Jam tujuh malam Varo sibuk mondar-mandir mencari jaket denim hitamnya yang raib entah kemana, padahal baru ia cuci empat hari lalu tapi tidak nampak jaket kesayangannya itu tergantung di jemuran. Susah payah Varo mencari di antara tumpukan baju, rak buku, rak piring, rak sepatu, dan baru ketemu jaketnya asik nongkrong bersama kain lap dekil dapur kosan.
“Kurang ajar! Siapa nih yang berani-berani taruh jaket keren gue disini?” teriak Varo marah-marah. Penghuni kos buaya memang kadang suka sembarangan menaruh barang orang. Jaket pindah jadi kain lap, kain lap jadi lap muka, sepatu dipakai ganjal lemari, bahkan minggu kemarin printer Tigor dijadikan ganjalan pintu kamar mandi. Kurang ajar banget!
“Oh itu jaket lu, gue kira buat lap kompor” balas Bara kalem sibuk mengaplikasikan masker ke wajahnya ditemani Ray sedang asik main PS di ruang tengah. Tidak nampak dalam raut wajah Bara perasaan bersalah mendengar umpatan panjang Varo dari dapur. “Sorry habis mirip keset.”
Varo mendengus pura-pura tidak mendengar, ia masuk ke dalam kamar Bima dan terkejut begitu melihat cowok itu sudah rapi dengan setelan jas warna coklat tua. “Apa-apaan sih lu? Lu mau nikah?”
Bima lantas melemparkan pelototan tajam. “Yee… sembarangan aja lu, ini jas turunan dari bokap gue sejak tahun 80an, pernah dipakai waktu nyambut presiden datang ke RT rumah bokap gue dulu. Keren kan?”
“Iye keren" jawab Varo tidak tertarik, bahkan meskipun jas itu adalah warisan turun temurun dari zaman kerajaan majapahit. "Tapi saran gue mending lu ganti"
“Baju gue yang bagus cuman ini.”
Kening Varo berkerut memperhatikan selera berpakaian Bima yang selalu necis, lengkap dengan rambut licin seperti habis berendam di kolam pomade. Tapi bukannya terlihat keren, Bima justru seperti om-om yang sedang berusaha menawarkan investasi bodong ke anak di bawah umur. Bima memang paling payah untuk urusan tata busana, menurutnya selama nyaman tidak jadi masalah. Yang bermasalah tentu saja teman-temannya, karena busana Bima suka tidak melihat kondisi. Ke acara ulang tahun pakai baju hitam dari atas sampai bawah, pas di acara layatan pakai kaos merah tua. Bahkan ia pernah menggunakan baju merah dengan celana hijau, katanya sih mau meniru busana idol Korea, tapi jatuhnya kayak semangka dari Korea Utara. Ngejreng! Bikin sakit mata.
“Gue kalau pakai baju lu nggak bakalan muat, lemak perut gue nggak bisa dikandangin” jelas Bima menepuk-nepuk perut buncitnya.
Varo berpikir sejenak lalu keluar dan tanpa permisi mengambil celana cargo pendek dari dalam lemari Bara, tidak memperdulikan teriakan cowok itu menyumpah siapapun yang memakai celananya akan bisulan. Varo kemudian menarik kaos polos dari lemari Bima. “Pakai ini aja”
“Tapi ntar nggak keren”
“Lu keren kok sumpah. Lu kalau dari samping kayak Sebastian Stan”
“Kalau dari depan?”
“Kayak kerbau”
“Sialan lu!”
Wajah Varo meringis karena tangan besar Bima meninju punggung belakangnya keras sampai terdengar bunyi kecil, mungkin tulang belakangnya patah. “Buruan”
“Iye..iye cerewet” jawab Bima ketus memberikan kode ke arah Varo.
“Apa lagi?”
“Keluar, lu mau lihat gue bugil? Eh tapi nggak papa sih, gue suka pamer adik gue kemana-mana. Bangga aja gitu, punya adik gede.”
Varo mendelik dongkol, langsung melangkah keluar kembali bergabung dengan Bara dan Ray di ruang tengah.
“Aduh, pusing kepala gue” kata Ray melepas stik PS dan bersandar di sofa. “Gue akhir-akhir ini jadi sering cepat pusing, kayaknya mata gue mulai minus dan harus pakai kacamata."
Bara melemparkan tatapan serius. “Oh itu mah bukan minus. Temen gue ada yang gejalanya sama kayak lu, tiba-tiba pusing padahal nggak ngapa-ngapain”
Ray menatap tertarik. “Oh ya? Sakit apa emang teman lu?”
“Miskin…..gejala kemiskinan salah satunya sering pusing” jawab Bara kalem membuat Varo tertawa ngakak, Ray mencibir lalu melangkah pergi ke dapur.
“Varo mau pergi kemana lu?” Tigor muncul berkolor ria keluar dari kamar dengan perlengkapan mandi, dari raut wajahnya sih kelihatan baru bangun tidur.
“Ngapel”
“Pacar?”
“Enggak, dosen” geleng Varo. Tigor tertawa ngakak menghilang ke kamar mandi, sempat berteriak keras karena Ray iseng menyepak kakinya sampai cowok itu jatuh berguling-guling masuk ke dalam kamar mandi.
“Ganteng nggak gue?” tanya Bima ketika keluar dari kamar, kedua tangannya naik membentuk pose memamerkan otot dengan kaos hitam polos dan celana milik Bara, tidak lupa rambutnya klimis bukan main serasa baru mandi minyak goreng.
“Lu kayak bapak-bapak parlente mau nawar pinjaman” komentar Bara disambut tawa keras Varo dan setelah itu keduanya pergi dari situ.
......................
“Welcome to heaven my friend. Ganteng banget lu gila” sambut Aditya sok asik ke arah Bima. Aditya adalah teman Angga dan bekerja sebagai DJ di club situ, tampangnya cakep tapi urangkan dengan anting di telinga dan tato di sekujur tubuh. Varo hanya bisa nyengir lebar langsung duduk di sebelah Agung, mereka cuman telat tiga puluh menit tapi topik obrolan sudah melambung jauh, kelihatannya sih sedang membicarakan barisan cewek-cewek cantik di meja seberang.
“Cewek yang mana?” tanya Varo pada Angga. Bibir Angga maju menunjuk ke salah seorang cewek berambut pendek dengan kacamata dan rokok di tangan sedang mengobrol bersama teman-temannya. Sesekali ia melirik ke arah meja Varo tapi tidak terlihat jelas pada siapa pandangannya benar-benar tertuju.
“Liburan ini lu kemana?” tanya Angga menyodorkan gelas alkohol. Varo menegak sampai habis kemudian menyalakan rokok sembari mengangkat bahu dan duduk bersandar di sofa.
“Kayaknya gue magang”
“Di perusahaan bokap?”
“Enggak.”
Angga tersenyum kecil. “Nggak ke New York?”
“Nggak, ngapain? Gue sibuk kuliah dan New York jauh”
“New York yang jauh atau hati lu yang menjauh?” tawa Angga, raut wajahnya berubah kemerahan tanda setengah dari tubuhnya sudah terkendalikan oleh alkohol. “Tante Kinasih ada nelpon nyokap gue kemarin. Dia curhat karena lu susah dihubungi. Sampai gue harus ngarang cerita ponsel lu dicopet” cerita Angga. Varo menghisap rokok pelan. Angga adalah sepupu sekaligus satu-satunya orang yang tahu detail seluk beluk kehidupan Varo, bahkan sampai sisi tergelap dan terapuh sekalipun. “Punya nyokap tuh dijaga.”
“Gimana gue mau jaga kalo nyokap yang ngelepas gue duluan?” Senyum Varo pahit menunjukan bahwa kepergian Kinasih beberapa tahun lalu masih menjadi pukulan berat dan luka bagi dirinya.
“Cantik banget kan, gue coba deketin kali ya?" Suara Agung membuat Varo dan Angga berpaling. Tampak seorang cewek cantik yang sejak tadi menjadi incaran Agung sedang berdiri sendirian di meja bar. “Bakalan gue bungkus itu cewek malam ini.” Agung terlihat sangat percaya diri, pengaruh alkohol membuatnya tanpa ragu bangkit berdiri menghampiri cewek itu. Teman-temannya hanya melihat dari kejauhan dan kemudian melemparkan tatapan iri ketika Agung mengedipkan mata ditengah obrolannya.
“Varo, ajarin gue biar bisa dapetin cewek dong. Kan gue mau juga dibungkus” rajuk Bima tiba-tiba.
Kening Varo berkerut bingung. “Lu berguru aja sama Dimas, dia lebih jago”
“Lah kok gue? yang dulu tiap pulang sering bawa cewek kan elu, bukan gue. Lu lebih ahli dalam bungkus membungkus”
“Itu kan dulu”
“Dulu sebelum jadi bucinnya Arini” ujar Bima monyong “Ayo dong bagi-bagi ilmu, masa lu tega ngeliat gue gini-gini aja. Sayang banget nih ketampanan bokap yang nurun ke gue kebuang sia-sia.”
Satu tarikan nafas terdengar, Varo memang paling tidak tahan mendengar Bima merengek, ia lantas melepaskan jaketnya. “Lu pakai jaket ini terus lu beli minuman dan tawarin ke cewek-cewek yang ada di-” perkataan Varo mendadak terpotong ketika matanya tanpa sengaja menangkap sosok seorang cewek melangkah ke arah meja yang ia tunjuk. Cantik. Itu adalah kata pertama yang muncul dalam benak Varo, bahkan meskipun lampu di ruangan itu remang-remang. Mata Varo mendadak terpaku pada gerak-gerik cewek itu, ia tertawa geli ketika bergabung bersama teman-temannya. Dengan kaos crop top berwarna hitam dan celana jeans pendek, Varo berani mengakui cewek itu adalah cewek terseksi yang pernah ia lihat selama berada di club.
“Kita lagi ngeliat orang ya sama kan?” senggol Bima. Varo tidak menjawab, ia malah meraih gelas alkohol tapi pandangan matanya masih tertuju pada cewek itu. Ada sesuatu dalam diri Varo yang mengatakan bahwa ia harus mengajak cewek itu berkenalan, entah bagaimanapun caranya.
Dari meja seberang tempat dimana cewek itu berdiri, tampak salah seorang dari antara mereka berbisik kepadanya sembari menunjuk ke arah meja Varo. Cewek itu lantas berpaling tepat ke arah Varo dan sebuah senyum kecil terukir manis di bibirnya, membuat degup jantung Varo tanpa sadar berdetak kencang.
“Dia tadi senyum ke arah kita, emang bener jaket lu pembawa berkah!” seru Bima malah girang sendiri.
“Cewek yang mana sih?” korek Dimas ikut tertarik, sejak tadi ia sibuk kadal-kadalan dengan cewek di meja sebelah, sementara teman-temannya yang lain sudah berpencar entah dimana dengan kenalan masing-masing, kecuali Angga yang menyandarkan kepalanya ke sofa tanda mulai mabuk berat.
“Yang itu, yang pakai baju hitam” tunjuk Bima. Ketiganya sama-sama memperhatikan cewek itu. Cara ia berbicara, tersenyum, dan menegak air mineral membuat mereka terpesona. Tubuh Varo seakan mati rasa, gerak-geriknya benar-benar membuat Varo tidak bisa berpaling. Sesaat ia melihat cewek itu berbicara dengan seorang waitress dan tangannya menunjuk ke arah meja Varo.
“Dia lagi ngomongin kita” bisik Bima semangat. Tidak lama kemudian waitress tadi datang ke meja Varo, ia tersenyum sopan membawa segelas jim beam dan menyodorkan ke arah Varo.
“Mas, ada titipan dari cewek baju hitam di sana” kata waitress itu kemudian melangkah pergi ketika gelas tadi sudah berpindah ke tangan Varo. Varo tertegun menatap gelas di tangannya, setelah itu ia mendongak ke arah cewek itu dan menegak alkoholnya dengan siratan penuh makna. Cewek itu tersenyum lebar lalu berpaling ke arah teman-temannya seolah tidak terjadi apapun.
“Wow, mimpi makan apa lu semalam? Gila! Lucky banget!” geleng Dimas tidak percaya, begitu juga dengan Bima yang sempat-sempatnya bertepuk tangan ria. Varo ketawa lebar kembali mencuri pandang ke arah cewek itu, tapi sayangnya ia sudah tidak menatap Varo lagi.
......................
Menjelang jam satu malam suasana club semakin ramai, beberapa pasangan tanpa merasa canggung berciuman di sudut-sudut club, sementara ada juga yang terlihat kepayahan harus bersusah payah keluar dari situ dibopong temannya. Varo sendiri sedang berdiri di depan pintu toilet wanita, kedua tangannya berada di saku jaket, jelas menunjukan ia sedang menunggu seseorang.
“Hai” sapa Varo tersenyum tipis. Cewek yang sejak tadi menarik perhatiannya kini berdiri di depannya.
“Hai” balas cewek itu agak terkejut melihat Varo disitu. Tapi dengan cepat ekspresinya berubah ramah.
“Em-,” Varo mendadak terdiam menimbang-nimbang apa yang harus ia katakan kepada cewek di depannya ini. Rasanya sedikit aneh karena kehadiran cewek itu justru membuat Varo kaku, seolah otaknya mendadak berhenti bekerja begitu saja.
“Kamu Alvaro kan? Alvaro Wijaya. Dulu kapten basket di SMA Merah Putih?” tanya cewek itu membuat Varo terperangah. “Aku Olivia, teman sekolah kamu dulu” lanjutnya mengulurkan tangan.
“Alvaro.”
Olivia tertawa geli. “Aku tau nama kamu Alvaro, nggak usah kamu kasih tau lagi.”
Manis. Itu adalah kata kedua yang terlintas dalam benak Varo ketika Olivia tersenyum pada dirinya. Dengan wajah cantik, proporsi tubuh mengagumkan, dan penampilan seksi, Olivia sukses membuat seluruh perhatian Varo terpusat padanya. Sampai Varo lupa Angga sedang terlelap sendirian di sofa lantai atas.
“Kamu dulu seangkatan sama aku? atau...adik kelas?” tanya Varo ragu agak sulit mengingat cewek cantik nan seksi bernama Olivia, teman sekolahnya dulu.
“Ya ampun kamu beneran nggak inget aku ya?” tawa Olivia membuat Varo terkesima. “Aku dulu seangkatan sama kamu. Tapi wajar sih kalau kamu nggak inget, kita nggak pernah sekelas, aku dulu anak sepuluh tiga, terus pas kenaikan kelas dua aku pindah sekolah”
“Ohh...” balas Varo kikuk.
“Nggak papa kalo kamu nggak inget, yang penting aku inget sama kamu” kata Olivia membuat Varo tersenyum canggung menyesali kapasitas daya ingatnya yang tidak begitu bagus. “Ngomong-ngomong kamu tambah cakep ya, aku kira pas lulus SMA udah berhenti cakep”
“Kamu juga, tetap cantik” balas Varo cepat agak kaget mendengar pujian keluar dari bibir Olivia, memberikan kesan seakan mereka adalah teman dekat yang baru saja bertemu setelah berpisah selama bertahun-tahun.
“Bisa aja kamu, padahal kamu nggak inget aku” kekeh Olivia senang. “Kamu masih main basket?” lanjutnya bertanya, ia bersandar di dinding ketika beberapa orang terburu-buru melewati koridor toilet.
“Udah enggak”
“Kenapa? Padahal kamu keren banget kalo main basket”
“Aku sibuk kuliah” jawab Varo. Olivia mengangguk kemudian tanpa permisi tangannya naik menyentuh bahu kiri Varo.
“Bahu kamu udah nggak papa kan?” tanyanya membuat Varo bingung. “Kamu dulu kan pernah cedera pas tanding basket, sampai pakai gips lagi”
“Udah nggak papa kok.”
Varo memang bukan pengingat yang baik, tapi ia tidak akan pernah lupa kejadian mengerikan beberapa tahun silam ketika bahu kirinya cedera parah dan hampir membuatnya harus berhenti bermain basket. Tapi anehnya, sekarang, ketika ia mendengar orang asing bertanya sembari melemparkan ekspresi peduli pada kejadian itu, Varo merasa ada sesuatu yang merayap naik ke dalam hatinya, seperti perasaan senang yang tidak berujung.
“Aku dulu taruhan sama temen aku, kalo kamu nggak jadi kapten basket lagi gara-gara cedera bahu, pasti tim sekolah kita kalah. Eh taunya berapa bulan kemudian bahu kamu sembuh. Aku senang” cerita Olivia ringan. Pandangan Varo berubah serius, mendadak banyak pertanyaan menarik muncul dibenaknya tentang Olivia. Seperti apa sosok Olivia saat SMA dulu? Sejauh apa ia mengenal Varo Beberapa pertanyaan lain juga terus datang silih berganti di benaknya, membuat Varo terdiam bagai orang bodoh menatap Olivia. Pesona cewek itu mampu membuat lidah Varo mendadak terikat tidak mampu untuk menanyakan apapun.
“Oliv!” Panggilan keras seseorang dari ujung koridor membuat keduanya berpaling, tampak seorang teman Olivia memanggilnya sembari memberikan kode untuk pergi ke tempat lain.
“Aku balik duluan ya, temen aku udah nungguin” kata Olvia tersenyum kikuk kemudian melangkah pergi, tapi baru tiga langkah tubuhnya kembali berbalik ke arah Varo. “Kalau ketemu lagi, kamu mau makan bareng nggak?”
“Boleh” angguk Varo balas tersenyum tidak berniat untuk menolak ajakan itu. Olivia melambaikan tangan kemudian melangkah pergi bersama temannya. Varo menarik napas dengan perasaan senang, ia merasa seperti ada kupu-kupu kecil terbang di dalam perut sehingga menimbulkan sensasi geli. Baru pertama kali Varo merasa bahagia berbicara dengan seorang cewek asing, mungkin karena dimata Varo Olivia itu cantik sekali, jadi tidak ada alasan bagi Varo untuk tidak merasa tertarik. Tapi sesaat kemudian senyum Varo menghilang ketika menyadari sesuatu. “Sial! gue lupa minta nomornya.” Dan begitu Varo melangkah mencari Olivia, ia sudah tidak menemukan cewek itu, bahkan Varo sampai menyusuri semua sudut ruangan. Seakan Olivia sudah menghilang ditelan pusaran bumi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments