Guruku Tersayang
Sudah lama sebenarnya Damar menyukai Bu Dita. Guru Matematika sekaligus wali kelasnya saat ini. Sejak hari pertama ospek memakai seragam putih abu-abu. Tak hanya sekedar cinta monyet di bangku SMA, tetapi lelaki yang kini genap berusia sembilan belas tahun itu selalu berangan-angan bisa mempersunting gurunya tersebut. Itu juga yang jadi penyebab kenapa ia sampai dua kali tidak lulus ujian akhir sekolah. Damar tak ingin jauh dari guru tersayangnya tersebut.
Pagi ini, seolah mendapatkan angin segar, tak sengaja Damar mencuri dengar perbincangan Bu Dita dengan lelaki berseragam coklat yang ia tahu adalah calon suaminya Bu Dita. Lelaki yang selalu membuat pagi Damar tak bersemangat jika ia melihat perempuan pujaan hatinya diantar oleh lelaki tersebut. Damar benar-benar cemburu. Tapi sepertinya mulai hari ini tak akan terjadi lagi sebab ia memutuskan hubungannya dengan Bu Dita, di parkiran sekolah. Damar mengintip, ia memasang telinganya baik-baik, tak ingin melewatkan sedikitpun perbincangan sepasang kekasih yang kini resmi menjadi mantan.
Mantan. Yap, mengulang kata-kata itu, senyum Damar mengembang. Ia tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya meski kini guru tersayangnya itu setengah berlari sembari menahan air mata menjauh dari mobil lelaki bernama Aditya tersebut. Tak lama mobil itupun pergi meninggalkan parkiran sekolah mereka.
"Hus hus, pergilah yang jauh dan jangan kembali lagi!" seru Damar, dari balik tempat persembunyiannya. "Bu Dita, bersabarlah. Pagi ini hati Bu Dita patah, tapi secepatnya aku akan menjadi obatnya. Aku akan menggantikan posisi lelaki tersebut. Aku jamin, aku bisa jadi lelaki yang jauh lebih baik darinya!" Damar membusungkan dadanya, ia tersenyum, sehingga menambah tampan rupanya.
***
Sepertinya Bu Dita benar-benar terluka usai putus dari Aditya sebab jam pelajaran matematika pagi ini harus kosong, padahal Damar sudah menanti-nanti agar bisa bertemu. Ia tak sabar melihat wajah Bu Dita sebagai seorang jomblo baru.
"Kerjakan tugas halaman tiga puluh enam sampai empat puluh di buku paket. Nanti dikumpulkan setelah jam pelajaran berakhir!" Pian, siketua kelas memberi pengumuman.
"Huffff," Damar menggerutu, Bu Dita benar-benar tidak masuk. Ia pun kehilangan semangatnya. "Kenapa harus tugas, sih. Kenapa nggak Bu Dita saja yang masuk!"
"Halah, kayak kamu bakal belajar serius aja bang kalau Bu Dita masuk." celetuk Joko, teman sebangku Damar.
"Siapa juga yang mau belajar," Damar melengos. "Orang aku cuma pengen melihat wajah Bu Guru yang cantik." gumam Damar sembari melengos keluar kelas. Ia terus saja berlalu meninggalkan kelasnya meski Pian sudah melarang. Siapa yang peduli, Damar sudah memutuskan untuk keluar kelas sebab disana tak menarik tanpa adanya Bu Dita.
Kaki Damar terus melangkah menuju kantin yang berada paling ujung. Ia sama sekali tak takut jika ketahuan guru berkeliaran di luar kelas saat jam pelajaran. Damar benar-benar bosan, ia kehilangan semangat sebab Bu Dita tidak masuk ke kelasnya. Padahal Damar ingin memperlihatkan penampilan barunya usai cukur rambut.
Hari Jum'at lalu, sebelum liburan akhir pekan, ia kena razia guru BP gara-gara rambutnya tidak rapi. Sebenarnya Damar tak peduli jika rambutnya harus dicukur asal oleh Bu Venti, guru BP yang paling sering menghukum dirinya. Tetapi ia menjadi peduli ketika Bu Dita ikut berkomentar jika Damar jauh lebih tampan kalau rambutnya dipotong rapi. Begitu bel pulang sekolah berbunyi, Damar langsung melaju menuju tukang pangkas, ia memotong rambut sesuai dengan apa yang diarahkan Bu Dita tadi.
"Damar, kamu bolos lagi!" tiba-tiba perempuan yang dibayangkan Damar muncul di hadapannya. Yap, Bu Dita rupanya sedang nongkrong di kantin juga. Wali kelasnya tersebut melihat kedatangan Damar dan langsung menghampiri.
"Bu ... Bu Dita," Damar kaget. Wajahnya memerah sebab kini mereka duduk berhadap-hadapan.
"Ngapain kamu di sini? Jangan bilang bolos. Kan sudah saya kasih tugas. Pasti kamu belum mengerjakan. Iya, kan?"
"Hahaha, ibu tahu saja." sebenarnya Damar malas menyapa Bu Dita dengan ibu, ia ingin menyebut nama saja, tapi Damar sangat sadar kalau itu akan menjadi masalah untuknya.
"Sekarang mendingan kamu kembali ke kelas atau ...."
"Atau apa, Bu?"
"Akan saya adukan kamu ke Bu Venti supaya kamu dapat hukuman lagi."
"Paling hukumannya suruh hormat bendera sampai pulang sekolah. Ahhh bosan Bu. Kayak nggak ada hukuman lain saja. Bu Venti benar-benar nggak kreatif!"
"Ehhh kamu, bisa-bisanya ngatain guru. Nggak sopan!"
Damar tersenyum melihat wajah Bu Dita yang memerah menahan kesal. Tambah cantik. Ia hanya bisa bergumam. Meski ada sisa air mata di sana.
"Ibu sendiri kenapa di sini? Kan harusnya ibu ngajar di kelas kami. Ibu juga bolos, kan? Kalau ibu ngelaporin saya, maka saya pun akan melaporkan ibu!" Damar pura-pura ngancam.
"Iiihhhh makin nggak sopan ya kamu!" Bu Dita pura-pura marah. "Kamu itu sudah dua kali tidak lulus, Mar. Harusnya belajarnya nggak main-main lagi. Supaya nggak terulang yang ketiga kalinya!"
"Yeeere, saya malah pengennya nggak lulus-lulus, supaya selalu jadi murid ibu!" gumam Damar sambil tersenyum.
"Ehhh dinasihati malah senyum-senyum," Bu Dita cemberut, membuat Damar semakin gemas.
Bu Dita, usianya memang jauh di atas Damar, mereka selisih sebelas tahun, tetapi tak terlihat mencolok sebab wajah Bu Dita yang baby face.
"Bu, ibu baru putus ya." cetus Damar.
Mendadak wajah Bu Dita berubah pucat. "Kamu ngomong apa, jangan nggak sopan ya!"
"Enggak kok bu, saya cuma mau bilang kalau saya siap menjadi pelabuhan baru ibu."
"Astagfirullah Damar, kamu nggak sopan sekali ya. Saya kira kamu pemalas saja makanya nggak lulus dua kali, ternyata kamu juga tidak baik attitude nya! Saya benar-benar tidak menyangka." Bu Dita marah.
"Saya serius, Bu. Saya benar-benar suka sama ibu. Mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi sepertinya saya sudah tidak bisa menahan diri lagi untuk mengungkapkan perasaan ini. Selama lima tahun ini saya menyimpannya dalam rapat sebab saya tahu ibu sudah punya calon. Sebagai laki-laki yang gentle, maka saya memendam sambil berdoa tiap hari agar hubungan ibu kandas. Dan tadi pagi akhirnya Allah menjawab doa saya dengan berakhirnya hubungan ibu. Itu berarti sebenarnya kita berjodoh, Bu."
"Damar ... kamu sadar nggak sih? Kamu tahu kan saya ini guru kamu. Lagipula kamu tidak sopan sekali bicara seperti itu. Kamu kira hidup saya bisa jadi bahan olok-olokan kamu!" Wajah Bu Dita semakin memerah menahan marah.
"Saya serius Bu, ini bukan candaan. Atau, apa perlu saya ....* tiba-tiba Damar berdiri dari duduknya, lalu ia berlutut di hadapan Bu Dita. Apa yang dilakukan Damar barusan mengundang perhatian penjaga kantin serta sepasang mata yang melongo melihat pemandangan di hadapannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments