Di sepanjang perjalanan menuju hotel, aku terus memejamkan mata. Aku pura-pura tertidur, untuk menutupi kegelisahan hati yang sedang dag-dig-dug tidak karuan, akibat ulah Haris yang memasang kan sealbeat pada ku.
"Udah sampe, Ndah." ujar Haris.
"Oh iya, bang." balas ku.
Hanya itu lah yang terucap dari bibir ku saat aku membuka mata. Aku bergegas membuka sealbeat yang terpasang di tubuh ku. Tapi, aku bingung cara melepas kan nya, hihihi.
Maklum lah, mungkin karena keseringan naik angkot atau bus selama di Medan. Jadi, aku tidak tahu cara memakai dan melepaskan sealbeat di mobil pribadi.
Haris yang melihat aku kesusahan melepaskan sealbeat, langsung mendekat dan mengarahkan tangan nya ke sisi kiri bawah ku. Dan dalam sekejap "klek," sealbeat pun terlepas.
"Hufff, akhirnya." gumam ku pelan.
Haris mengambil tas kecil milik nya, dan aku juga mengambil tas ku yang ada di jok belakang.
"Ayo, Ndah. Kita check in dulu ke dalam!" ajak Haris.
Haris menggenggam tangan ku, lalu kami berdua pun jalan berdampingan menuju meja resepsionis.
"Mbak, ada kamar kosong?"
Haris bertanya kepada resepsionis wanita yang sedang bertugas malam ini. Aku hanya berdiam diri di belakang Haris, sambil mengeratkan genggaman tangan ku pada nya.
"Ada, mas. Kamar no 123 lantai dua ya." jawab nya.
Resepsionis wanita itu menyodorkan kunci yang tertera no kamar tersebut. Haris langsung menerima kunci itu sambil tersenyum, dan mengucapkan terima kasih kepada nya.
"Oke, makasih ya, mbak." jawab Haris.
Aku yang tadi nya berjalan di samping Haris, kini hanya mengekori nya dari belakang. Haris tetap menggenggam tangan ku, dia tidak ingin melepaskan genggaman tangan nya itu, sebelum sampai di depan pintu kamar hotel tersebut.
Sesampainya di lantai dua, kami berdua langsung berjalan ke lorong sebelah kanan, sampai di ujung lorong kami berhenti, tepat di depan pintu kamar 123. Haris segera membuka pintu kamar itu, dengan tangan kanan nya dan memutar kunci itu dua kali.
"Ceklek,"
Pintu pun langsung terbuka lebar, Haris menempel kan kunci itu ke dinding, di tempat para sakelar lampu berada dan "jrenggg" hidup lah semua lampu, TV dan AC. Aku mengamati sekeliling kamar ini sambil berkata...
"Bagus juga kamar nya." gumam ku.
"Sayang!" panggil Haris.
Haris berjalan perlahan menuju ke arah tempat ku berdiri. Dia berhenti tepat di hadapan ku. Setelah itu, Haris langsung memeluk erat tubuh ku, bahkan sangat erat. Sampai-sampai aku kesusahan untuk bernafas.
"Abang, iiihhh lepasin!" rengek ku manja.
Aku meronta-ronta di dalam pelukan Haris, dan berusaha untuk melepaskan diri dari dekapan nya.
"Tadi kan abang udah janji. Gak bakalan macam-macam tanpa seizin ku." ujar ku kembali mengingatkan nya.
"Cuma peluk aja kok, sayang." jawab Haris sembari menjalar kan tangan nya ke atas perut ku.
"Iya, tapi lama kelamaan bisa menjalar kemana-mana nanti tuh." balas ku sewot.
"Iya deh, aku ngalah." ucap Haris pasrah.
Akhirnya, Haris melepaskan pelukan nya. Dia duduk di sisi kanan ranjang yang berukuran size king tersebut. Aku ikut duduk di sebelah lah nya, sambil mengambil rokok yang ada di dalam tas ku.
Aku meletakkan tas itu kembali di atas meja rias, lalu melirik sedikit pada Haris. Dia tampak sedang murung, dan wajah nya juga di tekuk lesu.
"Sayang, kenapa muka nya jadi jelek gitu?" ledek ku.
Mendengar ledekan ku, Haris pun langsung mendongak kan kepala nya, untuk melihat ku yang sudah berdiri tepat di depan nya.
"Udah mulai nakal ya sekarang." balas Haris.
Haris memeluk pinggang ku, dan menempel kan wajah nya di perut ku. Aku hanya tersenyum melihat tingkah nya, yang kadang-kadang seperti anak kecil yang suka merajuk.
"Bang, aku mau curhat. Mau dengerin gak?" tanya ku.
Aku membelai rambut Haris yang masih menempel di perut ku. Dengan posisi Haris yang duduk di tepi ranjang, dan kaki yang menjuntai ke bawah. Sedangkan aku, aku hanya berdiri di depan nya.
"Cerita kan lah, biar aku dengar kan!" Haris menjawab sambil melepaskan pelukannya di pinggang ku.
Aku langsung merubah posisi yang enak untuk bercerita. Aku duduk membelakangi Haris, dengan kedua kaki nya yang di selonjorkan di sisi kanan dan kiri ku.
Badan nya menempel di punggung ku, dan kedua tangan nya melingkar cantik di pinggang ramping ku. Sesekali Haris menciumi rambut ku yang lurus, dan terurai panjang sampai ke pinggang.
Kadang-kadang, ciuman nya itu sampai nyasar ke tengkuk, dan leher samping ku. Dan itu berhasil membuat ku merinding tidak karuan di buat nya.
"Abang, iiiiihh. Jangan gitu, aku jadi geli tau gak!" rengek ku.
Bukan nya berhenti, Haris malah semakin brutal dengan aksi nakal nya. Dan, "aahh." Akhirnya aku mulai mendes*h akibat ulah nya tersebut.
"Kapan aku curhat nya kalo tingkah nya begini terus. Bisa-bisa, malah yang lain pula nanti yang bakalan terjadi." batin ku.
Akhirnya, dengan terpaksa aku pun menjitak kepala nya. Agar dia berhenti dari ulah gila nya, yang bisa membuat ku panas dingin tidak karuan.
"Satu, dua, tiga, pletak!"
"Auww! sakit, Ndah." pekik Haris.
Haris langsung terpekik kuat sambil meringis. Dia memegangi jidat nya yang baru saja terkena jitakan ku.
"Hahahaha, kapok! Siapa suruh dari tadi genit nya gak siap-siap? Aku sampe merinding tau gak, nahan kan nya!" ledek ku sembari tergelak.
Aku tertawa terbahak-bahak, ketika melihat wajah Haris yang sedang meringis, karena menahan sakit di jidat nya.
"Jahat banget sih nih cewek." gerutu Haris.
"Biarin, weekk." balas ku cuek.
Aku menjulurkan lidah untuk meledek nya. Persis seperti biawak yang lagi melet-melet, hahaha. Haris hanya tersenyum, menanggapi tingkah aneh ku tersebut.
"Bang, aku cerita kan sekarang ya!" ujar ku lagi.
"Iya, cerita lah." jawab Haris lirih.
"Oke, aku akan mulai dari tujuan utama ku merantau ke kota Batam ini. Itu karena aku ingin bekerja, dan mendapat kan uang yang banyak buat ayah ku." jelas ku.
"Awal nya, aku bingung mau kerja apa disini. Sedang kan aku, cuma tamatan SD saja. Trus, ada teman yang nawarin untuk bekerja di tempat karaoke." lanjut ku.
Aku berhenti sejenak untuk menyalakan rokok, lalu menghisap perlahan. Setelah beberapa kali menghisap nya, aku pun kembali bercerita kepada Haris.
"Masuk kerja jam delapan malam, pulang nya jam empat subuh. Tugas nya hanya menemani minum dan berkaraoke saja." sambung ku.
"Gaji pokok nya satu juta lima puluh ribu. Dapat uang chas duduk, lima puluh ribu per meja." lanjut ku.
Haris hanya diam, sambil terus mendengarkan penuturan ku. Setelah menghela nafas panjang, aku pun kembali melanjutkan cerita ku.
"Aku masih bingung saat itu. Sedang kan aku, sudah sebulan nganggur di kota ini, karena belum ada kerjaan yang cocok buat ku."
"Uang yang aku bawa dari kampung juga sudah habis. Belum lagi mikirin ayah yang sudah sibuk menghubungi ku, untuk minta kiriman uang."
Aku kembali menghela nafas lalu menghisap rokok. Setelah itu, aku pun kembali bercerita panjang lebar.
"Otak ku jadi buntu, blom lagi buat bayar kos lima ratus ribu perbulan nya. Apa gak makin stres aku mikirin nya?"
"Dan akhirnya, aku pun terpaksa menerima kerjaan yang ada di Karaoke itu. Lumayan lah, dari pada nganggur pikir ku." lanjut ku.
Aku berhenti sesaat, sambil menghisap kembali rokok yang ada di tangan ku. Melihat aku terdiam, Haris pun mulai bertanya pada ku.
"Trus, gimana lagi kelanjutan nya?" tanya Haris.
Haris masih tetap anteng duduk di belakang ku, sambil sesekali mencium rambut dan leher ku.
"Gajian pertama, aku cuma dapat dua juta saja. Trus aku kirim kan buat ayah satu juta lima ratus ribu, sisa nya buat kebutuhan ku dan bayar kos." lanjut ku lagi.
"Belum ada dua minggu setelah aku mengirim kan uang itu, ayah sudah menghubungi ku lagi. Kata nya butuh uang lagi."
Aku menjeda cerita ku, lalu kembali menghisap rokok. Setelah itu, aku melanjutkan kembali ceritaku tadi.
"Ya, terpaksa lah aku harus kasbon sama bos lima ratus ribu. Trus waktu gajian lagi, ayah malah target kan aku. Harus bisa kirim uang di atas satu juta lima ratus setiap bulan nya. Kata ayah sih, buat beli tanah."
"Oke, aku turuti permintaan nya. Biar ayah senang, batin ku. Biar lah aku sengsara di sini, asal kan ayah senang di sana. Itu lah pikiran ku saat itu pada ayah."
Mendengar kata target, Haris pun kembali membuka suara nya.
"Loh, kok di target kan gitu sih?" tanya Haris heran.
"Ya aku juga gak tau, bang. Itu semua adalah permintaan ayah. Oke, aku lanjutkan cerita nya ya!"
"Tapi lama kelamaan, ayah malah semakin bertambah parah. Gak perduli hari, gak perduli minggu. Ayah minta uang terus menerus, sampai-sampai aku sakit memikir kan nya. Aku sakit malaria selama seminggu."
Aku menarik nafas dalam-dalam, dan kembali bercerita tentang kehidupan yang sedang aku jalani kepada Haris.
"Aku gak bisa kerja, gak bisa kemana-mana, asli tergeletak di kamar kos sendirian. Untung saja ada kawan yang baik yang mau membantu ku, merawat ku, dan memberiku makan."
"Bahkan, obat-obatan ku juga di tanggung oleh nya. Sampai akhirnya, puncak kesabaran ku pun telah habis, aku marah besar kepada ayah."
Aku menerawang sejenak, mengingat pertengkaran ku dengan ayah waktu itu.
"Ndah, ada uang gak? Ayah butuh sekarang juga!" pinta ayah di panggilan telepon.
"Buat apa, yah?" tanya ku.
"Buat bayar listrik sama bayar hutang." jawab ayah dengan santai.
"Ya Allah, yah." ucap ku lirih.
Aku mendengus kesal, lalu menarik nafas panjang dan menghembuskan nya dengan kasar.
"Ayah tau gak, gimana kehidupan ku di kota asing ini? Aku anak perempuan merantau sendiri. Tanpa saudara, tanpa ada yang kenal satu orang pun." omel ku.
"Kalau aku sakit, kalau aku di siksa orang, kalau aku mati di bunuh orang, kalau aku gak makan, karena gak ada duit, dan masih banyak kalau-kalau lain nya. Apakah ayah tau semua itu? Gak tau kan, yah?" tanya ku. semakin kesal.
Aku meneteskan air mata. Sedih rasa nya hati ini bila mengingat semua nya.
"Yang ayah pikir kan hanya lah uang, uang, dan uang. Ayah gak pernah tanya kan kabar ku, gak pernah tanya kapan aku pulang, gak pernah tanya tentang kesehatan ku? Gak pernah kan, YAH?" lanjut ku lagi.
Aku menjerit dengan emosi yang semakin memuncak. Aku menangis sesenggukan dan kembali berbicara kepada ayah.
"Yang ayah tanya hanya lah masalah uang. Aku capek, yah. Tolong ngertiin aku sekali aja, yah...tolong!" pinta ku memelas.
Aku mematikan panggilan secara sepihak. Aku menangis sendirian di dalam kamar kos. Merenung tentang nasib badan yang sedari kecil hingga dewasa, harus kerja kerja dan kerja terus tanpa ada hasil nya. Aku capek, aku lelah.
"Ya Allah, murah kan lah rezeki ku. Sehat kan lah badan ku, panjang kan lah umur ku. Agar aku bisa menjadi seperti apa yang di harapkan ayah ku. Amin amin ya rabbal a'lamin."
"Itu lah beban yang selama ini aku rasa kan, bang." tutur ku pada Haris.
Haris masih terus memeluk tubuh ku dari belakang, dan menempel kan dagu nya di pundak ku.
"Masih anteng aja ni orang, udah kayak cicak aja nemplok di dinding, hihihi." batin ku terkikik geli melihat Haris.
"Aku sedih dengar kisah mu, Ndah." gumam Haris di telinga ku.
Aku langsung menoleh pada Haris, dan menatap mata nya yang mulai berembun dan sayu. Air mata nya sudah menggenang, dan sedikit lagi hampir menetes di pundak ku.
"Abang yang cuma mendengar kan aja sedih. Apa lagi aku yang menjalani?" balas ku lirih.
"Iya juga sih." jawab Haris pelan.
"Yang sabar ya, sayang. Jalani aja semua nya dengan ikhlas ya. Mohon pada Allah, supaya di beri kelancaran." ujar Haris menasehati ku.
"Iya, bang. Insya Allah aku kuat kok. Aku kan wanita strong, hehehe." balas ku.
Aku menunjuk kan otot lengan ku yang tidak seberapa itu. Tawa Haris pun langsung pecah, saat melihat aksi kocak ku tersebut.
"Hahahaha, gendeng." gelak Haris.
Aku sengaja melakukan hal demikian, agar suasana nya tidak sedih lagi seperti tadi. Aku tersenyum bahagia, melihat Haris yang sedang tertawa lepas seperti saat ini.
"Jadi sekarang gimana, sayang?" Haris bertanya sambil menciumi rambut ku dari belakang.
"Gimana apa nya sih?" tanya ku bingung.
Aku berucap sambil berpura-pura lugu. Aku mau membuat Haris merajuk lagi, seperti di awal tadi.
"Kok gitu sih? Pura-pura amnesia pula dia." jawab Haris kesal.
Haris merengek manja, dia terus saja memeluk tubuh ku dari belakang.
"Lah, emang nya mau ngapain sih?" lanjut ku masih berpura-pura bingung.
"Ya udah, kita tidur aja yok! Aku udah ngantuk nih." usul ku.
Aku menarik tangan Haris ke atas ranjang, lalu menarik selimut yang ada di bawah kaki nya.
"Awas ya, jangan macam-macam!" ujar ku.
Aku mengancam sambil membulatkan mata ku pada Haris.
"Gak janji." jawab Haris santai.
Aku dan Haris pun berbaring dengan posisi yang saling berhadap-hadapan. Baru saja memejamkan mata, tiba-tiba Haris menciumi bibir ku dengan rakus, tanpa meminta izin terlebih dahulu pada ku.
Aku membuka mata perlahan dan, "aaaaaaa." Aku sontak kaget mendapati Haris yang sedang menjarah bibir ku tersebut.
Teriakan ku sedikit tertahan, karena bibir ku yang sedang di sumpal oleh bibir Haris. Lama kelamaan, aku pun mulai terbuai dengan kegiatan nya itu. Dan akhirnya, terjadi lah surga dunia yang tercipta dari tangan nakal Haris.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 171 Episodes
Comments
Jesi Jasinah
sampai disini, kalau ada waktu nanti lanjut lagi
2023-05-11
1
Bagja
waduh, jd pengen. wkwkwk
2023-01-16
0