"Damar... Damar...!" Bu Reva menuruni anak tangga bersama suaminya. Mereka kemudian melangkah ke ruang makan.
Bu Reva menghampiri Mbak Asih yang sedang berada di dapur.
"Mbak Asih. Lihat Damar nggak?" tanya Bu Reva.
Mbak Asih menggeleng.
"Saya tidak tahu, di mana Tuan muda. Tapi kata Non Syanum, Tuan muda pergi sejak semalam."
"Apa! pergi sejak semalam?" Pak Damar terkejut saat mendengar penuturan Mbak Asih. Pak Damar buru-buru melangkah ke arah Mbak Asih dan istrinya.
"Ma, apa mama tahu dengan kepergian Fabian semalam?" tanya Pak Damar penuh selidik.
"Semalam Fabian memang pergi Pa. Tapi, mama nggak tahu, kemana dia pergi."
"Kenapa mama biarkan Fabian pergi dan meninggalkan Syanum. Lalu, sekarang di mana Syanum?"
"Syanum ada di depan Tuan. Sama Pak Herman ayahnya," jawab Mbak Asih.
"Saya harus temui Syanum."
Pak Damar buru-buru melangkah pergi untuk menemui Syanum menantu barunya.
"Syanum," ucap Pak Damar.
Syanum yang sejak tadi masih mengobrol dengan ayahnya menoleh.
"Tuan, ada apa Tuan?" tanya Syanum.
"Apa benar, Fabian pergi sejak semalam?" tanya Pak Damar.
Syanum diam. Dia hanya bisa menunduk sedih.
"Syanum. Kenapa kamu tidak bilang sama saya kalau Fabian pergi."
"Maaf Tuan. Tuan Fabian pergi tengah malam. Dan sepertinya dia pergi dalam keadaan marah. Saya tidak berani untuk melarangnya," Syanum menjelaskan.
"Astaga Syanum. Jadi Fabian pergi meninggalkan malam pertama kalian?" Pak Damar mengusap wajahnya kasar.
"Tuan Damar, Saya tahu kondisi hati Tuan muda. Sekarang, hatinya pasti sangat hancur dan terluka. Karena wanita yang dicintainya pergi meninggalkannya. Lebih baik, anda biarkanlah dia dulu. Jangan terlalu memaksa Tuan muda untuk segera menerima Syanum," ucap Pak Herman.
Pak Damar menatap Pak Herman lekat.
"Jangan panggil saya Tuan lagi Herman. Sekarang kita itu sudah menjadi besan."
Pak Herman menyeringai. Dia sama sekali tidak pernah menyangka sebelumnya, kalau dia akan menjadi besan orang kaya raya seperti Pak Damar.
"Iya Pak Damar. Saya sampai lupa kalau sekarang saya sudah besanan dengan bapak," ucap Pak Herman.
"Untuk kamu juga Syanum. Panggil saya papa, seperti Fabian. Karena sekarang kamu menantu saya."
"Iya Pa. Aku akan mencoba membiasakan diri untuk memanggil anda papa."
Di teras depan rumah, Bu Reva menatap suaminya tajam. Entah apa yang sedang dia fikirkan sekarang. Raut wajah Bu Reva, seakan tidak menyukai Syanum. Mungkin, karena yang Bu Reva harapkan selama ini, punya menantu seperti Mentari.
Gadis yang selalu berpenampilan modis, cantik, anggun, dan feminim. Berbeda dari Syanum yang selalu berpenampilan sederhana dan tidak secantik Mentari.
'Duh, kenapa Syanum harus jadi menantuku sih. Aku tidak suka sama dia. Dia sangat kampungan. Dan penampilannya juga nggak banget deh.'
****
"Fabian, bangun Fabian." Pak Riko mencoba untuk membangunkan Fabian yang masih terlelap di sofa ruang tamu rumahnya.
Fabian mengerjapkan matanya dan menatap keseliling. Dia kemudian beringsut duduk.
"Fabian, kamu harus pulang. Pasti sekarang orang tuamu sangat mengkhawatirkan mu Fabian."
Fabian mengucek matanya. Dia kemudian menatap Pak Riko.
"Eh, Om Riko. Udah jam berapa ini Om," tanya Fabian.
"Sudah jam sembilan."
"Apa! jam sembilan?"
"Iya. Makanya sekarang kamu harus pulang ke rumah. Kasihan orang tua kamu. Pasti sekarang mereka sangat mengkhawatirkanmu. Ponsel kamu juga kamu matikan kan ?"
Fabian mengangguk.
"Itu, Om sudah siapkan kamu sarapan di meja makan. Sebelum pulang, kamu makan dulu ya."
Fabian menggeleng. "Nggak usah repot-repot Om. Saya juga mau langsung pergi untuk mencari Mentari. Apa Om juga mau lapor polisi?"
"Iya. Tapi nanti Fabian. Om akan mencari Mentari dulu. Kalau nggak ketemu-ketemu juga, nanti Om akan lapor polisi."
"Ya udah Om. Kalau begitu, aku pamit dulu ya."
Fabian kemudian mencium tangan ayah Mentari. Setelah berpamitan, Fabian pun melangkah ke luar rumah Mentari. Fabian menaiki motornya kembali dan melaju untuk mencari Mentari.
Fabian sudah berkeliling Jakarta untuk mencari keberadaan Mentari. Fabian menghampiri tempat-tempat yang biasa Mentari datangi.
Seperti mall, cafe, restoran, salon, taman, namun dari semua tempat-tempat itu, Fabian tidak menemukan keberadaan Mentari.
"Kemana kamu Mentari. Kamu sudah membuatku benar-benar gila...!" Fabian sudah hampir putus asa karena dia tidak bisa menemukan keberadaan Mentari.
Sore hari, Fabian masih dalam perjalanan pulang menuju ke rumahnya. Setelah lelah mencari Mentari, Fabian memutuskan untuk pulang ke rumahnya.
Sesampai di depan rumahnya, dia menatap ke arah seorang wanita yang sedang menyiram bunga di depan rumah. Ya, dia Syanum istrinya sendiri. Wanita yang sudah Fabian nikahi kemarin.
Syanum menoleh ke arah suaminya. Dia tersenyum dan mendekat ke arah suaminya.
"Tuan muda," ucap Syanum.
Fabian hanya diam. Dia tidak memperdulikan Syanum. Jangankan bicara pada Syanum, meliriknya saja Fabian enggan. Fabian malah pura-pura tidak melihat Syanum.
Fabian berlalu pergi meninggalkan Syanum. Dia melangkah menuju kamarnya.
"Fabian. Dari mana aja kamu?" Bu Reva melangkah menghampiri anaknya.
Fabian menoleh ke arah Bu Reva.
"Mama."
"Apa kamu tahu, kalau semalam mama sangat mengkhawatirkan mu. Sebenarnya kamu ke mana aja sih Fabian? di telpon, hape kamu juga mati."
"Maaf Ma. Aku semalam nginap di rumah Om Riko."
"Apa? untuk apa kamu ke sana."
"Aku mau memastikan kalau Mentari itu ada di rumahnya atau dia memang pergi dari rumah. Tapi ternyata dia memang benar-benar pergi. Om Riko juga sangat mencemaskannya. Karena Mentari itu perginya tanpa pamit," jelas Fabian.
"Duh, mama sebenarnya juga khawatir sama Mentari. Dia itu cinta banget sama kamu Fabian. Tapi kenapa dia bisa pergi begitu aja ya. Mama yakin, Mentari pergi pasti dia punya alasan sendiri."
"Mungkin ya Ma."
Bu Reva menatap anaknya. Wajah Fabian tampak agak kehitam-hitaman.
"Fabian. Kamu habis panas-panasan ya?"
Fabian mengusap wajahnya.
"Iya Ma. Sejak tadi pagi, aku muter-muter mencari Mentari. Tapi nggak ketemu-ketemu juga."
"Ya ampun Fabian, kamu ini ya. Sebegitu cintanya ya kamu sama Mentari. Sampai-sampai kamu muter-muter mencarinya. Kalau nggak ketemu ya udahlah. Kita laporkan ke berita orang hilang saja. Gampang kan."
Sejak tadi, Syanum masih memperhatikan suami dan mertuanya dari kejauhan.
"Aku tahu, kalau Tuan muda itu cinta banget sama Non Mentari. Mana mungkin Tuan muda mau denganku yang cuma gadis kampung," gumam Syanum.
Syanum kemudian melangkah pergi ke arah dapur. Dilihatnya Mbak Asih sedang sibuk di dapur.
"Aku bantuin ya Mbak Asih."
Mbak Asih tersenyum.
"Non, kenapa malah mau bantuin Mbak di sini. Suami kamu kan sudah pulang. Sana, temui suami kamu."
Syanum diam. Wajahnya terlihat murung. Mungkin itu semua karena Fabian yang tidak mau menyapanya. Syanum tidak tahu, akan sekuat apa dia bertahan menghadapi sikap dingin suaminya.
"Non, kok malah diam. Ngomong-ngomong, Tuan muda dari mana sih? semalaman kenapa dia nggak pulang ke rumah?"
"Yang aku dengar barusan, Tuan muda baru pulang, dia habis mencari Non Mentari, muter-muter Jakarta."
"Duh, Non Syanum yang sabar ya. Mbak Asih yakin, kalau suatu saat nanti, Tuan muda pasti bisa kok mencintai Non. Kalau Non mau sabar dan mau mengambil hati Tuan muda."
Syanum tersenyum.
"Mengambil hati Tuan Fabian? gimana caranya?"
"Itu mah gampang. Nanti Mbak Asih ajarin cara-cara untuk menyenangkan hati suami."
Syanum tersenyum.
Pernikahan itu sudah terlanjur terjadi. Syanum tidak bisa menolak takdir untuk menikah dengan anak majikannya. Dia pun juga tidak ingin cerai begitu saja dengan Fabian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments