menghajar kamu."

Juna mengerjapkan matanya beberapa kali. Bola matanya tampak berputar tak tenang. Hatinya dilanda kegelisahan yang mendalam, juga Juna syok berat.

"Juna, apa yang mama kamu bilang, ada benarnya. Jadi jangan membantah kali ini. Pikirkan, mama dan papamu ini sudah tak lagi muda, makin tua itu pasti."

"Tapi, pa...."

"Umur nggak ada yang tahu. Kalau kami pergi nanti atas panggilan Tuhan, kapan waktu yang tepat untuk mama dan papa menggendong cucu? Kamu anak tunggal, satu-satunya harta berharga yang kami punya. Kalau kamu nekat melajang seumur hidup, papa nggak bisa bayangin itu."

Juna hanya bisa mengelus dadanya. Rasanya sangat geli bercampur sakit. Entah mengapa, kedua orang tuanya sekarang seperti tidak lagi memiliki toleransi. Juna tertekan lama-lama.

"Ya ampun, pa? Katanya masih dua atau tiga bulan lagi? Kenapa dipercepat besok malam?"

"Besok adalah hari baik untuk pernikahanmu dan Ira. Jadi jangan membantah. Kamu hanya belum tahu rasanya menikah, Juna. Hidup kamu nanti bakal ada yang urusin, lebih berwarna dan juga lebih bahagia."

Juna ingin marah, ingin berontak, ingin membantah, tapi sepertinya itu hanya sia-sia belaka. Juna tahu betul, tak ada gunanya bagi Juna untuk menghindar lagi.

"Terserah papa dan mama kalau gitu. Atur saja semuanya." Juna memalingkan wajahnya menatap ke arah pintu. Ya Tuhan, Juna tak sabar ingin segera keluar dari ruangan ini. Sayangnya, itu terasa sulit mengingat ia tak boleh keluar sebelum pembicaraan usai.

"Bagus. Jadi anak penurut dan jangan banyak bantah. Yang orang tua katakan dan orang tua lakukan, semata untuk kebaikan anaknya." Ningsih menatap bangga pada Juna.

"Sudah bicara sama mbok Asih?" Tanya Juna lirih. Ia seperti lelaki yang tak makan tujuh hari tujuh malam Lemas tak bertenaga.

"Sudah tadi siang. Hari baiknya memang besok." Ningsih menjawab pelan. "Ira juga sudah mama beri tahu tadi sewaktu baru pulang dari sekolah. Jadi bilangnya sekalian."

"Dan mereka langsung mau gitu aja?" Juna tak habis pikir, mengapa Ira tak menolak sama sekali.

Bagi Juna, pernikahan untuk selamanya, berlangsung sekali seumur hidup. Entah apa jadinya nanti bila Juna tak mencintai Ira, melainkan justru dirinya menautkan hatinya pada wanita lain?

'Pernikahan macam apa yang akan aku jalani nanti sama Ira? Ya Tuhan, kenapa punya mama papa kok gini amat ya, maunya?'

"Itu bukan urusan kamu, sayang. Yang penting hapalkan saja nanti untuk akadnya."

"He'em." Juna mengangguk. Kini, bagi Iskan dan Ningsih sudah selesai urusan. Tinggal persiapan untuk besok, Ningsih bahkan sudah menghubungi katering untuk tasyakuran besok.

Seserius itu orang tua Juna ingin menikahkan Juna.

"Ya sudah. Mandi sana. Nanti ngobrol lah sama Ira kalau kamu mau."

"Ya."

Juna berlalu begitu saja, meninggalkan kedua orang tuanya yang terkikik geli dan bahagia sangat.

Hingga Juna keluar ruangan, ia ingin sekali rasanya murka dan menghajar apa saja karena perjodohan ini.

"Den Juna? Kenapa?"

Ira datang dan menatap juna yang tampak memerah wajahnya. "Den Juna kenapa?"

Tak menjawab, Juna segera berlalu begitu saja dari sana dan mengabaikan Ira.

Hati Ira merasa tak nyaman saat di abaikan. Mbok Asih yang menghampiri Ira, bertanya pada Ira.

"Den Juna kenapa, Ra?"

"Nggak tau, Bu. Mungkin den Juna kesal. Atau bisa jadi, dia nggak suka dan nggak mau kalau di suruh menikahi Ira. Gimana dong, Bu? Ira harus apa?"

Hati Ira sudah menciut.

"Jangan khawatir. Lambat laun den Juna pasti akan menerima pernikahan ini dan kamu sebagai istrinya."

"Semoga saja, bu."

Sudah telanjur menyetujui pernikahan, tapi hati Ira mendadak tak nyaman dan meragu setelah melihat sikap Juna terhadapnya baru saja.

**

Terpopuler

Comments

Samitha

Samitha

asal stelah nikah juna gk melakukan hubungan terlarang dgn pacarx yg sekarang

2022-09-21

1

𝚁⃟• ꂵ꒤ꇙꋊ꒐꒐ ✨ꃅꀤꍏ꓄ꀎꌗ✖️

𝚁⃟• ꂵ꒤ꇙꋊ꒐꒐ ✨ꃅꀤꍏ꓄ꀎꌗ✖️

𝒎𝒂𝒌𝒊𝒏 𝒔𝒆𝒓𝒖 𝒊𝒉𝒉😂

2022-09-21

1

Azzahra Rara

Azzahra Rara

ayo kak up lagi mulai seru nihhhh

2022-09-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!