Minta Restu

Sampai sore, suasana di kontrakan masih sepi. Semua orang diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Karena tak tahan, akhirnya Damar memutuskan keluar rumah. Ia ingin menemui seseorang yang dianggapnya bisa membantunya menyelesaikan masalah. Dengan motor tua, Damar melaju menuju salah satu perumahan elit di kota ini.

Rumah bergaya Eropa minimalis, itu tak asing bagi Damar. Meski ia hanya beberapa kali ke sini. Itupun biasanya kalau sudah dipaksa ibunya. Atau kalau sedang ada acara besar dan biasanya ia akan dipaksa oleh tuan rumah harus datang.

Rumah itu adalah rumah Bu Bintang, kepala sekolahnya. Tetapi yang akan ditemui Damar adalah putrinya, Rana. Tak jauh dari rumah itu Damar mengirim pesan pada teman lamanya tersebut. Tak butuh waktu lama, gadis berparas cantik itu keluar. Wajahnya begitu sumringah meski tampak kelelahan.

"Aku ganggu ya?" Tanya Damar, basa-basi.

"Enggak kok. Kan sudah aku katakan, kapanpun kamu mau boleh datang ke sini. Pintu rumahku selalu terbuka untuk kamu, Mar. Tapi ngomong-ngomong ada hal apa kenapa kamu tiba-tiba nongol? Biasanya diajak main ke sini susah banget." jawab Rana.

"Hmm, itu, aku mau minta tolong Ran. Bolehkan?"

"Minta tolong apa? Kamu nggak lagi kena hukuman di sekolah, kan?"

"Yap kamu benar!"

"Duhhh Damar Damar. Kamu kenapa lagi? Bolos? Nggak ngerjain PR? Tawuran atau apa?"

"Bukan Ran, tapi aku nembak Bu Dita."

"Apa? Nembak Bu Dita? Maksudnya?"

"Yap, aku menyatakan cinta sama Bu Dita dan ke gepp sama Mama kamu. Terus aku dihukum. Sebenarnya aku nggak masalah sih dihukum, yang jadi masalah itu Bu Dita nya. Aku nggak tega kalau beliau juga ikut kena getahnya."

"Mar ...." wajah Rana berubah, senyumnya hilang, apalagi saat ia meyakinkan apakah itu hanya lelucon, tapi ketika melihat raut serius Damar, hati Rana langsung hancur. Cinta yang ia pendam selama ini ternyata harus bertepuk sebelah tangan. Damar tak menyukainya, Damar mencintai gurunya. ingin sekali Rana menangis, tetapi ia berusaha menahannya a. Rana sangat mencintai Damar, lelaki itu adalah salah satu alasan kenapa ia berusaha bertahan hidup dengan sakit yang diidapnya. Lalu kalau sudah begini ia harus bagaimana?

"Ran, kamu dengerin aku, kan? Kamu mau kan nolong aku?" tanya Damar.

"Apa yang bisa aku bantu, Mar?" Rana balik bertanya. Gadis itu masih memaksakan senyum meski bibirnya kelu.

"Tolong bicara sama Mama kamu supaya hukuman Bu Dita dibatalkan."

"Tapi Mar,"

"Please Ran, kamu pasti bisa. Mama kamu pasti mendengarkan kamu. Ya ya ya." Damar memohon, dan tentu saja sikapnya membuat Rana luluh.

"Hmmm, baiklah. Akan aku coba."

"Jangan hanya mencoba RAN, tapi harus berhasil!"

"Baiklah. Tapi aku dapat apa ni?"

"Hmmm, apa ya? Apa yang bisa aku berikan untuk kamu? Kamu kan tahu Ran, ibuku cuma buruh cuci, nggak punya uang banyak. Lagipula kamu sudah punya semuanya. Ibumu sudah mencukupi semua kebutuhan kamu."

"Isss, siapa juga yang minta hadiah barang. Aku mau menikah dengan kamu, Mar."

"Hah? Hahahhaha. Kan sudah aku katakan Ran, aku itu cintanya sama Bu Dita."

"Bu Dita jadi kekasih kamu, tapi nikahnya nanti sama aku ya."

"Hahahaha. Ya ya ya. Baiklah. Tapi jangan lupa bujuk ibu kamu ya. Aku tunggu kabar baiknya!" Damar segera meloncat ke atas motornya. Tanpa beban ia melaju meninggalkan Rana. Janji untuk menikahi gadis itu tentulah hanya janji kosong yang dianggapnya sebagai candaan sebab Damar tak tahu bagaimana perasaan Rana yang sebenarnya padanya. Ia menganggap gadis itu sebagai temannya, sahabat masa kecil yang disayanginya seperti adik kandung sendiri.

***

Kini Danar berada di depan ibunya. Setelah menyerahkan urusan Bu Dita pada Rana, kini sudah waktunya ia menyelesaikan masalahnya dengan ibunya tersebut.

"Bunda masih marah sama Damar?" tanyanya.

Tak ada jawaban. Ibunya pura-pura sibuk menjahit.

"Bun, Damar mau ngomong serius sama Bunda." Damar, meskipun usianya sudah tidak muda lagi, tetapi pada ibunya ia selalu bisa bermanja-manja.

"Apa lagi, Mar? Sejak kapan kamu serius. Selama ini kan kamu selalu main-main."

"Maafin Damar, Bun. Damar ingin menikah."

"Astagfirullah Damar!" Refleks Bu Anis memukul Damar dengan kain di tangannya. Ia semakin kesal dengan anaknya."

"Duh duh duh, Bunda. Kenapa mukul Damar sih, sakit nih."

"Kamu itu ya. Kapan sih bisa serius? Kapan kamu benar-benar bersikap baik. Katanya mau serius, tapi tetap saja main-main. Kamu benar-benar membuat Bunda kecewa, Mar. Kamu itu sudah dewasa, jangan bersikap seenaknya lagi. Bisa kan Mar?"

"Maafin Damar, Bun. Damar menyesal sebab sudah membuat Bunda kecewa. Damar nggak akan main-main lagi. Damar serius Bun, Damar ingin menikah."

"Menikah dengan siapa Damar? Kamu kan belum lulus sekolah. Mau apa sih kamu Mar? Mau bikin beban ibu semakin bertambah? Kamu lihat adik-adik kamu, Mar. Mereka juga butuh biaya besar, terutama Nanda yang ingin lanjut kuliah kedokteran. Kamu tahu kan biayanya nggak kecil. Lalu masih mau main-main, Mar? Bunda nggak minta kamu untuk menanggulangi semuanya, hanya minta kamu tidak menambah beban bunda dengan ulah kamu."

"Bun, Damar serius. Damar ingin menikah."

"Damar, pernikahan itu bukan mainan. Jadi kamu jangan sembarang bicara."

"Iya, Damar memang nggak sembarang Bun, Damar sangat sangat serius malahan!"

"Sama siapa Damar? Jangan bilang sama guru kamu itu. Lalu apa dia nggak masalah kamu belum lulus sekolah? Memangnya guru kamu itu ada masalah apa sih, kenapa dia mau menikah sama muridnya sendiri. Benar-benar aneh jaman ini. Biasanya murid hormat sama gurunya karena guru menjaga kehormatannya. Bunda benar-benar tidak habis pikir."

"Bu Dita nggak aneh, Bun. Bu Dita belum menjawab lamaran Damar. Makanya Damar ingin menemui orang tuanya. Nah sebelum maju Damar mau minta restu Bunda dulu supaya apa yang Damar lakukan berhasil!"

"Astagfirullah, ya terserah kamu lah Mar. Bunda sudah menyerah menghadapi kamu. Kalau kamu memang mau menikah silahkan, tapi sebelumnya kamu harus lulus dan punya pekerjaan mapan dulu sebab Bunda nggak mau nanti menanggung beban rumah tangga kamu. Bunda sudah lelah, Mar. Lagipula kamu masih punya tiga adik yang masih jadi tanggung jawab Bunda. Ngerti!" jelas Bu Anis yang sudah kehabisan kata-kata.

"Yesss, siap Bunda. Yang penting Bunda Ridha. Damar kan jadinya enak." enteng, tanpa merasa bersalah sedikitpun Danar melenggang menuju kamar sebelah yang menjadi tempatnya beristirahat bersama Sigit, adik lelaki semata wayangnya. Tak lupa ia bersiul, menyenandungkan isi hatinya yang tengah bahagia sebab merasa sudah berhasil satu langkah, tinggal beberapa langkah lagi untuk menjadi kekasih Bu Dita.

Terpopuler

Comments

De'Ran7

De'Ran7

Dih nih orang kaga punya rasa malu kah..udah buat Bu guru kena masalah.ibunya jga eh malah beri anak orang harapan palsu pula😕

2022-10-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!