Nenek terus saja beristighfar sampai berulang-ulang kali, karena mendengar penuturan dari ku.
Tidak ada komentar lagi dari nenek. Beliau hanya terdiam dan melamun, dengan pandangan kosong lurus ke depan. Tak lama kemudian, nenek beranjak dari tempat duduk nya.
"Mau kemana, nek?" tanya ku.
"Mau ke dapur, nenek mau buat kan teh manis hangat untuk mu, Ndah."
Tanpa menunggu jawaban ku, nenek langsung bergegas menuju dapur. Tak lama berselang, beliau pun sudah kembali lagi.
Nenek duduk di samping ku, sambil membawa segelas teh manis hangat di tangan nya.
"Di minum, Ndah!" ujar nenek.
Nenek menyodorkan teh manis hangat itu pada ku. Aku pun langsung menerima teh buatan dari nenek tersayang.
"Iya makasih, nek." balas ku.
Aku mulai menyeruput teh hangat itu dua kali, dan meletakkan nya kembali di atas meja plastik yang ada di depan ku.
"Ayah mu sudah tahu masalah ini belum, Ndah?" tanya nenek.
"Belum, nek. Ayah sama sekali gak tau tentang masalah ini. Karena,aku gak pernah ngomong apa pun dengan ayah." jawab ku.
Aku kembali meneguk teh hangat itu sampai setengah gelas.
"Oh, ya udah kalo gitu. Jumpai aja ayah mu sekarang!" usul nenek.
"Kata kan terus terang pada ayah mu tentang masalah mu ini, Ndah. Biar, ayah mu aja yang bertindak selanjutnya." tambah nenek.
"Iya, nek. Nanti sore kita ke rumah ayah ya, nek. Nenek temani aku kesana, ya!" pinta ku.
Aku meminta nenek untuk menemani ku ke rumah ayah, dengan memasang wajah memelas.
"Ya, nanti kita berdua kesana." balas nenek.
Mendengar jawaban nenek, sungguh membuat hati ku lega. Jujur, aku sangat takut bila berhadapan dengan ayah.
Ayah memang tidak banyak bicara.Tapi kalau sekali marah, biasa tujuh hari tujuh malam aku menangis di buat nya.
Hahahaha, terlalu lebay gak tuh. Tapi ya memang begitu lah kenyataan nya.
"Ya udah, sekarang istirahat lah dulu di kamar, Ndah! Nenek mau siap-siap ganti baju dulu, mau pergi wiridan (yasinan)." ucap nenek.
Nenek mulai sibuk memilah-milih baju gamis yang ada di dalam lemari kayu milik nya.
"Iya, nek. Aku mau tidur sebentar, ya!" jawab ku.
Aku membaring diri di atas kasur empuk milik beliau. Setelah selesai berganti pakaian, nenek langsung beranjak pergi menuju pintu keluar.
Setelah nenek pergi, aku kembali berdiri dari kasur untuk mengunci pintu itu dari dalam.
Setelah itu, aku kembali lagi ke kamar dan merebahkan diri sambil memejamkan mata. Tak butuh waktu lama, akhirnya aku pun terlelap dan hanyut ke alam mimpi.
Waktu berjalan begitu cepat, tanpa terasa hari sudah mulai sore. Aku melihat jam dinding yang ada di sebelah kiri ku.
"Hah, udah jam lima! Cepat banget sih waktu nya. Perasaan baru aja baring sebentar, mana belum sholat ashar lagi, hoam." gumam ku.
Aku menguap dan menggeliat di atas kasur untuk merenggang kan otot-otot yang kaku.
Setelah beberapa menit menggeliat dan berguling-guling ria di atas kasur, aku segera bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.
Aku menyambar handuk yang tergantung di belakang pintu kamar. Selesai mandi dan berwhudu, aku segera menunaikan shalat ashar.
"Alhamdulillah, masih di beri umur dan kesehatan untuk menunaikan kewajiban." gumam ku.
Ucap syukur ku pada sang pencipta. Setelah selesai shalat, aku melipat mukena dan sajadah. Lalu menggantungkan nya di samping lemari pakaian nenek.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara nenek mengucapkan salam sambil mengetuk pintu dari luar.
Tok tok tok...
"Assalamualaikum." salam nenek.
Nenek mengetuk pintu berulang kali, sambil terus mengucapkan salam. Aku bergegas membuka pintu dan membalas salam beliau.
"Wa'laikum salam," balas ku.
Setelah pintu terbuka, nenek segera masuk dan melepaskan sandal nya. Beliau menenteng sandal nya itu sampai ke dapur.
Aku sudah tidak heran setiap kali melihat nenek menenteng sandal nya. Kalau tidak ke dapur, ya sudah pasti ke kamar. Pernah aku bertanya kepada nenek, kenapa sandal nya di bawa ke kamar atau ke dapur.
Kenapa tidak di letakkan di luar saja sandal nya. Beliau menjawab, takut hilang kata nya. Hahahaha, ada-ada aja si nenek mah.
"Eh, ada bungkusan nih?" gumam ku.
Aku melihat ada bungkusan kantong plastik hitam yang terletak di atas meja.
"Ini pasti bontot nenek dari wiridan, aku buka ah!" batin ku.
Tanpa pikir panjang lagi, aku segera membuka bungkusan yang di bawa nenek tadi. Dan ternyata, isi nya adalah lontong sayur kesukaan ku.
Tak lama kemudian, nenek keluar dari kamar dan sudah berganti pakaian. Beliau memakai daster rumahan, dan tidak lupa juga dengan songkok di atas kepala nya.
Nenek duduk di sebelah ku, beliau memandangi ku yang sedari tadi senyam-senyum tidak jelas pada nya.
"Nek, ini lontong nya untuk aku, ya?"
Aku bertanya dengan penuh harap sambil memasang wajah seimut mungkin.
"Gak usah pasang muka sok imut gitu, nenek jadi geli lihat nya!" balas nenek terkekeh.
"Iya itu memang untuk mu, Ndah!" balas nenek.
"Nenek sengaja bungkus kan untuk mu. Kebiasaan mu kan dari dulu gak pernah berubah. Kalau nenek pulang wiridan, pasti yang di tungguin bontot nya, ya kan?" tambah nenek.
Ucapan nenek memang benar, aku memang selalu menunggu beliau pulang dari wiridan untuk membawakan bontot untuk ku. Filing nenek memang sangat tepat sekali.
"Hehehe, nenek tau aja." balas ku cengar-cengir salah tingkah.
"Ya udah, cepat di makan lontong nya! Biar kita bisa cepat pergi ke rumah ayah mu. Pasti jam segini dia udah ada di rumah nya." titah nenek.
"Oke siap laksanakan, nek." jawab ku.
Aku memberikan hormat kepada beliau, layak nya hormat kepada sang bendera merah putih.
Peletak...
"Dasar, bocah gemblung!" sungut nenek.
Satu jitakan pun mendarat indah di kening ku.
"Adooh! sakit, nek." rengek ku.
Aku mengelus-elus jidat yang memerah akibat jitakan maut dari sang nenek.
"Cepat di habis kan itu lontong nya! Dari tadi bercanda terus kerjaan nya." lanjut nenek.
"Iya, nek. Tenang aja, bakalan habis kok ini berpindah ke sini." jawab ku.
Aku menunjuk lontong itu dan menunjuk lagi ke arah perut ku. Yang artinya, memang bakalan masuk ke dalam perut ku itu lontong.
Setelah selesai urusan santap menyantap, aku bergegas ke kamar untuk berganti pakaian, dan juga berdandan tipis natural. Kalau berdandan menor, nanti di kira topeng nyet pula.
"Udah siap, Ndah?" teriak nenek dari ruang tamu.
"Udah, nek."jawab ku.
Aku berlari kecil mendekati nenek yang masih duduk anteng, di atas kursi plastik milik nya.
"Ya udah, ayo kita berangkat! Nanti takut nya maghrib di jalan pulak." balas nenek.
Nenek memakai sandal kesayangan nya, yang selalu tersimpan rapi di atas rak yang terletak di dalam kamar. Mungkin beliau takut, kalau sandal-sandal nya di gondol tuyul.
Setelah menutup dan mengunci pintu, aku dan nenek pun berjalan menuju tempat pangkalan becak motor. Yang berada tidak jauh dari rumah nenek.
Kami berdua juga melewati jembatan yang sudah di renovasi oleh pemerintah. Jembatan nya sudah bagus saat ini.
Sewaktu aku masih kecil dulu mah, jangan di tanya lagi. Kondisi jembatan nya rusak parah. Banyak bolong nya dan papan jembatan nya pun banyak yang sudah pada copot.
Tapi walau bagaimana pun rusak nya jembatan itu, tetap saja di lalui para warga sekitar.
Karena hanya itu lah akses jalan satu-satunya untuk menuju jalan raya, jadi ya terpaksa lah. Mau tidak mau, ya harus mau.
Sesampainya di pangkalan becak, aku segera bertanya kepada si tukang becak yang kebetulan teman seprofesi ayahanda ku.
Dan juga tetangga dekat rumah ku. Eh salah, ralat. Maksud nya tetangga dekat rumah nenek ku.
"Wak Iwan, ayah ku udah pulang ke rumah nya atau belum ya? Atau mungkin, ayah ku lagi bawa penumpang?" tanya ku.
"Sudah pulang, Ndah. Barusan aja dia balek ke rumah nya." jawab Wak Iwan.
"Ya udah gak papa, kita minta antar sama nak Iwan aja!" jawab sang nenek.
Tanpa ba-bi-bu lagi, nenek langsung nyelonong masuk ke dalam becak dan sudah duduk anteng di dalam nya.
"Lololoh, kok nenek sudah main duduk aja sih, nek? Kita kan belom tanya sama Wak Iwan, berapa ongkos nya ke rumah ayah?" protes ku.
Aku mengoceh kepada nenek sambil bersidekap, melipat kedua tangan di atas perut.
"Udah gak papa, naik aja sini!" ajak nenek
Nenek menepuk-nepuk sisi kiri tempat duduk nya yang masih kosong.
"Wan, tolong antar kami ke rumah ayah nya Indah, ya! Biar dia nanti yang bayar kan ongkos nya." pinta nenek.
"Oke siap, makcik." balas Wak Iwan.
"Waduh, ayah jadi korban lagi buat bayar ongkos becak."
Aku bergumam pelan, tapi masih bisa di dengar oleh nenek, dan Wak Iwan.
"Malang nian nasib mu, oh ayahanda ku. Punya emak seperti nenek ku ini." aku berucap layak nya seperti orang yang sedang membaca kan puisi.
Mendengar ucapan ku, nenek pun langsung menoleh pada ku.
"Hussh, berisik!" ucap nenek menyikut sambil lengan ku.
"Ups," aku langsung reflek menutup mulut dengan kedua tangan ku.
"Ayo, Wak kita berangkat sekarang!" pinta ku.
Aku berucap pada Wak Iwan, sang sopir becak yang sedang kami tumpangi.
"Oke, Ndah." jawab Wak Iwan.
Wak Iwan menghidupkan mesin becak motor nya, dan mulai menjalankan kendaraan roda tiga nya menuju ke alamat rumah ayah.
Sekitar kurang lebih sepuluh menit, kami pun tiba di depan rumah ayah yang berada di kompleks perumnas.
Aku melihat becak ayah sudah terparkir rapi, di samping tembok sebelah kiri rumah nya tersebut.
Aku dan nenek segera turun dari dalam becak Wak Iwan secara bergantian. Setelah itu, nenek langsung berjalan menuju pintu dan mengetuk nya beberapa kali.
Tok tok tok...
"Assalamualaikum."
Nenek mengucapkan salam, sambil terus mengetuk-ngetuk pintu rumah ayah tersebut.
Aku yang masih berdiri di samping becak Wak Iwan hanya bisa berdiam diri di tempat, sambil memperhatikan tingkah nenek tersebut.
"Wak, tunggu ayah ku bentar, ya!" pinta ku.
"Iya gak papa, Ndah. Santai aja!" balas Wak Iwan.
Wak Iwan menjawab, sambil tersenyum pada ku. Aku pun membalas senyuman nya, dan kembali memperhatikan nenek yang masih berada di depan pintu rumah ayah.
"Wa'laikum salam," jawab ayah.
Ayah membuka pintu dan melihat nenek yang sedang berdiri di hadapan nya.
Ayah langsung menyambut nenek, sambil mencium punggung tangan beliau dengan takzim.
"Abdul, bayar kan ongkos kami! Si Iwan yang ngantar kan tadi." ucap nenek.
Setelah mendengar ucapan nenek, ayah langsung menoleh ke arah tempat aku berdiri tepat di samping becak Wak Iwan.
"Loh, ada Indah juga ya, mak?" tanya ayah.
Ayah bertanya kepada nenek sambil terus menatap ku. Aku segera berjalan menghampiri ayah dan mencium punggung tangan nya. Sama seperti yang di lakukan ayah kepada nenek tadi.
"Ya udah kalo gitu, masuk lah ke dalam, mak, Ndah! Aku mau bayar kan ongkos nya dulu." ucap ayah.
Ayah langsung berjalan menghampiri Wak Iwan yang masih duduk di atas becak nya.
"Makasih ya, Wan. Sudah mengantar kan Indah dan emak ku kesini." ucap ayah.
Ayah mengucapkan terima kasih kepada teman nya, sambil menyodorkan uang pecahan sepuluh ribuan sebanyak dua lembar.
"Iya, Dul sama-sama. Oke lah kalau gitu, aku pamit ya, Dul. Mau balek ke pangkalan lagi!" balas Wak Iwan.
Wak Iwan mulai menghidupkan mesin becak nya, dan melaju kan kendaraan nya ke jalan raya.
"Oke hati-hati, Wan!" balas ayah.
Setelah kepergian Wak Iwan, ayah pun berjalan masuk ke dalam rumah. Ayah duduk dan bergabung bersama kami bertiga, (aku nenek dan ibu tiri ku) yang sudah anteng duduk di ruang tamu, sambil menunggu kedatangan ayah.
"Mana suami mu, Ndah?" tanya ayah.
Ayah bertanya kepada ku sambil mendudukkan diri nya di samping istri nya. Aku dan nenek pun saling tatap-tatapan, mendengar pertanyaan yang di lontarkan ayah pada ku.
Aku bingung mau ngomong apa. Nyali ku langsung menciut, kalau sudah berhadapan dengan ayah. Suasana nya langsung berubah jadi horor bagi ku saat ini.
Nenek yang sudah paham dengan maksud dari tatapan mata ku pun, langsung membuka suara nya.
"Mereka berdua udah pisah, Dul." jelas nenek.
Akhirnya, nenek pun menjawab pertanyaan ayah. Sedang kan aku, aku hanya berdiam diri sambil tertunduk menahan air mata, yang sudah menggenang di pelupuk mata ku.
Kening ayah langsung mengkerut bingung, kemudian ayah pun ayah pada ku.
"Kalian bertengkar ya, Ndah? Emang nya ada masalah apa?" tanya ayah lagi.
Ayah terus menatap pada ku yang masih tetap diam membisu. Aku sangat takut di marahi oleh ayah.
"Dari pada salah ngomong, mendingan diam aja." batin ku.
"Kau itu gak bisa seenaknya main kabur gitu aja dari rumah suami mu, Ndah!" ucap ayah.
"Nama nya juga rumah tangga. Pasti ada cekcok nya, pasti ada bertengkar nya, bukan mulus-mulus gitu aja." tambah ayah.
Ayah memberikan wejangan pada ku.
Aku langsung mendongak, dan menatap ayah yang sedang duduk di depan ku. Hanya ada meja kayu sebagai pembatas di antara kami.
"Mas Edi mukulin aku, yah." jawab ku lirih.
Akhirnya, aku memberanikan diri untuk mengatakan nya kepada ayah. Aku berucap demikian dengan linangan air mata, yang sedari tadi sudah aku tahan sekuat mungkin agar tidak jatuh.
Tapi akhir nya, air mata itu pun jatuh juga membasahi kedua pipiku.
Ayah dan istri nya langsung terpaku sesaat, karena mendengar kata-kata yang keluar dari bibir ku. Mereka berdua terdiam tanpa menjawab ucapan ku barusan.
Aku kembali tertunduk dan menangis. Aku sudah tidak sanggup lagi untuk berpura-pura tegar, di hadapan mereka semua.
Aku sakit, aku terluka, aku rapuh dan tidak berdaya. Nenek pun ikut meneteskan air mata nya di samping ku.
Dan tiba-tiba, nenek merangkul tubuh kurus ku dari samping, masih dengan posisi duduk nya. Beliau juga ikut menangis sampai sesegukan di bahu ku.
Suasana pun menjadi hening sejenak, ibu tiriku segera beranjak dari duduk nya dan permisi ke belakang. Dia membuat kan teh dan cemilan untuk kami semua.
Sedang kan ayah, masih dengan mode diam nya dengan pandangan kosong menatap pintu rumah nya.
Selang beberapa menit, ibu tiriku kembali dan duduk di tempat nya semula. Dia membawa beberapa gelas teh manis hangat, dan pisang goreng sebagai cemilan nya.
"Di minum teh nya mak, Ndah, pak!" ucap ibu tiriku sambil meletakkan gelas-gelas teh itu di hadapan kami.
"Iya makasih, buk." jawab ku.
"Jadi sekarang mau mu gimana, Ndah?" tanya ayah.
Ayah kembali bersuara setelah suasana nya kembali normal.
"Aku mau cerai aja, yah!" jawab ku.
"Udah kau pikir kan baik-baik keputusan mu itu? Jangan nanti jadi penyesalan di belakang hari." lanjut ayah.
"Udah, yah. Keputusan ku udah bulat!" jawab ku tegas.
"Oke lah kalo gitu, kalo memang keputusan mu udah bulat, biar ayah yang urus perceraian mu."
Ayah berucap, sambil mengambil gelas yang berisikan teh manis hangat dan menyeruput nya beberapa kali.
"Alhamdulillah makasih ya, yah." balas ku.
Aku berterima kasih kepada ayah sambil mengucapkan rasa syukur, karena ayah mau membantu untuk mengurus perceraian ku dengan mas Edi.
Singkat cerita, akhirnya sekarang aku sudah resmi menyandang status baru, yaitu miss jendes.
Sekarang, aku sudah resmi menjadi janda kembang. Kenapa di bilang janda kembang? Karena aku janda tanpa anak.
Ya, aku belum di beri kepercayaan oleh yang maha kuasa untuk mempunyai keturunan. Tapi ya tidak apa-apa, mungkin belum rezeki pikir ku.
Selama menjadi miss jendes, aku kembali tinggal seatap bersama nenek lagi. Seperti dulu, sewaktu belum menikah dengan mas Edi. Waktu masih perawan tingting tentu nya.
Setelah dua bulan menjadi janda, akhirnya aku memutuskan untuk pergi merantau ke kota Batam. Aku ingin merubah nasib dan mencari pengalaman hidup yang baru di kota orang.
Dan yang pasti nya, ingin mencari uang sebanyak-banyak nya untuk tabungan di hari tua ku nanti.
Berhubung tidak ada uang buat ongkos untuk pergi merantau, aku terpaksa harus nekat meminjam uang panas( koperasi), kepada salah satu rentenir yang ada di sekitar rumah nenek.
Ya, walau pun uang itu harus berbunga indah, seperti yang ada di taman kota Medan. Dengan terpaksa dan berat hati, aku tetap harus meminjam nya.
Karena hanya itu lah jalan satu-satunya, untuk bisa mendapatkan uang dengan cepat. Agar aku bisa terbang ke kota Batam.
Dengan tekad yang sudah bulat, aku pamit kepada ayah dan istri nya. Dan juga kedua anak mereka yaitu adik-adik ku, yang beda ibu tapi satu ayah.
Dan yang paling utama adalah berpamitan dengan nenek, orang yang selama ini sudah merawat ku. Beliau lah satu-satunya orang yang sangat berjasa dalam hidup ku.
Nenek memberikan wejangan, panjang kali lebar kali tinggi dan masih banyak lagi istilah lain nya.
"Sehat-sehat ya, nek. Aku pasti akan kembali lagi." ucap ku.
Aku mencium kedua pipi nya dan memeluk erat tubuh renta nya. Setelah selesai berpamitan dengan nenek, akhirnya aku pun berangkat ke Bandara Kualanamu Medan.
Aku berangkat dengan menggunakan pesawat, bersama sepupu cewek yang juga bertujuan ke kota Batam.
Dan akhirnya, disini lah aku sekarang. Di kota Batam yang terkenal dengan kota pariwisata, dan terkenal dengan dunia gemerlap nya.
"Alhamdulillah, selamat sampai tujuan." ucap ku.
Aku berucap syukur dalam hati, setelah menginjak kan kaki di kota Batam ini. Karena sudah sampai di kota tujuan ku, dengan selamat dan tanpa kekurangan apa pun.
* Welcome to Batam. Kota teh obeng*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 171 Episodes
Comments
Bagja
lanjut kak
2023-01-16
0
Leo
lanjut Thor
2022-09-16
0