Bu Dita tercengang dengan kata-kata Damar barusan, ia semakin yakin, muridnya ini benar-benar kekanakan. Usianya memang lebih tua dari teman-teman seangkatan, tapi tetap saja ia belum bisa berpikir dewasa. Tapi ia juga memaklumi sebab para remaja kadang memang begitu, memutuskan sesuatu kadang tanpa pikir panjang, terlalu menggebu. Tanpa mempertimbangkan efeknya.
"Damar," Bu Dita mencoba menahan emosinya. Ia memutar keras otaknya agar bisa menemukan sesuatu alasan supaya anak ini segera pergi dan tak mengganggu hidupnya lagi. "Kamu tahu arti pernikahan itu apa? Tak segampang orang-orang yang pacaran. Ada tanggung jawab yang begitu besar, apalagi kamu laki-laki. Kamu akan jadi kepala keluarga, akan memimpin anak dan istrimu kelak . Surga dan neraka mereka, kamu lah yang berandil besar untuk menentukannya. Jadi jangan gegabah mengajak orang menikah. Sementara kamu sendiri masih bergantung pada ibumu. Saya tahu persis bagaimana kehidupan kamu saat ini. Lagipula apa kamu tega menyuruh ibumu membiayai istri dan anakmu padahal usianya sudah tidak muda." Bu Dita mencoba menyerang hati Damar. "Aditya, orang yang sudah menjalin hubungan kasih dengan saya saja hampir sepuluh tahun tak berani untuk berkomitmen, padahal ia sudah mapan secara ekonomi dan usianya cukup. jadi sudahilah lelucon ini. Untuk kali ini kamu saya maafkan, pulanglah, dan lupakan semuanya."
"Nggak Bu. Saya serius. Benar-benar serius. Dan tolong jangan samakan saya dengan mantan ibu. Dia laki-laki pengecut yang tak berani berkomitmen, semnetara saya siap menghalalkan ibu." damar begitu percaya diri.
"Astagfirullah kamu, ya!" Bu Dita benar-benar habis sabar, ia ingin kembali marah tapi menurutnya hanya akan sia-sia saja. Meski tak terlalu dekat dengan muridnya tersebut, tetapi Bu Dita hafal karakter Damar. Sebagai wali kelas ia tahu muridnya ini tipikal keras kepala. Kalau sudah punya keinginan sulit untuk dibantah. Tak ingin lagi melihat wajah Damar akhirnya ia mengikuti permainan anak itu tanpa berpikir panjang. Yang ia yakini, Damar tak benar-benar serius, palingan karena terbawa emosi jiwa mudanya, tak akan lama juga akan menyerah juga Satu-satunya yang ada dipikiran Bu Dita hanya bagaimana agar Damar segera pergi dari rumahnya, ia tak enak hati para tetangga yang beberapa kali lewat, entah hanya sekedar lewat atau ingin melihat apa yang sedang terjadi karena suara Damar cukup kuat.
"Kamu kira menikah dengan saya itu mudah? Banyak syaratnya. Saya tidak ingin punya suami yang tidak lulus SMA, saya juga tidak mau jadi tulang punggung keluarga. Jadi kalau kamu mau menikah dengan saya maka lulus dan milikilah penghasilan yang besar!" tantang Bu Dita. "Oh ya satu lagi, saya tidak ingin membiayai acara pernikahan. Harus kamu yang membiayai. Dan itu bukan sekedar akad, harus ada resepsinya juga!"
Tantangan yang tak jauh beda dari apa yang diminta ibunya. Tentu saja tak membuat nyali Damar ciut. Ia malah menerima dengan senang hati. Ia berjanji akan memenuhi kriteria tersebut dan meminta janji yang sama agar Bu Dita juga tidak ingkar janji nantinya.
Setelah sama-sama membuat janji, barulah Damar meninggalkan rumah Bu Dita dengan motor bututnya. Kini di benaknya sudah ada rencana besar agar bisa memenuhi targetnya.
***
Pertama Damar menuju kampus biru dimana Rana kuliah. Sebelumnya Damar sudah mengetahui keberadaan Rana karena mereka sudah bertukar pesan. Seperti yang dikatakan Rana, ia menunggu Damar di salah satu kantin dekat kampus.
"Ada apa lagi, Mar? Cepetan bicara. Aku nggak mau teman-temanku ngelihat aku ngobrol sama anak SMA." kata Rana. Ia sebenarnya senang dengan pertemuan ini, tapi harus menjaga imej agar Damar tidak tahu isi hatinya yang sebenarnya sebab Rana malu.
"Ihhhh sombong banget, mentang-mentang sudah kuliah," Damar mencibir. "Gini, aku mau minta tolong sama kamu. Carikan aku pekerjaan."
"Hah, kerja? Kerja apa, Mar? Nggak ada. Aku saja belum kerja, masa nyariin untuk orang lain. Lagian kan kamu masih harus sekolah. Mana ada waktu untuk kerja."
"Kerja paruh waktu Ran, yang bisa dikerjakan pas pulang sekolah. Yang penting aku punya penghasilan. Kalau bisa gajinya gede."
"Dihhh, belum punya ijazah tapi minta gaji gede "
"Iya dong, aku butuh buat biaya nikah."
"Hah? Kamu serius Mar sama Bu Dita?" Wajah Rana langsung pucat. Ia benar-benar takut kalau Damar benar-benar serius sama Bu Dita. Sebelumnya Nanda sudah menghubungi Rana, ia mendapatkan angin segar dari adik lelaki yang dicintainya tersebut. Nanda mengatakan kalau sebenarnya Rana lah yang akan menjadi pacar Damar nantinya, sekarang Damar begitu mungkin karena stress dengan sekolahannya yang belum juga lulus.
"Ya seriusan. Bu Dita memberi syarat kalau mau nikah sama dia aku harus membiayai pernikahan kami. Makanya aku akan menjawab tantangan itu karena aku seriusan!"
Rana langsung kecewa. Ia tak lagi sanggup tersenyum. Padahal saat Damar mengirimkannya pesan mengajak bertemu, Rana sudah senang. Hatinya berbunga-bunga, tapi bunga tersebut hanya mekar sebentar.
"Ran, kamu dengar aku kan?" Damar memukul pelan lengan Rana dengan sumpit
"Hah, oh ya. Aku dengar."
"Terus, kapan aku bisa mulai kerja?"
"Nggak tahu Mar."
"Please Ran, bantu aku. Kamu kan punya toko, barangkali di sana aku bisa dapat pekerjaan." Damar mengingatkan Rana tentang toko tekstil milik mendiang ayahnya. Tempat itu menurutnya cocok jadi tempatnya bekerja untuk pertama kalinya.
"Nggak ahh, aku nggak bisa Mar. Yang mengelolanya pamanku, kalau aku ikut campur nanti bisa dimarahi Mama."
"Nggak bakalan. Aku akan kerja dengan baik di sana. Ya Ran, please."
Berat sekali hati Rana untuk membantu Damar, tapi ia lebih berat lagi untuk menolak sebab tak ingin Damar kecewa. Bagi Rana, melihat Damar bahagia maka ia pun akan bahagia meski akibatnya hatinya porak poranda.
"Gimana?" tanya Damar dengan ekspresi memelas yang sengaja ia buat untuk membuat Rana luluh.
"Hmmm, tapi mau kerja apa?" tanya Rana.
"Apa saja yang penting ada gajinya."
"Enggak tahu."
"Kuli juga nggak masalah. Ya?"
"Ya nanti aku ngomong sama paman dulu."
"Yess! Thanks Ran. Aku benar-benar senang banget.. beruntung punya teman kayak kamu!"
"Tapi ini belum pasti diterima, baru mau diomongin dulu "
Damar tak peduli. Ia sangat yakin kalau Rana tak akan mengecewakan. Lelaki itu tahu kalau Rana akan selalu berusaha membantunya sebab Rana adalah teman yang baik.
"Oke Ran, besok aku mulai masuk kerja. Sekarang aku pulang dulu!" Damar melambaikan tangan. Ia tak mempedulikan Rana yang protes bahwa pekerjaannya belum fiks diterima. Sehingga membuat Damar tertawa lega sementara Rana terbebani.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments