Sesuai rencana, sepulang dari sekolah, Sarah langsung menuju ke rumah Savira, setelah sebelumnya membeli beberapa makanan untuk dimakan bersama. Ia tak pulang dulu ke rumah, memilih langsung pergi, karena mau dia pulang juga percuma, tak ada orang di rumah, hanya ada beberapa maid dan penjaga, karena orang tuanya sedang berada di luar negeri.
Orang tua Sarah itu orang baik, mereka tak pelit, jadi tak heran jika kebaikan itu menurun pada sang anak. Hanya saja kenakalan Sarah dulu, sebagai pelampiasan rasa sepi yang ia rasa selama ini. Orang tuanya menyayangi nya lebih dari apapun, dan ia jelas tau itu. Hanya saja, orang tuanya tak paham, apa sebenarnya yang paling dibutuhkan Sarah.
Sarah memang membutuhkan uang, dan kemewahan, tapi lambat laun, semakin ia dewasa, ia semakin paham, bahwa itu semua tidak ada artinya jika selama ini ia sendiri di sini, tak ada yang menemaninya, tak ada yang memberi rengkuhan seperti yang selalu kedua orang tua Savira lakukan pada nya ketika ia berkunjung. Karena itu, baginya Savira dan keluarga adalah rumah ke dua tempatnya mengadu atau sekedar meminta pelukan hangat.
"Paman pulang aja dulu, nanti jemputnya abis magrib aja yaaa, " pintanya pada sang supir sekaligus bodyguard pribadinya ketika ia sudah sampai di depan rumah temannya.
"Baik Non. Jangan lupa telpon saya jika terjadi sesuatu, "
"Siap paman! "
Sang supir tak langsung pergi, ia menunggu Nona mudanya memasuki rumah tersebut.
Tok tok tok
"Assalamu'alaikum, Ibuuu, Bapaakk, ini Sarah, "
Setelah mengucapkan itu, terdengar satuan seorang wanita dari dalam rumah, setelah itu pintu rumah itu terbuka, menampilkan sang empu rumah.
"Waalaikumsalam, eh ada nak Sarah. " Seperti biasa, selalu rengkuhan hangat yang menyambut nya ketika ia datang.
"Hehe iyaa, Sarah kangen tau sama Ibu. Minggu lalu mau kesini, tapi ga sempat" adunya.
"Hahaha, Ibu tau, Savira ada mengatakannya pada Ibu. Yaudah ayuk masuk, " ajak Nila. " Pak Bayu ga masuk dulu, Pak? Biar saya buatkan kopi, " tawarnya pada Bayu, supir Sarah yang masih berada di sana.
"Makasih sebelum nya Bu, tapi ga perlu repot-repot," tolak beliau sopan. " Lagian saya harus langsung kembali, nanti saya datang lagi untuk menjemput Nona muda. Saya permisi Bu, assalamu'alaikum, "
"Waalaikumsalam, hati-hati pak, "
Tiitt
Bunyi kelekson mobil seakan menjawab ucapan dari Nila.
"Yaudah sayang, ayuk kita masuk, pasti Dino sama Ayu senang, kakak cantiknya datang berkunjung," ucapan Nila membuat kedua pipi Sarah memerah samar.
"Ihhh, Ibu mah bisa aja. Sarah kan maluuu, " rengekannya membuat Nila tertawa, bersyukur sang anak mendapatkan teman sebaik Sarah.
Setelah itu, Sarah bermain dan mengobrol ringan bersama keluarga itu hingga malam tiba, dan sesuai perkataan Sarah siang tadi, Pak Bayu sudah ada di depan rumah.
"Ibu, Bapak, Sarah pamit dulu yaa, nanti Sarah datang lagi, " pamitnya sembari menyalim kedua orang tua sahabatnya.
"Iya Nak, Hati-hati ya, " balas Ridwan.
"He'em. Hai ganteng sama cantiknya kakak, kak Sarah pamit pulang dulu yaa, kapan-kapan kita main lagi, okey?! "
"Okey!! " jawab Dino dan Ayu serempak.
"Yauda, Sarah pulang dulu ya, assalamu'alaikum, " ucapnya, dan langsung melangkah kan kakinya menuju mobil yang sudah ada sang supir menunggunya sembari membuka pintu untuk sang Nona.
"Pak Bayu, Hati-hati ya bawak mobilnya, jangan sampai lecet anak gadis saya, " ucap Ridwan bersenda gurau, walau memang ia dan sang istri sidang menganggap Sarah seperti anak sendiri.
"Siap Pak, tenang aja. Saya pamit ya, assalamu'alaikum, "
"Waalaikumsalam, " Setelah mobil itu tak nampak lagu, barulah Ridwan beserta istri dan anak-anak nya masuk ke dalam rumah.
...****...
Sesuai dugaan Sarah, kali ini pun Savira pulang membawa hasil yang membanggakan. Sebuah piagam terakhir yang akan ia serahkan kepada sekolah.
"Huaaaaaa!!! SAVIRAAAA!! GUE KANGEN BANGET SAMA LOO!! " teriak Sarah antusias saat melihat Savira datang ke sekolah. Memeluk erat sang teman seakan tak ingin kehilangan momen ini.
"Hahaha, aku juga kangenn banget sama sahabat aku yang cerewet ini, " balasnya dengan pelukan hangat.
Mereka mengakhiri pelukan itu setelah merasa puas melepas rindu, kemudian saling melempar senyum.
"Sekolah jadi sepi banget kalau ga ada lo tau. Gue sendirii, " adunya.
"Hmm? Kenapa bisa sendiri? Kan ada yang lain. " tutur Savira. Saat ini mereka sedang berjalan menuju kelas.
"Ihhh beda tauu, mereka ga kaya lo, " ucapnya.
"Hahaha, yaudaahh, kan sekarang aku udah di sini. Jadi jangan cemberut lagii, "
Sarah tersenyum, menyetujui ucapan Savira.
Sesampai di kelas, seperti biasa memang, mereka menjadi pusat perhatian sejenak. Tapi bedanya, biasanya mereka memang melihat memuja pada Sarah, dan hanya acuh pada Savira. Namun kali ini, tatapan acuh itu berubah menjadi tatapan tajam, entah kenapa, Savira juga tak tau. Apa ada masalah selama ia di Bandung?
"Liat guys siapa yang kembali lagi. " Ini Jeje yang berbicara, dia memang sekelas dengan Savira. Entah kenapa tiba-tiba perasaan Savira tak enak seperti ini.
"Eh, si miskin udah pulang rupanya. "
"Ihh ngapain balik sih, padahal suasana kelas tu nyaman banget kalau ga ada lo, ga ada aura aura miskin, hahaah"
"Mistis kalii! "
"Hahahaha"
Hinaan dari seluruh anak kelas membuat Savira ingin pergi saja rasanya. Tapi, berbeda dengan Sarah yang sudah kepalang emosi mendengar segala ejekan untuk sang sahabat.
"Kalian apa-apaan sih? Bisa ga sih, sehari aja lo pada ga ganggu Savira! " ujar Sarah.
"Lo diam deh Sar, ga usah ikut-ikutan, "
"Betul tu! Ga seru banget lo! "
"Lagian ngapain dibela sih Sar, tu orang memang pantes jadi bahan bully"
Sarah semakin marah, kesabarannya sudah di ambang batas. Belum sempat ia membalas, tangannya sudah di tahan oleh Savira.
"Udah Sar, ga papa kok, " bisiknya. Ia hanya tak ingin Sarah terlibat masalah karena dirinya.
"Ga, kali ini gue ga bakal diam, " balas Sarah.
" Udah lah Sar, mending lo jauh-jauh deh dari si miskin, takutnya malah ketularan miskin lagi, upss!" seru Ica. Dibalas gelak tawa anak kelas.
"Lo juga miskin, sadar diri dikit napa. Ga malu lo jalan berdua sama Sarah, secara Sarah kan kaya ya, penampakan nya tu kaya lo babunya Sarah loh. " ucap Naifa. Tangan Sarah sudah menggepal di kedua sisi, amarahnya sudah ada pada puncak, tinggal menunggu meletus saja.
"Lagian ya, Bapak lo cuman tu tukang beca, jadi jangan belagu sekolah di sini. " sinis Jeje, "Saran gue sih, dari pada lo sekolah kenapa ga jadi ***** aja, kan lumayan bisa bayar hutang keluarga lo, Hahahaha"
PLAK!!
...****...
Saat ini, Savira sedang berada di ruangan bk, setelah tadi ia refleks menampar Jeje. Naas nya kejadian tersebut serempak dengan guru yang mengajar masuk ke kelas.
Melihat guru yang mengajar masuk ke kelas, Jeje langsung berpura-pura menangis seakan Savira telah menganiaya dirinya, padahal dia yang salah di sini, dan sayangnya guru tersebut hanya melihat ketika Savira menampar Jeje.
"Bisa jelaskan ke Ibu, alasan kamu nampar Jeje, Savira? " tanya guru bk tersebut, atau panggil saja Bu Lilis.
"Saya enggak sengaja Bu. Saya cuman ga suka dengan apa yang Jeje bilang. Saya akui saya bukan orang berada seperti mereka, tapi setidaknya saya masih memiliki harga diri, sebuah kehormatan yang saya jaga, " Savira berhenti sejenak, menetralkan rasa nyeri di hatinya, "Serendah-rendahnya saya, saya tak akan pernah sudi menjual kehormatan saya, saya-"
"Karena itu kamu melakukan kekerasan? "
Savira memejamkan matanya sejenak ketika sang guru langsung memotong ucapannya. "Saya tidak ada maksud untuk melakukan kekerasan Bu, sumpah lillahi ta'ala saya ga sengaja, "
"Huuhh, gini Savira, " Lilis menjeda sejenak ucapannya, menatap dalam sang murid, "Ibu tau kamu anak baik, Ibu juga yakin memang kamu enggak sengaja. Tapi, kamu tau kan sekarang sedang berurusan sama siapa? Tentu kamu juga tau resikonya? " Savira menganggukkan kepala.
"Beasiswa kamu bisa aja dicabut jika sampai orang tua dari Jeje tau. Orang tuanya penyuntik dana terbesar ke dua di sekolah ini, kar-"
"Saya tau Bu, dan saya paham. Ga papa, saya akan terima hukuman dari sekolah. Asal saya mohon, jangan cabut beasiswa saya Bu, jika beasiswa saya di cabut, saya terpaksa harus berhenti sekolah. Savira mohon Bu, hiks.. " Akhirnya air mata yang selama ini ia tahan agar tak jatuh, meluruh juga, tak sanggup membayangkan jika ia harus putus sekolah.
Bagaimana dengan impiannya selama ini? Jika ia di drop out dari sekolah. Mungkin memang pihak sekolah tidak meng-drop out nya, tapi dengan mencabut beasiswa nya selama ini, sama saja mengeluarkan nya secara halus.
Ini yang Savira takutkan jika ia harus berhadapan dengan Jeje. Savira sendiri juga tak tau, kenapa ia tak bisa menahan amarahnya tadi. Mungkin karena ucapan terakhir Jeje yang begitu merendahkan dirinya.
"Baik, berhubung kamu salah satu siswi kebanggaan sekolah, Ibu cuman akan meng-skor kamu selama 2 minggu. " Putus Bu Lilis. Tak apa, Savira bersyukur, setidak nya ia masih diizinkan bersekolah di sini. "Tapi, jika kejadian yang sama terulang lagi. Maaf kalau kamu harus keluar dari sekolah. "
"Iya Bu, saya paham. Saya pastikan ini yang pertama dan terakhir. " ucap Savira mantap.
Bu lilis tersenyum, "Ibu selalu percaya sama kamu, hanya saja posisi Ibu tak bisa melindungi mu di sini, "
Setelah berpamit, savira berjalan kembali ke kelas, tak apa ia di skorsing selama 2 minggu, itu ta akan lama.
"Kamu anak yang baik Vir, jadi jangan pernah menyerah. Gue bakal dukung lo dari jauh, " ucap seseorang yang saat ini melihat Savira dari lantai atas.
...****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments