Ira hanya mengerjapkan matanya untuk berpikir. Agaknya, gadis itu tengah menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan apa yang ia ingin.
"Bagaimana kalau Ira meminta agar ibu berhenti menjadi juru masak dan istirahat di rumah? Ira juga minta agar nanti, den Juna tak melarang Ira untuk mengembangkan hobi Ira dan bebas mau kerja atau kuliah lagi."
Tak banyak yang Aira minta. Gadis itu hanya meminta agar dirinya dibebaskan mengeksplorasi bakatnya, juga ingin ibunya istirahat saja. Mengingat usia Asih yang sudah senja, harusnya bagi Ira ibunya itu memilih untuk beristirahat.
Iskandar dan juga Ningsih hanya saling pandang dari tempat mereka. Bila gadis lain meminta untuk dibelikan rumah, mobil mewah, pakaian dan perhiasan branded, dan barang mewah lainnya, kali ini yang Ira minta hanya melihat ibunya tidak lagi kelelahan. Ira juga hanya meminta agar dirinya dibebaskan menuangkan hobinya.
Ya Tuhan, sungguh langka sekali gadis seperti Ira ini.
"Hanya itu, nak? Kamu yakin nggak mau menyebutkan sesuatu lagi sebagai syarat dan ketentuan?" Ningsih bertanya sekali lagi untuk memastikan.
"Ya. Hanya ibu yang Ira miliki, Bu. Ira nggak punya siapa-siapa lagi. Ira hanya ingin ibu nggak kelelahan. Kalau bisa, biar Ira saja yang bekerja untuk ibu, bukan ibu yang sudah harusnya istirahat di masa senja usianya."
Asih terpana, Asih sungguh betapa bangga memiliki putri tunggal yang sangat memedulikan kebahagiaanya. Andai mendiang ayah Ira masih bernafas, ia juga pasti akan bangga memiliki putri berbakti seperti putrinya, Aira Marlina.
"Kamu ini, jangan begitu, Ira. Ibu bahagia kok, hidup begini. Yang penting, kamu nggak kekurangan apa pun. Ibu nggak mau kamu mau menikah sama den Juna, hanya karena ibu sebagai alasannya." Mbok Asih cukup melihat Ira bahagia, itu sudah cukup baginya.
"Enggak, Bu. Orang bilang, cinta itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Maka Ira percaya, den Juna dan Ira akan sama-sama mencintai jika kami sudah hidup bersama. Yang penting, ibu bahagia dan Ira juga bahagia."
Iskan dan juga Ningsih paham sekarang, bagaimana karakter polos Ira yang sesungguhnya. Bagus, keduanya sepertinya semakin mantap untuk menjodohkan Ira dengan putra semata wayang mereka.
"Jadi, bagaimana kalau saya bersedia memenuhi permintaan kamu, Ra?" Iskan bertanya dengan tegas. Suaranya penuh wibawa dan pembawaan wajahnya juga sangat berkharisma.
Ira menghirup oksigen sebanyak yang ia mampu, sebelum akhirnya ia menjawab dengan hati yang mantap.
"Ira bersedia dinikahi den Juna."
Ningsih dan Iskan cukup lega sekarang. Sebentar lagi, mereka membayangkan lepas dari olok-olok memiliki anak bujang lapuk yang tak laku-laku. Selain itu, Ningsih berpikir terlalu jauh, yakni untuk memiliki cucu.
"Ya sudah. Artinya tidak usah berpikir terlalu lama, ya. Semua permintaan kamu, saya akan segera mengabulkannya. Saya ingin secepatnya Juna menikah dengan kamu."
Ira hanya bisa mengangguk, dan pasrah. Untuk meneruskan impiannya untuk kuliah dan bekerja, sepertinya akan tertunda. Toh majikannya sekarang juga berjanji tak akan melarang Ira melakukan apa pun.
Selepas menikah dengan Juna nanti, angan-angan Ira tak terlalu tinggi. Ia hanya berharap jika nanti Juna mampu membuka diri dan menerimanya dengan baik.
"Baik, Bu. Tapi, saya nggak mau nanti den Juna justru tertekan dan terpaksa menikahi saya."
"Tenang saja, Ira. Akan saya pastikan kamu nanti nggak akan kecewa. Saya akan bahas ini nanti usai makan malam." Tambah Iskan lagi.
"Baik, pak." Ira mengangguk patuh dan penuh sopan.
"Ya sudah, kembalilah ke dapur. Jangan bicarakan hal ini kada siapa pun termasuk Juna. Nanti, saya sendiri yang akan menegur Juna dan memberi tahukan hal ini terhadap anak itu." Iskan menutup pembicaraan.
Bik asih dan juga Aira mengangguk paham. Gadis itu lantas kembali ke dapur, beserta ibunya mengekor di belakangnya.
--
Arjuna merasa ada yang berbeda dengan makan malam kali ini. kedua orang tuanya juga lebih banyak diam dan juga tak seperti biasanya
Sikap Iskan dan juga Ningsih lebih cenderung pasif. Biasanya, Arjuna akan selalu di hadiahi banyak pertanyaan, dan juga banyak cercaan menyangkut hari-harinya. Maklum saja, Juna anak satu-satunya yang terbilang manja sejak dulu.
"Juna, Malam nanti keluar, nggak? Papamu mau bicara."
Ningsih mengeluarkan ujaran terhadap Juna. Juna yang sudah tau kemana arah pembahasan nanti karena ketidak sengajaan ibunya mendengar percakapannya tadi, hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar.
"Kenapa nggak ngomong sekarang sih, pa? ma? Toh sekarang sama aja. Nggak ada orang lain juga." Juna seperti biasa, selalu memutar bola matanya jika sedang malas.
"Papa maunya setelah ini di dalam ruang kerja, jadi jangan membantah, Juna." Iskan menjawab. "Lagian sekarang waktunya makan, nggak baik banyak bicara saat makan."
"Halah, biasanya juga saat makan papa banyak bahas tentang pekerjaan. Lagian Tetang apa sih?" Tatapan tajam, Juna lemparkan pada mama yang tak merasa bersalah sama sekali. Juna hanya bisa mengeluh dalam hati.
"Sejak kapan kamu jadi anak yang suka membantah?" Iskan menyuap makanan terakhirnya, "Udah, jangan banyak membantah dan jangan banyak ngomong lagi. Sekarang, papa dan mama tunggu kamu di ruang kerja."
Ningsih yang juga sudah selesai makan, segera mengekor di belakang suaminya sembari berdehem pelan. Sayangnya, deheman itu bagi Juna seperti sebuah ledekan.
"Sialan, mama. Pasti papa di provokasi sama mama." Juna bergumam kecil. Tapi sayangnya, Juna tak berfirasat sedikit pun bahwa ia akan dijodohkan dengan gadis yang saat ini tengah mengantarkan secangkir kopi susu untuknya.
"Terima kasih, Ira." Tukas Juna kemudian.
"Sa.... sama-sama, den." Ira mendadak gugup, yang terdengar aneh di telinga Juna. Entah mengapa, Ira terlihat aneh malam ini.
Dalam hati, Juna membatin mungkin Ira sedang ada masalah atau bagaimana, Juna tak begitu mengerti.
"Kamu kenapa gugup, Ira? Kamu sakit? Atau ada masalah?" Tanya Juna kemudian.
"Den Juna.... em, tidak apa-apa, den."
"Ira, bagaimana dengan ujian akhirnya? Apakah sudah selesai dan semuanya berjalan dengan lancar?"
"Lancar, den. Terima kasih kemarin sudah bantu mendoakan." Ira berpikir, Juna mungkin mulai membuka diri untuknya. Lihat saja, biasanya Juna sangat cuek. Tapi kali ini, Juna terlihat sangat perhatian dan bicara panjang lebar padanya.
"Bagus. Ya sudah. Oh ya, sebaiknya ini antar ke kamar, ya. Taruh saja diatas meja. Nanti aku minum di sana. Papa minta aku untuk ke ruang kerjanya."
"Baik, den."
Setelah Juna tiba di ruang kerja papanya, Juna mengerutkan keningnya, saat dilihatnya, papa dan mama tengah tersenyum lebar padanya.
"Wah, akrab sekali kamu sama calon istri kamu." Iskan menyapa Juna yang baru saja menutup pintu.
"Hah? Calon istri? Apanya?"
"Ya barusan, kamu berbincang sama Ira. Bukannya kamu bilang kalau kamu bisa mendapatkan Ira? Wah hebat anak papa."
"Eh? Ira? Calon istri? Maksudnya?
"Maksudnya, Ira yang calon istri kamu."
"APA??!!!"
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
𝚁⃟• ꂵ꒤ꇙꋊ꒐꒐ ✨ꃅꀤꍏ꓄ꀎꌗ✖️
lanjut thor
2022-09-19
1
ARYA AKHTAR
seru kayae rasain juna
2022-09-18
1
Anonymous
Lanjutannnnn
2022-09-18
1