"Dita Nur Amania, izinkan aku mengungkap isi hati yang selama ini aku simpan rapat-rapat. Aku benar-benar mencintai kamu. Izinkanlah aku menjadi obat atas hatimu yang kini sedang tidak baik-baik saja usai putus dengan lelaki tak bermutu itu. Aku janji akan menghiasi hari-harimu dengan kebahagiaan. Aku sangat mencintai kamu. Maukah kamu menjadi kekasihku?" ucap Damar dengan sungguh-sungguh, masih dalam posisi berlutut.
"Damar. Bu Dita!" sepasang mata yang semenjak tadi hanya memperhatikan dengan tak percaya kini buka suara. Bu Bintang, beliau adalah kepala sekolah di sini. Kebetulan sedang lewat dan tak sengaja melihat pemandangan yang membuatnya geleng-geleng kepala. "Apa yang sedang kalian berdua lakukan?"
Bu Dita begitu kaget mendapati kehadiran ibu kepala sekolah. Seperti mendapat dua kejutan secara beruntun sehingga membuatnya bicara terbata-bata. Sementara Damar, sipembuat masalah masih bisa bersikap santai seolah tak terjadi apa-apa.
Bagi Damar, mengungkapkan cinta bukanlah sebuah dosa. Apalagi sekarang Bu Dita sedang jomblo. Jadi rasanya tidak ada masalah.
"I itu Bu," Bu Dita masih terbata.
"Apa? Bukankah seharusnya sekarang kalian berdua berada di dalam kelas. Anda ada jadwal ngajar, kan, Bu Dita? Dan kamu Damar, mau membuat masalah apa lagi? Sikap kamu barusan benar-benar memalukan!" tegas Bu Bintang.
"Memalukan bagaimana, Bu? Saya cuma menyatakan cinta. Satu-satunya salah saya hanya mengutarakan saat jam pelajaran sekolah, lebihnya sah sah saja, kan!" Tegas Damar.
"Damar!" Bu Bintang tampak geram. Menyadari sebentar lagi jam istirahat akan berbunyi dan murid-murid akan beristirahat, Bu Bintang menyuruh dua orang di hadapannya untuk ikut ke kantor kepala sekolah.
***
Apa yang ditakutkan Bu Dita terjadi, kini mereka berdua di sidang. Selain Bu Bintang, ada wakil kepala sekolah; pak Wiguna, yang tak lain adalah paman Bu Dita dan juga Bu Venti sebagai guru BP.
Tak ada sedikitpun kesempatan yang diberikan oleh Bu Bintang pada dua orang yang diduga bersalah untuk membela diri. Pimpinan sekolah ini terus mencecar dengan berbagai tuduhan yang menyudutkan.
"Hemm," pak Wiguna berdehem. "Sepertinya ini hanya permasalahan sepele, Bu. Mungkin Bu Dita dan nak Damar tidak bermaksud untuk melakukan hal-hal terlarang. Mereka pasti hanya iseng saja. Sering kan kita lihat murid mengagumi gurunya. Iya kan nak Damar?"
"Nggak kok pak, saya serius. Saya benar-benar suka sama Bu Dita." tegas Damar.
"Damar!" kini tak hanya Bu Bintang yang melotot, tapi juga pak Wiguna, Bu Venti dan bu Dita. Momen yang harusnya ketegangan bisa dicairkan malah diperumit kembali. Tetapi sang pelaku hanya tersenyum santai seolah tak ada beban.
***
Sudah diputuskan hukuman untuk Bu Dita adalah diskors selama sepekan tidak boleh mengajar, sementara Damar harus membawa orang tuanya ke sekolah untuk dipertemukan dengan Bu Bintang. Mendengar keputusan itu tentu saja Damar protes, sementara yang lainnya berlalu tak peduli. Menurut para guru tersebut, hukuman tersebut lebih baik ketimbang Bu Dita harus dipindahkan ke sekolah lain.
"Bu, yang benar saja. Masa Bu Dita harus ikut-ikutan dihukum. Kan sudah saya akui kalau saya melakukan semuanya atas inisiatif sendiri. Saya benar-benar mencintai Bu ...." belum selesai Damar bicara, Bu Bintang sudah memotong perkataannya.
"Kamu jangan sembarang bicara lagi, Damar. Sudah untung kamu tidak saya serahkan pada Bu Venti, kalau tidak bisa-bisa kamu mendapatkan hukuman yang lebih berat lagi!" tegas bU Bintang.
"Saya nggak keberatan dihukum kok Bu, malahan saya ...."
"Sudah Damar. Sebaiknya besok bawa ibu kamu ke sekolah. Dan sekarang kembali ke kelas kamu. Ingat, jangan pernah melakukan hal-hal bodoh seperti tadi lagi!"
Baru saja Damar hendak menywla, Bu Bintang sudah memutus. Ia memberi isyarat keras agar Danar segera kembali ke kelasnya.
"Ughhhh, benar-benar sial!" Damar menggerutu. Ia merasa tak enak hati pada Bu Dita sebab sudah membuat perempuan pujaan hatinya mendapatkan masalah. Tapi ia juga tak bisa menyesali apa yang dilakukannya tadi sebab kini akhirnya ia bisa jujur tentang perasaannya pada wali kelasnya tersebut.
***
Baru saja motor tua milik Damar parkir di depan kontrakan mungil merek, tiba-tiba sudah muncul sosok Sigit, adik kedua Danar. Ia langsung memburu Danar dengan banyak pertanyaan.
"Abang membuat masalah lagi, ya? Ckckck, Bunda dipanggil ke sekolah lagi, ya? Abang benar-benar deh, nakalnya ampun. Kasihan tuh Bunda, kelihatan sedih banget." Ungkap Sigit.
Damar tak menjawab, ia hanya menggerutu. Benar-benar ember Bu Bintang, padahal ia bisa menyampaikan sendiri pada Bunda, tapi malah disampaikan lebih dahulu. Mentang-mentang kepala sekolahnya tersebut kenal ibunya.
Bu Bintang itu adalah sahabat ibunya saat dibangku SD hingga SMP. Karena kurang mampu, ibunya tak lanjut sekolah, berhenti saat kelulusan SMP. Sementara Bu Bintang terus lanjut hingga menjadi kepala sekolah.
Persahabatan ibunya Danar dan Bu Bintang terus dijalin. Bahkan putri tunggalnya Bu Bintang juga sering ke rumah Danar. Namanya Rana. Gadis cantik yang sudah mengenyam bangku kuliah itu sebenarnya satu angkatan dengan Danar, tapi karena dua kali tidak lulus, akhirnya Danar tertinggal, semnetara Rana melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi negeri, fakultas yang sama dengan ibunya.
"Kenapa sih Mar, kamu suka sekali membuat masalah. Bunda kira kemarin sudah yang terakhir, ternyata masih ada lagi. Mana tambah parah lagi permasalahan yang kamu buat. Bunda benar-benar pusing mikirin kamu." tiba-tiba Bu Anis, ibunya Danar sudah muncul di depan pintu. Tampak sekali wajahnya mengguratkan kesedihan, tapi namanya Damar, ia tak ambil hati sama sekali.
"Namanya juga anak muda, Bun." Jawab Danar, santai.
"Ya Allah ... justru seharusnya anak muda harus mikir masa depan, jangan main-main. Lagipula masalah yang kamu buat itu bikin malu Bunda. Entah bagaimana Bunda harus menghadapi Bu Bintang besok, belum lagi Rana kalau ia tahu masalah kamu hari ini."
"Rana? Untuk apa juga dia harus tahu."
"Mar, sudahlah main-mainnya. Bunda ingin kamu serius. Malu Mar sama Rana dan ibunya. Mereka sudah banyak menolong kita. Sudah waktunya kamu membalas kebaikan mereka dengan belajar serius lalu menata masa dpwna kamu!"
"Bun, apa yang Damar lakukan itu juga demi masa depan Damar."
"Damar, Bunda serius ini!" Bu Anis yang biasanya tenang kini mulai menaikkan nada suaranya. Ia menyadari bahwa sudah salah cara mendidik Danar hingga sulungnya itu selalu bersikap asal-asalan. "Kita bukan orang kaya, Mar. Jangan jadi pemuda yang tidak bertanggung jawab seperti ayahmu!" pekik Bu Anis, hingga membuat perhatian keempat anaknya yang memang sudah berada di rumah tertuju pada perempuan Singkep parents tersebut.
Mereka memang tahu siapa dan bagaimana ayah mereka. Lelaki yang tak bertanggung jawab, yang membuat hidup mereka hancur berantakan. Tiga kali ayahnya membuat mereka terjerat hutang, berkali-kali mereka disakiti hingga akhirnya ibunya berani mengajukan permohonan perceraian sehingga kini mereka bisa hidup bebas tanpa bayang-bayang lelaki itu lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments