Satu minggu lagi akan diadakan Olimpiade Sains tingkat nasional yang akan diselenggarakan di Bandung. Sebagai siswi berprestasi, dan banyak memenangkan piagam Olimpiade, sudah pasti untuk kali ini Savira juga yang akan mewakilkan sekolah. Bisa dibilang, ini Olimpiade terakhir nya sebelum ujian kelulusan.
Maka, mulai minggu ini Savira menjadi lebih sibuk untuk mempersiapkan Olimpiade. Ia harus menang, karena uang hasil lomba kali ini bisa membantu menambahkan simpanannya.
"Vir, nanti lo di Bandung nya berapa lama? " tanya Sarah, saat ini mereka sedang berada di taman, setelah tadi dari perpustakaan, untuk mencari beberapa buku yang diperlukan Savira.
"Emm, kemungkinan seminggu atau lebih, itupun kalau masuk final. " Sarah hanya menganggu sebagai jawaban. Ia yakin, teman terbaiknya ini sudah pasti akan masuk final.
"Gue lapar Vir, lo lapar ga? Gue beliin makanan ya di kantin. Dadaahh, " Tanpa menunggu jawaban, Sarah langsung melesat pergi begitu saja. Savira hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan temannya itu.
"Kayanya udah lapar banget, kekeke" gumamnya di akhiri kekehan.
Sudah 10 menit, tapi Sarah belum juga kembali dari kantin, begitupun Savira yang terlalu fokus dengan buku di depannya, tanpa menyadari ada 3 siswi yang berjalan ke arahnya dengan senyum licik terpatri di wajah salah satu di antaranya.
"Wiihh, lihat gaes ada rakjel di sinii!" seru Jeje, murid yang sudah tidak usah di ragukan lagi kenakalan nya. Namun sayang nya, tak ada guru yang berani menegur ataupun menghukumnya, hanya karena orang tua Jeje salah satu donatur terbesar di sekolah. Savira hanya diam, tetap fokus pada kegiatan awalnya, mencoba mengabaikan Jeje.
Merasa tak di gubris, Jeje pun maju untuk lebih dekat dengan Savira, lantas merebut paksa buku yang sedang di pegang Savira. Tentu Savira yang terkejut, secara spotan berdiri menatap tajam Jeje. Hanya sebentar, efek dari keterkejutan nya, setelah itu menundukkan pandangannya, tak berani melawan lebih. Setidaknya ia sadar siapa dirinya, dan siapa lawannya.
"Apa!? Berani lo lawan gue!? " bentaknya. Savira menggelengkan kepala.
"Mana berani dia lawan lo. Lo kan anak orkay, Bokap lo donator sekolah, sedangkan dia cuman rakjel yang ga tau diri, " ketus Ica.
"Masuk ke sini juga karena beasiswa, mana mampu orang tuanya biayain ni sekolah, secara Bokapnya aja cuman tukang becak, " sambung Naifa.
"HAHAHAHA" tawa ketiganya, merasa puas menghina orang lain. Savira tetap diam, ia tak punya keberanian lebih untuk melawan, lagian bukan sekali dua kali ia dihina seperti ini.
"Ohhhhh, dan jangan lupa nyokapnya yang cuman buruh cuci, hahahaha. Bisa kali ya, sesekali nyokap lo suruh cuci baju di rumah gue, hahahah. "
Savira sudah mati-matian menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya, hatinya begitu sakit seakan sebilah pisau menyayat kulit. Tak sanggup, sungguh tak sanggup ia mendengar hinaan untuk keluarganya. Apa salah keluarganya? Keluarganya bahkan tak pernah mengganggu ketenangan orang lain, tapi kenapa orang lain selalu mengusik kehidupan keluarganya?
Salahkah menjadi miskin? Apa serendah ini rakyat jelata dimata masyarakat? Kami juga manusia, sama seperti yang lain, hanya saja perekonomi keluarga tidak mendukung. Tapi bukan berarti boleh dihina seperti ini. Kenapa harus ada starta sosial dalam masyarakat, jika dengan adanya membuat orang menjadi semena-mena pada orang lain.
Namun sekali lagi, seperti kata mereka, Orang-orang seperti kami memang tak memiliki kekuasaan apapun, sehingga ketika dihina pun kami memilih diam. Jika melawan pun, keadilan tidak akan berpihak pada kami kan?
"Maaf Je, bisa tolong kembalikan bukunya? " pinta Savira seraya menatap Jeje memohon.
Jeje menaikkan sebelah alisnya, "Lo mau ini? " Sambil mengangkat buku yang ia pegang. Setelah lihat anggukan Savira, dengan pongah ia berucap, "Cium dulu kaki gue, baru gue kasih ni buku" perintahnya.
Savira ragu, ia tak ingin melakukannya, walaupun sering direndahkan, tapi ia tak ingin menjadi serendah ini.
"Kok diam? Cepat! Katanya mau buku lo gue balikin, "
"Ta-tapi Je-" Belum selesai kalimat itu keluar dari kedua bilah bibirnya, tubuhnya dipaksa untuk sujud di hadapan Jeje.
"Lama tau ga!? " sentak Ica. Iya, Ica dan Naifa lah yang melakukan ini.
Dengan air mata yang sudah meluruh, perlahan ia mulai mendekatkan wajahnya pada kaki Jeje. Tapi, tepat sebelum hal itu terjadi, sang malaikat penolong dalam hidupnya datang. Sarah datang dan langsung mendorong mundur Ica dan Naifa, lalu membantu sang teman untuk berdiri.
"Lo apa-apaan sih Je! " sentak Sarah.
"Ck, ganggu aja sih lo. Suka-suka gue lah! Orang kaya dia pantas diperlakukan kaya gitu. " ucapnya dengan nada suara yang ia tinggikan. "Lagian lo kok mau-mau aja sih Sar berkawan sama rakjel gini? Gue sih iyuuhh, ga level banget, " Lanjutnya.
"Lo tu kalau punya mulut dijaga ya!? Ga dididik tatakram lo sama nyokap bokap lo, ha! " Sepertinya emosi Sarah sudah mencapai batasnya, ia tak bisa menahan lagi untuk tidak memaki orang yang sering menyakiti sahabatnya. " Gue mau berteman sama Savira karena dia tu beda dari lo!? Memang dia bukan orang kaya, tapi setidaknya dia punya ATTITUDE! Ga kaya lo, yang orang kaya, tapi minim attitude! " ucapnya tegas, menekan kata kesopanan.
"Tau apa lo tentang attitude, Sar? Asal lo tau, kita sama, Sama-sama orang kaya yang kerjaannya nindas orang lemah. " balas Jeje.
Seketika Sarah tertawa mendengar ucapan tersebut, mengundang gurat bingung dari yang lain.
"Memang gue sama kaya lo. TAPI ITU DULU SEBELUM GUE KENAL SAMA SAVIRA!? " bentak Sarah. Iya, ia mengaku memang pernah berada di posisi Jeje, hanya karena kekayaan, menindas orang lain adalah hobinya. Bahkan Savira pun, awal-awal ia masuk sudah menjadi bahan bully Sarah.
Tapi sekarang berbeda, Sarah sudah sadar, apa yang ia perbuat itu salah, dari karena itu ia meminta maaf pada Savira, dan mulai bertema dekat dengannya. Setelah lama berteman, ada sebuah kehangatan yang selama ini tak pernah menyentuh hatinya, ketika ia berkunjung ke rumah Savira, melihat sendiri bagaimana kehangatan itu terjalin dalam keluarga sederhana tersebut. Seumur hidup, itu pertama kali ia merasakan kehadiran keluarga, yang betul-betul keluarga baginya.
"Ck, ga usah munafik deh Sar, lo pasti cuman pura-pura baik aja kan di depan ni rakjel" tuduhan Jeje, dibalas tatapan jengah dari Sarah.
"Lo kira, gue itu lo? Dan asal lo tau Je, ga ada yang namanya sahabat pura-pura, kalau teman mungkin ada, noh kayak dua dayang lo, deketin lo cuman karena lo kaya." balas Sarah. Mengundang pekikan tak terima dari Ica dan Naifa.
"Lo jangan asal tuduh dong Sar! "
"Gue ga nuduh kok, gue cuman bicara fakta. " tutur Sarah dengan senyum mengejek. "Yaudah, kita balik kelas aja yuk Vir, jangan lama-lama di sini, gerah gue. Bentar lagi juga bel masuk, " ajaknya sembari menarik tangan Savira. Namun baru beberapa langkah, Sarah berhenti, lalu berbalik badan, berjalan ke arah Jeje dan mengambil buku milik Savira yang tertinggal, kemudian melanjutkan langkahnya mengajak sang sahabat meninggalkan taman.
"Lo ga perlu pikirin apa yang mereka bilang, oke? Bagi gue lo yang terbaik, " ucapnya memberi semangat.
Dibalas anggukan serta senyuman manis dari Savira, "Makasih ya Sar, "
"Sama-sama, "
...****...
Tak terasa sudah seminggu Olimpiade Sains berlangsung, dan hari ini merupakan hari terakhir, babak final penentu pemenang. Ada 5 siswa dari sekolah berbeda yang berhasil bertahan hinggal final, Savira salah satu diantaranya.
Savira gugup, walaupun sudah ajab kali mengikuti lomba seperti ini, tapi sensasi gugup itu tak pernah hilang. Rasanya selalu sama, seperti ini lomba pertama dalam hidupnya.
"Savira semangat ya, Ibu yakin kamu pasti bisa!" tutur guru yang selama ini membimbingnya.
"He'em, Vira bakal lakuin yang terbaik, Bu! " balasnya dengan semangat.
Bu Rina, guru pembimbing Olimpiade dan juga guru yang mendampingi Savira disini tersenyum lembut ke arah murid kesayangannya ini, ia yakin kemampuan Savira tak bisa dibantah. Ia juga tau cita-cita muridnya ini, Rina juga menjadi suport sistem bagi Savira, untuk lebih giat meraih mimpi.
"Savira sudah tau mau sambung ke Universitas mana? Siapa tau Ibu bisa bantu kamu untuk cari beasiswa, "
"Savira dapat kok, Bu "
"Di Universitas mana? "
"Seoul National University, Korea Selatan, fakultas kedokteran. " jawabnya mantap.
"Ibu suka semangat kamu, jangan mudah jatuh hanya karena omongan orang kaya okay? Karena ibu yakin kamu pasti bisa raih mimpi kamu, asal jangan pernah menyerah di tengah jalan, karena mau di mana pun kamu berada, tetap ada Allah bersama kamu. "
"Iya Bu. Makasih selama ini udah mau jadi suport sistem nya Savira. Vira sayang Ibu!" ujarnya sembari memeluk sang guru yang tentu langsung dibalas dengan pelukan lembut kan menenangkan.
"Nah, sekarang kamu siap-siap gih, bentar lagi acara di mulai. Fighting!! "
Anggukan semangat Savira berikan kepada sang guru.
...****...
Huuh, bosen banget gue kalau ga ada Savira, " gumam Sarah. Saat ini ia sedang berada di tempat favorit mereka, yaitu taman sekolah.
Ia sendirian di sini, sebenarnya banyak yang ingin berteman dengannya, hanya saja dia tak nyaman jika bukan bersama Savira. Sudah di bilang, Savira itu memberi kenyamanan tersendiri untuknya.
"Vira kapan ya balik? Aggrhh gue kangen Viraaa!! " serunya tak peduli ada yang lihatnya seperti orang gila. Saat sedang asik-asiknya meracau tak jelas, seketika sebuah ide terlintas di kepalanya.
"Aha!? Gue tauuu. Kenapa gue ga ke rumah si Vira aja sih, yaaa walaupun ga jumpa juga, setidaknya gue bisa jumpa Ibu sama Bapak, belum lagi 2 bocah kesayangan gue. Okay! Fiks, pulang sekolah gue bakal ke rumah Savira. "
Setelah itu ia langsung membersihkan bungkusan bekas makanan dan minumannya, lalu kembali ke kelas karena 5 menit lagi bel akan berbunyi.
...****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments