“Bara, di toples merah garam?” teriak Ray keras dari dapur karena suara lagu metal yang diputar Bara terdengar kencang memenuhi setiap sudut kosan.
“Gula” jawab Bara dari kamar.
“Oke” balas Ray, tapi sedetik kemudian suara teriakan kesal Ray terdengar lagi. “Bara tolol! Ini deterjen!”
“Ya masa gitu aja nggak bisa cium sih?” ujar Bara cuek tidak mengacuhkan Ray yang muntah-muntah di luar karena mencicipi kopi campur deterjen buatannya sendiri.
“Human error” ketus Ray.
“Human error sama idiot beda tipis” gumam Varo baru masuk dapur setelah membuang sampah di luar, ia kembali ke kamar mengepak pakaian ke dalam koper.
“Gue lagi flu makanya nggak bisa nyium. Lagian siapa sih iseng banget naruh toples deterjen di dapur? Mana bubuk birunya nggak ada lagi! Mana gue tahu ini deterjen!” omel Ray kesal.
“Oh itu, bubuk birunya dipindahin satu-satu sama Dion pas lagi telponan sama ceweknya. Kebawa suasana kali makanya nggak sadar, orang telponan kan suka ngelakuin hal aneh” jelas Varo kalem.
“Sinting!”
Varo hanya nyengir kembali mengepak pakaian dengan gaya lipat ala kadarnya, selama resleting koper masih bisa terkunci berarti aman. Ditengah kesibukannya Bima tiba-tiba muncul dengan wajah tertekuk. “Lu lihat kolor gue nggak? Yang motif macan dan cuman gue pakai di momen-momen khusus?” tanya Bima tanpa basa-basi.
“Enggak” jawab Varo pendek rada sewot. “Emang gue pembantu kosan apa yang harus bertanggung jawab sama kolor lu semua?” Bima nyengir lalu menghilang ke jemuran mencari kolornya. “Laptop, cas laptop, cas ponsel” gumam Varo memastikan benda-benda paling penting sudah masuk ke dalam tas. Wajah Varo berpaling ketika Ray tanpa permisi masuk dan berbaring di atas kasur sambil mengutak-atik nintendo.
“Pesawat lu besok berangkat jam berapa?”
“Jam enam sore”
“Nintendo lu bawa?”
“Kagak”
“Yaudah gue yang jagain nintendo lu” ujar Ray semangat. Sesaat keduanya terdiam sibuk dengan aktivitas masing-masing sampai kemudian Bima muncul lagi.
“Lu beneran nggak lihat kolor macan gue?”
“Enggak!” jawab Varo singkat lebih peduli pada isi koper dibanding tampang frustasi Bima kebingungan sibuk mencari kolor keramatnya kesana kemari. “Mungkin di dapur jadi kain lap kompor”
“Wah kurang ajar!” Bima buru-buru berlari ke dapur tapi kemudian balik lagi dengan ekspresi dua kali lebih frustasi. “Nggak ada”
“Apaan sih?” tanya Ray heran karena sejak tadi Bima mondar-mandir sambil mengomel.
“Kolor gue hilang”
“Kolor yang mana?”
“Yang motif macan, baru gue cuci kemarin, terus gue jemur di belakang”
“Oh, tau gue. Dipakai Bang Tigor, tadi dia buru-buru langsung nyamber kolor di jemuran. Gue kira punya dia” beritahu Ray kalem. Bima langsung berang, tanpa ampun mengeluarkan segala macam umpatan untuk Tigor yang memakai kolor kesayangannya tanpa permisi.
“Pemuda tua brengsek! Bukannya nyari istri malah nyolong kolor orang. Gue sumpahin bijinya kelipet” teriak Bima marah-marah kemudian berlalu mencari kolornya yang lain, tapi sesekali masih terdengar umpatan marah dari luar. “Pokoknya kalau gue kekurangan kolor. Kolor lu sama Dimas yang gue pakai!” teriak Bima kesal.
“Marah-marah mulu kayak banteng” ejek Ray cekikikan. Detik jam terus berlalu dan Varo menghabiskan semalam suntuk bermain PS, ponselnya yang sejak tadi berbunyi tidak ia hiraukan sampai tanpa sengaja diangkat oleh Bara.
“Kakak lu nih mau ngomong” ujar Bara polos. Varo tidak berkata apapun hanya mendengus mengambil ponselnya lalu melangkah menuju jemuran kosan.
“Kenapa?” tanya Varo dingin begitu mendengar suara Amirah.
[Kamu nggak ke rumah? Kan Aku udah bilang Amelia ulang tahun! Kalo kamu nggak mau nginep ya minimal setor muka bentar, ngucapin selamat ulang tahun atau beli kado] kata Amirah terdengar menahan kesal dari seberang telepon.
“Aku sibuk” jawab Varo pendek sembari menyalakan rokok, ia duduk di bawah tiang jemuran dengan raut wajah tidak senang.
[Sibuk apa?]
“Aku mau ke Yogyakarta besok, aku harus packing”
[Ke Yogyakarta? Ngapain? Kamu nggak ada niat mau buat masalah lagi kan? Aku nggak mau ya ngurusin semua kenakalan kamu]
“Apaan sih kak? orang aku mau magang” dengus Varo. “Lagian aku nggak minta kakak buat repot-repot ngurusin aku”
[Jadi kamu mau aku ngelepas kamu gitu aja?]
“Terserah kakak”
[Bodoh, kamu itu adik aku, makanya aku khawatir sama kamu!]
“Bisa nggak kak kalo khawatir sama aku, nggak usah pake teriak-teriak? Kuping aku sakit”
[Habis kamu bandel banget sih] gumam Amirah sebal. Varo berdecak malas, mau sampai kapanpun dimata Amirah Varo hanyalah bocah SMA yang menangis padanya ketika persidangan perceraian kedua orang tuanya dimulai. Ia lupa bahwa Varo kini telah tumbuh menjadi seseorang yang sudah mulai melindungi dirinya sendiri, meskipun dengan cara-cara yang sering kali membuat Amirah naik darah. [Kamu tadi bilang mau magang di Yogyakarta kan? Batalin aja, kamu magang di perusahaan aku]
“Nggak mau, aku udah pesan tiket”
[Alah, berapa sih harga tiket ke sana? Aku ganti sini uang kamu]
“Aku pergi sama Dimas dan Bima. Lagian aku magang di tempat abangnya Bima, nggak enak kalo Aku batalin”
[Kamj mau magang apa karena ada gebetan kamu di sana? Emang hubungan kamu sama Arini udah selesai?]
“Bukan urusan kakak” ketus Varo. “Dah kak, aku mau lanjut packing, kakak nggak usah nelpon-nelpon, ganggu kerjaan orang aja”
[Makanya jangan bandel biar nggak aku telpon] dengus Amirah. [Kamu jangan lupa ngirim kado buat Amelia]
“Iya kakak kuu sayaaanggg.......” teriak Varo langsung mematikan sambungan telepon. Hembusan asap rokok naik mengenai baju-baju jemuran anak kos, tapi Varo tidak peduli.
“Anak perjaka! ngapain lu disitu?” tegur Tigor membuat wajah Varo mendongak. “Habis nelpon pacar ya?”
“Yoi” angguk Varo tersenyum lebar. “Bang, lu dicari Bima. Kata Ray lu yang pake kolor macan Bima.”
Tigor mengernyit bingung mengecek isi celananya kemudian tertawa geli. “Oh ini punya Bima? gue kira tadi kolor nganggur.”
Anak kos buaya memang sering kali menjemur pakaian berbulan-bulan sehingga ada saja yang pede mengklaim kepemilikan pakaian disaat terdesak, seperti Tigor misalnya yang suka kehabisan stok kolor karena malas mencuci pakaian.
“Bima udah tidur kan?” tanya Tigor memastikan. Varo mengangguk membuang puntung rokok ke bawah dan menginjak sampai mati.
“Udah, katanya mau ngisi energi buat berantem sama lu besok pagi” jawab Varo asal kemudian masuk ke dalam kosan.
......................
Pukul setengah lima sore Varo sudah bersiap-siap, dibantu Arini ia memasukan koper ke dalam bagasi mobil Ete. Ada Dimas disitu dan juga Bima yang kesulitan membawa koper, tidak tanggung-tanggung ada tiga koper yang dibawa oleh cowok itu sampai membuat Ete melongo keheranan.
“Lu mau magang apa pindah rumah sih? Banyak banget bawaan lu, kayak nyokap gue tiap balik dari kampung.” Ete geleng-geleng kepala sementara Bima hanya melemparkan tatapan cuek dan duduk manis di kursi penumpang. Sekitar setengah jam mobil mereka bergerak menyusuri jalanan ramai, gedung-gedung tinggi menjulang menjadi penghias kemacetan panjang orang-orang yang baru pulang kerja. Sepanjang perjalanan Bima paling cerewet, dari antara mereka memang ia yang kelihatan paling bahagia, seolah pergi magang sama saja dengan liburan ke Bali.
“Bim lu teriak-teriak lagi, gue turunin lu tengah jalan” ancam Varo dari balik setir mobil karena merasa terganggu mendengar suara Bima.
“Gue lagi nyanyi bukan teriak” ketus Bima galak baru berhenti menyanyi kesetanan ketika mobil mereka sudah memasuki area bandara Soekarno-Hatta.
“Jangan lupa makan, istirahat, terus telpon kalo udah sampai.” Arini memeluk Varo erat ketika mereka harus masuk ke dalam ruang tunggu. Varo hanya mengangguk-angguk membalas pelukan cewek itu kemudian menghilang ke ruang tunggu bersama Bima dan Dimas.
“Protektif cewek lu kayak bapak gue” canda Dimas. Sekitar lima belas menit menunggu, ketiga orang itu kemudian sudah berada di dalam pesawat.
“Wow ada tv” seru Bima norak memencet-mencet tombol tv di kursi pesawat. Maklum, selama ini setiap kali keluar kota Bima lebih sering menggunakan kereta api, katanya peluang untuk kenalan sama cewek dari tiap gerbong jauh lebih besar dibandingkan naik pesawat yang hanya bisa jalan ke toilet. "Brengsek nggak ada film yang bagus.”
Mata Varo melirik sekilas, ia memilih diam sampai pada akhirnya Bima mematikan tv dan tidur. Itu jauh lebih baik dibandingkan harus mendengarkan ocehan cerewet cowok itu. Mereka sampai di bandara Yogyakarta sekitar pukul tujuh malam dan disambut Dirman, seorang bapak-bapak berusia empat puluh lima tahun, bertubuh pendek, dan berkumis tebal.
“Ya ampun Mas Bima, kok makin kurusan sih? Jadi anak kos susah ya harus banyak puasa?” sapa Dirman ramah. Varo dan Dimas spontan menahan tawa geli, badan Bima sudah mirip karung beras bisa-bisanya dibilang kurusan.
“Ah bapak bisa aja, saya emang lagi diet pak, biar gantengan dikit” jawab Bima bangga kemudian memperkenalkan Varo dan Dimas.
“Masnya berdua satu jurusan?”
“Iya pak, sama jurusannya akuntansi” jelas Dimas.
“Pak ini kita nungguin siapa lagi?” tanya Varo karena Dirman masih mengangkat kertas bertuliskan Johan Danudara, Jakarta.
“Mas Johan, sama anak magang kayak kalian, cuman tadi Mas Johan nelpon, katanya pergi ke toilet dulu” jelas Dirman.
“Loh memangnya Kak Rangga ada nerima anak magang selain kita?” tanya Bima heran.
“Iya, waktu itu wawancara via telepon. Katanya anaknya pintar makanya diterima.”
Mendengar perkataan Dirman, Dimas langsung menundukan kepala dan berbisik pelan. “Ayo tunjukkan, meskipun kita magang karena jalur orang dalam, tapi kita juga bisa terlihat pintar.”
Varo ketawa geli sementara Bima langsung mengangguk setuju. Sekitar sepuluh menit menunggu, seorang cowok datang menghampiri mereka. Tubuhnya tinggi hampir sama seperti Varo dan Dimas, ia mengenakan kacamata dengan topi baseball dan kaos putih.
“Pak Dirman ya?” tanya cowok itu ramah kemudian memperkenalkan diri sebagai Johan. “Maaf pak saya agak telat”
“Nggak papa mas, yang penting kita semua udah ngumpul” ujar Dirman ramah.
“Gue Johan, anak manajemen” kata Johan mengulurkan tangan memperkenalkan diri kepada Varo, Bima, dan Dimas. “Kita sekelas” lanjutnya basa-basi kepada Bima. Setelah itu mereka mengikuti Dirman menuju parkiran mobil. Sepanjang perjalanan Varo tidak banyak berbicara, selain karena merasa lelah, kecerewetan Bima sudah mewakili Varo dan Dimas untuk buka suara. Butuh waktu lama bagi mereka sampai di tempat penginapan. Ketika tiba, terlihat Rangga sedang menunggu di teras depan pintu penginapan.
“Abang lu cakep Bim. Lu kok jelek?” bisik Dimas membuat Bima sewot.
“Iyalah cakep, nyokap dia ada darah Belanda sementara gue asli produk lokal"
“Disini kalo sore-sore pemandangannya bagus banget” kata Rangga ketika berhenti di depan dua kamar yang akan mereka gunakan selama magang disitu. “Dan karena jaringan internet nggak begitu bagus, jadi kalian bisa pakai wifi”
“Wifinya nyampe di luar nggak kak?” tanya Dimas rada antipati setiap kali mendengar kata jaringan internet jelek.
“Enggak, cuman ada wifi sendiri di luar. Tapi passwordnya sama, nanti cek aja, udah ditulis di lembar kertas dalam kamar” jelas Rangga setelah itu pamit pergi karena masih ada urusan.
“Suit, yang kalah satu kamar sama Bima” kata Dimas tiba-tiba.
Bima spontan mendengus. “Jahat banget lu berdua”
“Sorry Bim, selama suara ngorok lu masih kayak musik Beethoven, gue lebih milih tidur di kandang” oceh Varo adu suit sama Dimas, dan bisa dipastikan Varo kalah.
“Nggak papa Varo, suara ngorok lu kan kayak Mozart, entar bisa tuh berdua konser dalam kamar” ejek Bima buru-buru masuk ke dalam kamar dan memilih tempat tidur jauh dari jendela. Dari antara mereka bertiga Bima memang paling pengecut dan paling takut dengan hantu, ia takut kalau misalnya saat tengah malam ada yang mengetuk-ngetuk kaca jendela kamar. Varo memilih keluar ke balkon kamar untuk merokok, matanya menatap ke arah pantai yang terlihat berkat berkas-berkas cahaya penginapan dan kafe yang jaraknya tidak jauh dari situ. Dari balkon kamar, samar-samar ia bisa melihat aktivitas orang-orang di kafe. Harus Varo akui kafe itu terlihat keren karena didesain terbuka dengan lampu-lampu kuning, membuatnya sejenak lupa bahwa ia sedang berada di tempat terpencil tanpa sinyal.
“Varo, gue mandi duluan ya” teriak Bima dari dalam. “Jangan dobrak masuk, gue masih perjaka”
“Sinting...” desis Varo kembali menghisap rokok tanpa suara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments