Mr. Bully
“Weh Varo bangun, kuliah! Ngorok mulu lu kayak kuda nil!"
Varo berdecak tidak senang ketika Bima masuk ke kamarnya tanpa permisi. Cowok bertubuh gempal itu menarik paksa kaki Varo sampai tubuhnya turun ke lantai. Mata kanan Varo melirik Bima sinis, tapi setelah itu ia kembali cuek meringkuk di atas lantai sementara Bima mondar-mandir memakai pomade dan menyemprot parfum ke seluruh tubuhnya, syuuuu bahkan kaos kaki Bima ikut terkena parfum.
“Lu kelas nggak?”
“Skip, gue titip absen”
“Yaudah, mana kartu mahasiswa lu?”
Sejak tiga semester lalu, sistem absen kampus mereka mulai menggunakan tapping kartu ID mahasiswa. Aturan ini dilakukan dengan harapan tidak ada lagi mahasiswa yang berani titip absen, tapi faktanya tetap saja ada makhluk seperti Varo yang jauh lebih pintar untuk menitip kartu ID kepada temannya sementara ia tetap tertidur lelap di kosan.
“Di dalam tas.” Mata Varo terpejam tetapi tangannya menunjuk tas hitam di pojok dekat pintu. Ia kemudian menarik selimut dari atas tempat tidur, membiarkan Bima mengubek-ngubek isi tasnya.
“Buset bau banget tas lu, pernah ada bangkai ya disini?” dengus Bima bersin-bersin mengambil kartu ID Varo lalu melangkah keluar, membiarkan sang pemilik kamar kembali tertidur pulas melanjutkan mimpinya menjadi mahasiswa berprestasi dalam tidur.
Sekitar pukul sebelas siang suara ponsel membuat Varo terjaga dari tidur. Tangannya bergerak mencari benda berisik itu dan memaksa matanya untuk terbuka lebar, ada panggilan masuk dari Arini pacarnya.
“Kenapa?” Suara serak Varo membuat kening Arini berkerut dari seberang, ia tahu pacarnya baru bangun tidur.
[Kamu masih tidur ya?]
“Hmm..enggak”
[Bangun ih, kamu kan ada kelas pancasila, katanya kemarin mau rajin masuk kelas, kok belum bangun? gimana sih kamu? ntar ngulang kelas baru tau rasa!] omel Arini tidak percaya. Varo mengangguk-angguk melirik jam weker, kelas pancasila akan dimulai tiga puluh menit lagi. [Bangun Alvaro! Mandi! Kuliah!]
“Iya, ini lagi otw. Udah dekat indomaret” balas Varo setengah terpejam. Ia buru-buru mematikan sambungan telepon dan bergegas mengambil handuk untuk mandi, hampir terpeleset di dekat pintu dapur karena ada Tigor karyawan swasta berumur tiga puluh lima tahun duduk jongkok sibuk menyemir sepatu.
“Wih tumben mau mandi, kesambet apa ente?” nyinyir Tigor nyaring persis seperti ibu-ibu julid ketika melihat anak tetangga bangun siang.
“Karl Marx” jawab Varo sembarangan berlari masuk ke dalam kamar mandi, langsung jebar jebur mandi seenak sendiri dan setelah itu keluar dengan handuk melilit di pinggang dengan jangka waktu kurang dari lima menit.
Tigor melongo keheranan. “Buset, lu mandi apa ngeludah diri sendiri sih? cepet bener”
“Yang penting mah basah” balas Varo cuek masuk ke dalam kamar buru-buru mengenakan pakaian dan keluar setelah meraih tas dekil dan kunci motor. Sempat bertemu Mang Idris pembersih kosan buaya sibuk menyapu kosan.
“Rapi bener lu tong kayak tukang kredit” tegur Mang Idris. Varo nyengir lebar tidak menjawab, ia sibuk mencari kaos kakinya yang dipinjam Bima semalam.
“Varo, ntar pas pulang titip rujak depan warung Mang Alih ya. Bengkoangnya dibanyakin” teriak Tigor dari dapur. Varo tidak menjawab, ia berlari keluar menyalakan mesin motor dan tancap gas menuju kampus. Tidak butuh waktu lama bagi Varo untuk sampai di kampus karena letak kos dan kampusnya masih berada di satu daerah yang sama. Varo memarkirkan motor dan berlari memasuki koridor utama, tubuhnya bergerak gesit menyelip diantara lalu lalang mahasiswa yang baru selesai kelas atau yang juga terburu-buru berlari karena hampir telat di kelas berikutnya.
“Bebek aja antri!” sindir seorang cewek ketika Varo tanpa permisi memotong antrian cewek itu masuk ke dalam lift. Varo hanya nyengir dengan ekspresi masa bodoh karena jam tangan menunjukan ia sudah telat sepuluh menit. Wajah Varo muncul dari balik kaca pintu masuk, matanya menangkap sosok dosen pancasila sibuk berbicara dengan seorang mahasiswa di depan kelas. ‘Aman’ gumam Varo dalam hati langsung menyelinap masuk.
“Wah jam berapa ini?!” teriak Dimas tiba-tiba dari kursi belakang membuat semua perhatian tertuju ke arah Varo.
‘Brengsek!’ maki Varo tahu Dimas sengaja berteriak agar dosen pancasila menotice kedatangannya dan benar, ekspresi Pak Pangaribuan berubah begitu melihat Varo, kening dosen tua itu berkerut dengan tatapan tajam.
“Kamu kenapa telat?” tanya Pak Pangaribuan tenang tapi jelas mengisyaratkan bahwa jawaban Varo menentukan nasibnya di kelas itu. “Kamu tahu tidak kelas saya dimulai pukul 11.30? Apakah kamu tidak memiliki jam?”
“Maaf pak, saya punya jam tapi tadi mati” jawab Varo kumat gilanya, sekelas cekikan geli.
Pak Pangaribuan mendengus. “Siapa nama kamu?”
“Alvaro Wijaya pak”
“Duduk sana, minggu depan kalau telat lagi kamu tidak usah masuk mata kuliah saya”
“Iya maaf pak, tidak akan saya ulangi lagi, makasih pak” jawab Varo sopan melangkah ke arah belakang, tangannya meninju bahu Dimas yang tertawa geli.
“Bajingan lu!” umpat Varo pelan duduk di sebelah Dimas. Selama tiga puluh menit kemudian matanya menatap bosan ke arah Pak Pangaribuan yang sibuk menerangkan materi sambil sesekali berdebat dan berdiskusi dengan mahasiswa di barisan depan, jauh berbeda dengan para calon cendekiawan di barisan belakang, wajah-wajah suntuk jelas menunjukkan pergi kuliah hari ini adalah salah satu kegiatan yang dilakukan agar tidak gabut di rumah.
“Lu tau nggak? maba-maba disini kurang ajar, masa tadi Nando masuk disalam, dikira dosen” cerita Dimas tiba-tiba. Varo spontan cekikikan geli sementara Nando mendengus pura-pura tidak mendengar. Kelas pancasila adalah salah satu mata kuliah umum yang dapat diambil oleh mahasiswa di semester berapa pun, seperti sekarang misalnya Varo yang berada di semester tujuh sekelas dengan adik tingkat semester awal. Tapi berhubung Nando sudah tiga kali cuti kuliah dan wajahnya berjenggot ala kambing gunung, penampilan cowok itu justru terlihat lebih mirip rektor dibandingkan mahasiswa. Bahkan terkadang seringkali ada adik tingkat salah mengira Nando sebagai satpam kampus.
“Entar malam ke club yuk” ajak Dimas.
“Dalam rangka?"
“Mau ngerayain Agung habis disunat pas liburan bulan kemarin” jawab Dimas serius.
“Agung udah sunat? Bukannya pas idul adha besok?”
"Dipercepat pas liburan semester kemarin, katanya malu kalau ke kampus harus pake sarung"
"Ah paling diketawain sama mahasiswa lain, dikira orang gila" balas Varo kalem.
Dimas ketawa geli. "Kata Agung kemarin motongnya susah, hampir kepleset, makanya malam ini mau syukuran keberhasilan sunatan Agung"
"Udah kayak motong kerbau aja" sambung Nando dari samping.
"Ah lu nggak tahu sih, punya Agung bentuknya zig zag gue sempat ngintip kemarin" canda Dimas membuat Nando ketawa ngakak, spontan ia menjadi pusat perhatian sekelas.
“Iya itu mas yang di belakang kenapa? Kamu tidak setuju sama statement saya?” tanya Pak Pangaribuan heran.
“E-enggak kok pak, saya setuju”
“Setuju ya?” Mata Pak Pangaribuan menyipit dengan pandangan curiga. “Coba kamu jelaskan kenapa kamu setuju?”
Otak Nando mendadak beku, tidak siap dilempar pertanyaan menjebak seperti itu. Matanya melirik kiri kanan meminta bantuan tapi tidak ada satupun temannya yang terlihat ingin membantu, mereka justru sibuk menahan tawa dari balik punggung orang yang duduk di depannya.
“Emm….itu, anu…. anu pak… anu….saya" gagap Nando masih berpikir keras, wajahnya jelas menunjukan ia sama sekali tidak mengerti materi apa yang disampaikan Pak Pangaribuan hari ini. “A-anu...saya”
“Ya, anu kamu kenapa? Ada yang salah dengan anu kamu?” kejar Pak Pangaribuan membuat sekelas langsung terbahak keras sementara Nando melemparkan tatapan melongo.
......................
“Woi! Beli risol gue dong.” Bima menaruh kardusnya du atas meja kantin melemparkan tatapan memaksa. "Astaga cantik banget Arini, harum lagi” puji Bima ada maunya langsung mencium-cium rambut Arini.
“Pacar gue” tegur Varo menjauhkan Arini dari Bima.
“Iye..iye tau. Sensitif lu macam bapaknya Arini” dengus Bima. “Yang beli risol, akan gue bawa harapan kalian dalam doa gue tiap malam”
“Marketing lu nggak bekerja Bim. Lagian Tuhan sibuk, nggak punya waktu buat ngeladenin elu” teriak Dimas nyaring dari samping.
"Babi" maki Bima.
“Berapa risol lu?”
“Dua ribu”
“Buset mahal amat. Mana ukurannya kecil lagi, gedean jempol kaki Varo mah ini. Udah gitu warnanya kurang orens, nggak niat nih yang goreng. Asal ngerjain yang penting jadi, jatuhnya makan uang haram” ujar Dimas cerewet memilih-milih risol yang bagus, sesekali diterawang risol Bima sampai pemiliknya jadi sewot sendiri menarik risolnya kembali.
“Risol gue mahal karena digoreng pakai minyak bumi Arab” bentak Bima ketus lalu memaksa Jaya yang kebetulan lewat di situ untuk membeli risolnya. “Bapak lu caleg kan? Kebetulan kakek gue masih menjabat sebagai ketua RT, ntar gue bilang ke kakek biar warga RTnya milih bokap lu. Ayo beli risol gue”
“Sialan lu! Kakek lu kan tinggal di Solo, bokap gue nyaleg di Jakarta, mana nyambung!” maki Jaya terpaksa membeli risol karena tampang Bima sudah jelas menunjukan ia tidak menerima penolakan.
“Haram tau ngambil duit hasil paksaan gitu” kata Arini sambil menyodorkan uang sepuluh ribu. “Risol lima biji. Sayang kamu mau nggak?” tanya Arini, Varo menggeleng membuat Bima mencibir.
“Dibayarin malah nggak mau. Dasar cowok aneh. Beli yang banyak dong, buat dana acara organisasi gue nih.”
“Lima udah cukup, ntar kalo kebanyakan gue kena radang lagi”
“Alah kalo radang minum air hangat juga sembuh. Lagian ada Varo siap siaga buat beliin lu obat.”
Arini tertawa geli. “Organisasi lu ada acara apa sih? Perasaan dari semester kemarin lu rajin bener jualan risol” tanyanya menyadari setiap semester Bima selalu berjualan sesuatu untuk mencari dana. Entah berapa banyak organisasi atau acara organisasi yang ia ikuti, tapi di kampus Bima jauh lebih mahir berjualan risol dibandingkan menjelaskan tentang bagaimana strategi manajemen perusahaan dalam memberikan keuntungan bagi investor.
“Wedding ketua organisasi” dengus Bima sembarangan. “Brengsek emang ketua organisasi. Gue masuk organisasi kan niatnya mau nyari pengalaman dan memperluas koneksi, eh malah disuruh jualan risol”
“Lu makanya jangan kebanyakan ikut organisasi. Ntar UAS lu keteteran, waktu lu habis buat jualan risol” tegur Sandra, cewek berambut pirang itu menatap Bima kasihan.
“Calon rektor mah gitu. Ikut organisasi lebih dari satu, biar koneksinya luas” sindir Dimas. Bima tersenyum pahit, hanya bisa menatap nelangsa kearah risol-risolnya, tetapi kemudian senyumnya berubah cerah begitu melihat Ete mendekat dengan buku tebal teori akuntansi dalam pelukan.
“Aduh Ete cantik, jangan bawa yang berat-berat dong, sini abang bawain” kata Bima buru-buru mengambil buku Ete dan mempersilahkan cewek itu untuk duduk. “Panas ya jalan dari kelas ke kantin? sini abang kipas,mau pakai bibir atau buku?”
“Lu kipasin gue pake bibir, gue tonjok lu” ancam Ete ketus. Bima nyengir lalu mengipas Ete dengan bukunya. “Lu pasti ada maunya kan Bim?”
“Tau aja sih lu. Udah cantik peka lagi. Ini alasan kenapa gue cinta sama lu. Beli risol gue dong, gue malas banget mau nawarin kemana-mana” cerocos Bima langsung menyodorkan risol.
“Ye elu maunya duit doang tapi nggak mau usaha”
“Lah kan gue nawarin elu beli termasuk usaha”
“Bim, mau tau caranya dapat duit tanpa jualan risol nggak?” cetus Agung tiba-tiba bersuara. Bima melemparkan tatapan tertarik. “Jual diri ke tante-tante”
“Tolol, itu mah intinya jualan juga” tawa Dimas terdengar paling kencang. “Tapi emang tante-tante mau sama Bima? Kan terakhir kemarin waktu lagi gitu-gitu yang keluar cuman angin, bunyinya puuss"
“Ih kalian mulutnya, mesum banget!” geleng Arini ketika teman-temannya tertawa geli, ia berpaling pada Varo. “Rambut aku berantakan nggak?”
“Enggak”
“Make-up?”
“Kamu pake make-up?”
Mata Arini membulat kesal. “Kamu mah gitu, aku potong rambut aja kamu nggak notice loh. Malah Dimas yang notice, kamu itu pacar aku atau Dimas yang pacar aku?”
“Aku pacar Dimas” celetuk Varo santai.
Arini nyengir tapi tidak berkata apapun. Sifat cuek Varo memang permanen dari lahir, bahkan meskipun mereka sudah berpacaran selama tiga bulan cowok itu tidak berubah. Arini pernah bertengkar hebat dengan Varo karena Varo memblokir nomornya ketika sedang bermain PS dua hari dengan Dimas, dan korbannya adalah ponsel Bima yang terus berdering sepanjang hari menerima panggilan masuk dari Arini. Jadi percuma saja kalau mengajak cowok itu berdebat karena masalah make up.
"Pulang bareng ya, aku mau singgah di gramedia sebentar" kata Arinj.
Varo mengangguk singkat sebagai jawaban, tangannya bergerak mengelus-elus pelan rambut Arini. Tanpa banyak bicara Varo menyandarkan keningnya ke bahu Arini, hanya sebentar, lalu mengecup pelan bahu cewek itu, membuat jantung Arini seakan ingin loncat dari tempatnya. Ini alasan kenapa Arini tidak bisa melepas Varo, sebrengsek-brengseknya cowok itu tapi Varo tahu benar bagaimana cara memperlakukan Arini dengan manis.
“Aku ke kelas sekarang” kata Arin melirik jam tangan lalu mengajak pergi Sandra dan Ete.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments