Lea tersenyum, semua berkas kepulangan ayah telah diurus. Tinggal menunggu dokter visit maka ayah boleh pulang hari ini.
Perutnya mulai terasa lapar. Kejadian tadi pagi dan pengurusan administrasi yang harus mengantri membuatnya lupa akan perutnya yang melilit.
“Shh,” Lea mendesis. Sepertinya sakit lambung menahun yang di deritanya kambuh karena sejak kemarin dia belum bertemu makanan sama sekali.
“Ya Tuhan, jangan sekarang, ayah butuh aku.”
Gerakan kaki Lea mulai terhuyung.
Orang-orang yang berlalu lalang membuatnya makin pusing. Rasa mual menyerangnya tiba-tiba. Tepat di depan seseorang, tubuh Lea ambruk, pandangannya gelap, dia tidak ingat apa-apa lagi.
King menahan tubuh yang tiba-tiba ambruk di depannya. Dengan jelas dia bisa melihat siapa yang sekarang sedang dia tahan sampai dia harus berlutut mengikuti tubuh Lea yang melorot ke bawah.
Sialan, dia lagi.
“Wyn, angkat wanita ini!” teriak King yang sekarang dalam posisi berlutut sambil menahan tubuh pingsan di depannya.
Orang-orang mulai berkerumun. Alwyn berdiri di belakang kerumunan dan kesulitan untuk mendapat akses ke arah tuannya.
“Permisi...” ucap Alwyn berusaha mencari jalan menuju tuannya.
“kenapa harus menunggu orang lain. Masa tidak kuat mengangkat tubuh perempuan yang sekecil itu?!” komentar salah satu orang.
“Iya...ganteng, tinggi, besar, letoy.” Ucap yang lain.
Semua yang dia dengar membuatnya menggeram marah. Dengan satu hentakan tubuh Lea sudah berada dalam pelukannya. Saat Alwyn berhasil mendekat, King berjalan menjauhi kerumunan dengan tubuh lea dalam gendongannya.
“Lain kali jangan pernah berjalan mendahului aku!”
Alwyn setengah berlari mengikuti langkah kaki tuannya, “maafkan saya tuan.”
Wanita ini ternyata berat juga.
Ketika King sampai di depan pintu ruang VVIP, semua perawat dan dokter di ruangan itu menjadi heboh.
“Siapkan kamar untuk wanita ini,” ucap King dingin.
“Baik tuan.”
Salah satu perawat berlari mendahului king. Membukakan pintu kamar kemudian menata bantal agar King bisa meletakkan wanita dalam gendongannya dengan nyaman.
“Silahkan tuan.”
King meletakkan Lea diatas ranjang dengan gerakan cepat, bahkan lebih mirip dibanting dari pada direbahkan.
“Buka matamu!” gertak King.
Sementara alwyn berdiri mematung di belakang King.
“Uhhh,” lirih Lea.
Sebenarnya sejak tadi dia sudah sadar tapi badannya terlalu lemas untuk bicara. Atau dia memang sengaja membiarkan tuan tampan itu menggendongnya sebagai tindakan balas dendam? Hanya gadis itu yang tahu.
King mendekati ranjang. Memegang rambut ekor kuda milik Lea lalu menariknya kuat-kuat, “jangan berpura-pura!”
“Aaaa,” teriak Lea sambil memegangi rambutnya, “siapa yang pura-pura!!” bentak Lea.
Wajah pucat Lea terpampang jelas. Keringat dingin memenuhi dahinya. Bibirnya masih meringis menahan sakit. Tangannya berada di depan perut dan tubuhnya melengkung berusaha memeluk dirinya sendiri.
“Sebaiknya tuan tenang dulu. Biar nona ini diperiksa oleh dokter.” Alwyn mengingatkan ketika seorang dokter masuk dalam kamar.
Sebelum memeriksa Lea, dokter tersebut memberi sedikit hormat pada king. Dia baru mendekati Lea ketika King mengangguk.
“Apa yang anda rasakan Nona?”
Dokter Rudi, lirik Lea pada name tag yang dipakai, “lambung saya kambuh. Rasanya sakit.”
“Bagaimana bisa kambuh?”
“Saya belum makan sejak kemarin,” dan itu karena dirimu tuan King. Tatap lea pada King sinis.
Sedangkan yang dilihat duduk diam di satu-satunya kursi yang ada disitu sambil melipat kaki dan bersendekap. Dasar arogan...
“Baik, kalau begitu akan saya beri obat anti nyeri melalui infus. Sebentar lagi perawat akan datang dan membawakan makanan. Nanti setelah makan, pil dan obat yang lainnya harus segera diminum ya.”
Lea hanya bisa mengangguk, “tunggu beberapa jam disini dulu. Sampai efek obat anti nyerinya hilang, karena akan terasa pusing selama beberapa menit.”
Apa! Bagaimana dengan ayah?!
“Maaf kalau saya tidak bisa tinggal, saya...”
Kaki Lea sudah menggantung di samping ranjang. Tubuhnya dalam posisi setengah duduk dan hampir kembali jatuh ketika pusing menyerangnya.
King hampir berlari mendekat. Tapi untungnya dokter Rudi masih berdiri di sisi ranjang. Jadi tangannya reflek memegang Lea agar tidak terjatuh.
“Anda boleh melanjutkan tugas anda dokter,” suara dingin itu kembali terdengar. Matanya tajam mengirim tatapan membunuh.
Ah...kenapa harus pusing.
Lea memilih menundukkan wajahnya, menghindari tatapan tuan arogan yang serasa merobek tiap inci kulitnya.
Alwyn bergerak cepat menuju kepala ranjang. Berdiri dibelakang lea dan menyematkan tangannya di lipatan lengan wanita muda itu lalu menahannya agar tubuh Lea tidak ambruk.
“Sebaiknya anda tetap tidur sampai makanan dan obatnya sudah diminum nona.”
“Tapi...”
“Heh...wanita miskin!” suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dingin dan lebih keras dari sebelumnya.
“Kamu sudah mengganggu hariku sejak kemarin!”
Apa?! bukannya dia yang mengganggu hari tenangku?!
“Sekarang dengarkan aku!”
“Tidurlah, kamu boleh bangun kalau sudah makan dan minum obat. Aku sudah membayar kamar paling mewah yang ada di rumah sakit ini. Jadi kamu tidak akan bertambah miskin karenanya!”
“Wyn, kita pergi!”
Tanpa menunggu jawaban. King berjalan keluar. Mata Lea melotot. Hei asistenmu itu juga manusia tahu!
“Sebaiknya nona mengikuti kata tuan saya kalau nona ingin hidup tenang,” Alwyn lalu mengikuti, berjalan keluar kamar.
Lea mendengus kesal. Tapi sepertinya kali ini dia akan menurut. Dia akan ke kamar ayah bila perutnya sudah baikan.
***
Ayah mondar-mandir di dalam kamar. Tidak biasanya anaknya terlambat begini. Setahunya tadi lea berpamitan untuk mengurus administrasi, masa selama ini? dokter visit juga sudah memeriksa, jadi tinggal menunggu berkas-berkas yang dibawa anak gadisnya.
Kemana anak itu. Apakah ada sesuatu yang terjadi dengannya? Apakah dia kesulitan membayar biaya rumah sakit?
Ayah khawatir kalau Lea tidak mau menggunakan uang darinya tapi malah memakai uang tabungan hasil kerjanya sendiri.
Awas saja kalau itu yang terjadi, dia akan memukul pantat anak gadisnya keras-keras. Meskipun sekarang hidupnya pas-pasan, tapi apa yang dihasilkan bengkel sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Bahkan kadang bisa menyisihkan sedikit penghasilan.
Beberapa saat kemudian terdengar suara pintu kamar dibuka. Ujung kursi roda terlihat dari dalam. Darah ayah berdesir hebat ketika melihat anak gadisnya lah yang duduk disana.
“Kenapa anak saya sus,” tanya ayah gugup. Badan ayah sampai gemetar melihat Lea yang duduk diatas kursi roda dan sedang didorong seorang perawat.
“Ayah,” Lea langsung turun dan menuntun ayahnya untuk kembali duduk, “Lea nggak apa-apa, tadi cuman asam lambungnya kambuh.”
Dasar laki-laki sialan.
Lea kembali ingat perdebatannya dengan tenaga medis ruang perawatan VVIP beberapa saat yang lalu.
“Maaf nona harus memakai kursi roda ini kalau keluar ruangan. Kami yang akan mengantarkan nona ke ruang perawatan ayah nona.”
Seorang perawat membentangkan tangannya di depan pintu, padahal dia ingin segera pergi dari situ. Sudah beberapa menit Lea berusaha melepaskan diri tetapi gagal. Sekarang badannya sedikit menunduk karena melihat kesempatan lolos.
“Saya sudah sehat, saya bisa jalan sendiri.”
Lea kembali maju menerobos dari bawah tangan perawat yang membentang. Ternyata perawat itu lebih cekatan badannya ikut menunduk ketika Lea berusaha lari sambil menunduk.
“Mbak, tolong panggilkan perawat yang lain.”
Apa? perawat lain?
“Wow...wow, sebentar...buat apa anda meminta bantuan perawat lain?”
Ternyata sekuriti pun ikut datang menghampiri.
“Tolong kunci ruangannya.”
“Apa?! hei...jangan kurang ajar kalian!”
“Maaf nona, ini perintah tuan King.”
Lea menendang udara.
“Kalau nona ingin keluar, nona harus memakai kursi roda, kami akan mengantarkan nona kemanapun.”
Lea menarik napas. Mungkin lebih baik diikuti saja kemauan tuan arogan itu. Ambil sisi baiknya Lea, kamu tak perlu berjalan ke kamar ayah, perutmu juga kenyang karena sudah makan.
“Baik, aku akan menurut. Masukkan kursi rodanya.”
Lea lega ketika terdengar bunyi ‘klik’ tanda pintu dibuka. Dengan patuh lea duduk dan membiarkan seorang perawat mendorongnya.
“Kemana nona?”
“Ke ruang perawatan ayah saya.”
Dan disinilah dia sekarang, sedang menenangkan ayah yang lemas karena khawatir.
“Kalau baik-baik saja, tidak akan ada perawat yang mendorongmu kemari.”
Lea mengeluarkan segenggam obat dari sakunya, “mungkin tadi Lea sempat pingsan, ayah.”
“Tapi sekarang Lea sudah baik-baik saja. Lea hanya harus minum obat ini!” tunjuk Lea pada seplastik obat yang harus dia konsumsi.
“Jadi bagaimana, apakah kita bisa pulang sekarang?” tanya ayah ragu.
“Tentu saja bisa, ayah.”
“Tapi nona, tadi tuan...”
Lea segera mendekati perawat yang sempat terlupakan keberadaannya. Menariknya ke sudut ruangan dan berbisik, “tolong lepaskan aku, kamu lihat kan ayahku baru sembuh. Kalau tuan arogan itu bertanya bilang saja aku sudah sehat dan kamu sudah mengantarku ke tempat yang aku inginkan.”
Perawat itu melirik melalui bahunya.
“Baiklah, kami juga minta tolong kalau tuan King bertanya, jawab saja kami sudah melakukan yang terbaik.”
Lea mengangguk cepat. Nggak mungkin tuanmu itu akan menanyakan aku lagi. Orang kenal saja nggak.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments