Selepas maghrib Lea baru sampai di rumah sakit. Sebelum ke kamar bapak, dia menuju mushola untuk sholat. Dia baru ke kamar bapak setelah sholat Isya ditunaikan.
Seperti malam sebelumnya dia harus melewati lorong yang sama. Tapi karena hari belum terlalu malam, masih banyak orang berlalu lalang. Ketika orang ramai begini semua bohlam menyala dengan baik, tidak byar pet seperti biasanya.
Sampai di kamar perawatan bapak, perutnya berbunyi. Barulah dia sadar kalau perutnya belum diisi sejak pagi. Bapak masih terjaga. Sedang menikmati jatah makan malamnya.
“Habiskan makanannya, pak.”
“Kamu sudah makan Le?” tanya bapak.
“Sudah, bapak makan yang kenyang ya, biar besok bisa pulang.”
Lebih baik berbohong dari pada bapak tidak bisa menelan makanannya.
“Bapak mau baca dulu atau langsung tidur setelah minum obat?” tanya gadis kepang kuda itu.
“Mau baca dulu sebentar.”
Lea mengangguk, meletakkan sebuah tabloid yang isinya tentang ekonomi, politik dan otomotif di sebelah bantal bapak, khas hal-hal favorit laki-laki. Bukan tabloid gosip yang menuliskan berita tentang artis yang isinya pamer harta. Membuat mata sakit membacanya.
“Setelah pulang nanti bapak musti jaga kesehatan. Biar bengkel diurusin sama anak-anak.”
Bapak memiliki sebuah bengkel kecil yang buka di depan rumah dengan tiga orang pegawai dan kehidupan harian kami bergantung pada bengkel itu. Sedangkan gajiku kutabung yang rencananya akan kupakai untuk kuliah.
“Masalah itu biar bapak yang mikirin.”
Aku melihat bapak dengan pandangan protes, tapi melirikku pun bapak tidak mau. Bapak memang keras kepala.
“Le,” bicara tanpa melihatku.
“Kamu tadi dicari perawat,” melanjutkan dengan tetap fokus pada tabloid yang dibaca.
“Hem...kenapa, pak?”
Bapak menggeleng sebagai jawaban.
Lea meninggalkan kamar setelah alat makan bapak diringkas di bagian bawah nakas. Keluar dari pintu, kesunyian menyergap, lorong ruangan tampak sepi. Lea melangkah menuju ruang perawat yang berada tepat di bagian tengah jajaran kamar.
“Selamat malam suster.”
Lea menekan bel yang disediakan di meja informasi beberapa kali, tetapi tidak tampak seorang perawat pun diluar. Jam dinding yang ada di situ menunjukkan pukul delapan malam. Mungkin waktunya perawat makan malam atau istirahat.
“Ah, selamat malam. Putrinya Pak Ibra ya?” Lea menjawab dengan anggukan kepala.
“Begini mbak. Mbak nya besok pagi ke ruang administrasi ya, kalau bisa pagi-pagi. Biar proses administrasi untuk kepulangan pak Ibra pagi sudah selesai.”
Senyum di bibir Lea merekah, “bapak sudah boleh pulang sus?”
Perawat itu mengangguk.
“Baik sus, besok pagi akan saya urus. Dokternya visit pukul sepuluh kan? Besok sebelum pukul sepuluh saya usahakan selesai.”
“Ini mbak,” perawat mengulurkan sebuah catatan pada selembar kertas, “yang saya catat disitu semua berkas yang harus disiapkan, sebaiknya di copy dulu rangkap tiga.”
“Baik.”
Lea kembali ke kamar bapak. Lelaki kesayangannya itu sudah terlelap. Lea membaca catatan yang diberikan perawat. Beberapa sudah di copy, beberapa berkas masih harus di copy lebih dulu.
Lea membolak-balik berkas dan menatanya rapi.
Masih pukul delapan. Kalau di foto copy sekarang pasti masih keburu.
Lea memasukkan berkas yang harus di copy dalam sebuah map plastik. Lorong rumah sakit masih cukup ramai jadi dia tidak perlu khawatir.
***
Awal pagi keesokan harinya Lea keluar menuju lift yang akan membawanya ke lantai atas. Kebetulan ruang administrasi terletak dua lantai diatas ruang perawatan.
Hari masih pagi, dia memang sengaja mengurusnya diawal pagi. Harapannya setelah selesai dia akan mencari makan dulu karena sejak kemarin perutnya belum terisi.
Lea segera memasuki lift sesaat setelah pintu lift terbuka. Hanya ada dirinya sendiri di dalam lift tersebut. Untuk beberapa saat semua baik-baik saja. Sampai pada saat tengkuknya terasa dingin seperti ada seseorang meniupnya.
Lea menengok ke belakang. Tidak ada siapa-siapa dan memang sejak tadi tidak ada orang disana. Lea kembali menghadap ke depan dan menggosok tengkuknya untuk menghilangkan hawa dingin.
Di lantai berikutnya lift berhenti tapi tidak ada seorang pun di depan pintu. Tubuh lea mulai terasa dingin, tangannya yang gemetar memencet tanda tombol tutup pada lift. Beberapa kali dipencet dengan gerakan cepat pintu baru tertutup.
Lea bernapas lega. Tapi tiba-tiba pintu lift berhenti bergerak dengan munculnya sebuah tangan pucat yang menahan diantara pintu. Lea memeluk berkas yang dibawanya makin erat. Napasnya tertahan di tenggorokan.
Seorang perawat masuk kedalam. Tidak ada senyum di wajah perawat itu. Lea hanya melirik ketika wanita itu melewatinya dan berhenti tepat di belakang tubuhnya. Pantulan wajah pucat terlihat jelas memantul di pintu lift yang mengkilat.
Tidak ada ekspresi di wajah wanita itu, hanya tatapannya tajam ke arah Lea.
Satu lantai lagi.
Waktu lift menunjukkan lantai yang dituju, lift menolak untuk berhenti. Pintu lift tidak mau terbuka tetapi tombol penunjuk lantai tidak berubah tetap menunjukkan angka di lantai yang sama.
Sial.
Lea menyentuh tombol penunjuk lantai berkali-kali, tapi itu tidak mempengaruhi lift yang terus bergerak entah itu naik atau turun.
“Sial, ayolah!” keringat dingin mulai muncul memenuhi dahi Lea, tapi semua usahanya sia-sia.
Dia menolak untuk memandang pantulan wajah yang ada di sekeliling dinding lift, sambil terus memencet Lea menutup matanya.
“Berhentilah berusaha,” suara itu jelas terdengar setengah berbisik mendesis. Sesuatu yang sangat dingin menyentuh tangan Lea yang mulai gemetar.
“Bukalah matamu, apa kau tidak penasaran denganku?” bisik suara itu lagi. Kali ini tercium bau anyir yang menyengat dan sesuatu menetes di atas punggung tangannya.
“Persetan kau,” seru Lea diantara tenggorokannya yang tercekat.
Tangan itu bergerak menuju leher. Lea merasa seperti dejafu, mengalami sesuatu yang sama seperti ini.
Lea membuka matanya, kali ini dia harus menghadapi makhluk yang terus mengganggunya selama di rumah sakit.
“Jangan ganggu aku!”
Perlahan tapi pasti, wajah perawat itu banjir darah, seluruh badannya dari atas sampai kaki gepeng seperti tergencet sesuatu.
“Lepaskan aku!”
Lea menggenggam tangan pucat itu kuat-kuat. Melepaskan semua rasa takut karena merasa nyawanya mulai terancam.
“Errggg...le...pas...kan ta...ngan sialmu, erggg!” napasnya hanya tinggal di tenggorokan, tangannya mulai basah oleh darah. Sementara tangan yang lain terus menyentuh tombol angka penunjuk lantai.
“Tolong...” lea mulai berteriak. Dia panik, “tolongg...”
Lea mendorong tubuhnya ke belakang hingga tubuh gepeng perawat itu menyentuh dinding lift di belakangnya.
“Aaaa....” lengkingan tinggi suara perawat itu memekakkan telinga.
“Hentikan liftnya.” Teriak Lea putus asa.
Dengan satu gerakan perawat itu melayang dan membanting tubuh Lea. Gadis itu terpental ke depan dan jatuh terjerembab. Wanita perawat itu mendekati Lea yang berusaha untuk berdiri dari posisi duduknya. Wajah perawat itu makin mendekat, bau busuk makin tajam. Darah terus menetes membasahi wajah lea yang tak bisa lagi bergerak karena punggungnya menyentuh pintu.
Lea makin terdesak, iblis itu hampir menelan wajahnya ketika bunyi ‘ting’ terdengar. Lea jatuh terlentang ke belakang karena pintu lift yang terbuka. Dengan cepat kaki-kakinya mendorong tubuhnya, saat itulah dia merasa menabrak sesuatu di belakangnya.
“Apa yang kamu lakukan?” sebuah suara dingin terdengar.
Lea mendongakkan kepala. Sedingin apapun suara itu, harapannya kalau itu adalah suara manusia. Lea bergegas berdiri dan kembali menatap lift, suster gepeng itu belum mau pergi malah melayang ke arah dirinya.
Dengan gerakan cepat Lea memutar tubuh dan menenggelamkan wajahnya pada dada bidang lelaki di hadapannya. Napasnya memburu, air matanya mulai luruh dalam pelukan lelaki itu. Tangannya memeluk erat tubuh di depannya.
“Aku bertanya, apa yang kamu lakukan?!” suara dingin itu kembali terdengar kali ini dengan nada kesal. Sebuah tarikan kuat pada rambut ekor kudanya membuat lea menjerit kecil.
“Aaa...sakit,” bisik Lea.
Karena tarikan itu Lea dipaksa menjauhkan tubuhnya. Sekarang dia bisa jelas melihat siapa yang berdiri menjulang di depannya.
“Kamu! Kenapa kamu tarik rambutku?!” berteriak sambil menghapus air matanya cepat.
Lelaki itu menyentuh dahi Lea dan mendorongnya beberapa langkah, lalu dengan satu gerakan cepat mendorong dahi Lea lebih keras hingga membuat gadis itu terhuyung hampir kembali terjatuh.
King berjalan melewati Lea dan menghilang dibalik lift bersama dengan asistennya.
“Lelaki sombong, huh. Membuat hariku sial saja!”
“Ah sial, harusnya aku membalas perlakuannya hingga membuat aku dipecat,” menggerutu pada dirinya sendiri.
Sementara di dalam lift ada seseorang yang juga menggerutu, “gadis aneh, memeluk orang sembarangan,” memegang dada dan membenahi jas yang dipakai.
“Itu gadis yang....”
“Tidak perlu kamu jelaskan Wyn. Aku tahu siapa dia.”
Alwyn mengangguk dan menutup mulutnya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments