Chapter 2

Chapter 2

"Sekar!" Aku berlari ke arah putri ku yang melotot tajam ke arah depan nya.

Aku mendekap sekar dengan sekuat mungkin, sembari melihat ke bawah tempat wanita itu terbaring dengan banyak nya darah.

"Sekar, sadar, Nak! " Seru ku sembari menguncang guncangkan tubuh sekar yang mulai kaku.

Tangan Sekar terangkat ke udara, seperti mengisyaratkan jangan.

Mata nya mulai melihat ke atas. Seperti akan terbalik. Tubuh nya semua kaku, seperti nya dia sudah mulai kumat. Dia sering kali seperti ini, jika melihat sesuatu yang berbau gaib.

"Sekar, sadar!" Pekik ku.

Semua orang yang berkumpul di sini mulai mengarahkan pandangan ke arah kami, membuat hati ku semakin tak tenang.

"Ibu! " Seru Jenar yang menghampiri ku.

Aku segera menarik tangan Jenar dan menggendong Sekar ke bawah. Pikiran ku kacau, apa lagi tatapan mereka serta mulut yang berkomat kamit seperti membicarakan kami.

Aku berlari, melewati sosok guru yang jatuh dari lantai dua ke lapangan itu. Air mata ku berderai, antara takut dan tak mau menatap nya.

Tak ku pedulikan tangisan dan raungan, serta teriakan mereka di atas sana. Yang jelas aku ingin segera pulang dan membawa putri ku.

Ku dudukan Sekar di jok belakang. Tetapi mata nya masih saja melihat ke atas seperti akan terbalik. Badan nya bahkan masih selalu tunggak kayu.

"Jenar, tolong sadar kan adik mu!" Seru ku yang ketakutan.

Jenar menurut, anak itu langsung membisikkan nama Sekar tepat di telinga nya.

Sedangkan di ujung jalan sana, suara sirine ambulans dan suara sirine mobil polisi terdengar begitu nyaring. Membuat tangan dan kaki ku semakin bergetar hebat.

'Bagaimana nanti jika Sekar ditangkap? Bagaimana nanti jika mereka menyalahkan kan anakku, dan polisi percaya?'

Segala pertanyaan berkecamuk di kepala ku, membuat aku kesulitan untuk bisa berfikir dengan jernih.

Tak ingin ambil pusing, aku segera menaiki motor dan meminta Jenar untuk naik serta.

"Tapi, Bu. Adik badan nya masih kaku, Jenar takut jatuh! " ujar Jenar yang tampak kebingungan ingin naik di belakang adik nya.

"Naik saja Jenar! Nanti pegangan yang kuat baju ibu. Adik juga pegangin!" Seru ku dan langsung diikuti oleh nya.

Jenar memang tipe anak yang sangat penurut, dia tak pernah mempertanyakan apa dan mengapa aku melakukan apa yang aku ucap kan.

Motor ku lajukan dengan kecepatan tinggi. Membelah jalan raya yang penuh dengan keramaian dan aktivitas manusia yang padat.

Dengan sesekali mengusap air mata, aku mencoba mengalihkan semua pikiran Buruk yang akan terjadi ke depan nya.

Setiba nya di rumah, aku segera turun. Sekar sudah terlihat lemas, tetapi dengan mata yang tertutup.

"Bu, adik pingsan! " ujar Jenar lirih, tampaknya sekali mata anak itu berkaca kaca.

"Tidak, apa. Kita bawa masuk! " jawab ku sembari mengutuk kepala nya.

Aku segera menggendong Sekar masuk ke dalam rumah. Menidurkan dia di sofa ruang tengah, dengan hati yang masih tidak tenang.

Jenar langsung lari ke dapur , lalu keluar dengan segelas air.

"Ibu minum dulu, tenang kan pikiran ibu. Nanti Jenar ambilkan minyak kayu putih untuk buat adik siuman! " ujar nya sambil menyodorkan segelas air putih padaku.

Aku mengangguk, dan meraih gelas itu lalu melemparkan senyum pada nya. Gegas aku menegak air itu hingga tandas.

Jenar lalri lagi masuk ke dalam kamar. Lalu kembali dengan sebotol minyak kayu putih.

Ia segera menguapkan minyak itu ke hidung Sekar. Tetapi ia sama sekali tak ada pergerakan.

"Adik dikeluarkan dari sekolah, Nak! " Ujar ku sembari mengambil alih minyak itu.

Tampak ia menatap ku dengan tatapan tak percaya.

"Karena apa, Bu?"

"Sama seperti kemarin!" jawab ku lirih.

Ia tampak menarik nafas dalam, lalu menggenggam tangan ku erat.

"Ibu jangan sedih, ya. Jenar juga gak apa ikut pindah. Jenar janji, bakal jaga adik sebaik mungkin! " ujar nya yang tampak sekali berusaha menenangkan ku.

"Kamu nggak perlu pindah, sayang. Satu semester lagi kamu bakal lulus. Sayang kalau harus pindah lagi!" jawab ku sembari mengelus pipi nya.

"Kalau aku nggak ikut pindah, siapa yang jagain adik bu? Selama tiga bulan di sekolah baru, adik banyak sekali mendapat musuh. Jenar takut, nanti adik kenapa kenapa! " sahut nya dengan wajah tertunduk.

"Musuh?" Ulang ku tak percaya. Sebab, mereka berdua sama sekali tak pernah bercerita tentang ini.

"Sebenarnya, dari awal kami masuk sekolah itu, Sekar sering kali di buli teman teman nya , Bu. Karena dia bisu. Dari situ, adik tidak punya teman.

Jenar yang kelas nya ada di lantai tiga, tidak bisa mengawasi adik yang ada di lantai dua, tetapi adik selalu bilang, kalau dia punya teman perempuan.

Teman itu yang bantu adik ketika di buli sama teman nya. Hingga anak anak yang membuli adik sering sekali kesurupan, atau bahkan samapai sakit esok hari nya! " Jelas Jenar yang membuat jantung ku berdegup dua kali lebih cepat.

"Kamu serius, Nak? " tanyaku memastikan.

"Serius, Bu. Bahkan adik bilang, kalau teman nya itu ikut dia ketika pulang. Maksudnya, teman nya itu ada di rumah ini sekarang! "

Deg!

Ya Allah kelebihan macam apa ini? Kenapa kelebihan ankku justru membawa petaka. Bagaimana nasib Sekar nanti jika dia tidak sekolah. Apakah masa depan nya akan baik nanti?

Hari sudah mulai petang, setelah mengajak Jenar salat maghrib bersama, aku memilih untuk segera masuk ke dalam dapur.

Menyiapkan makanan karena tak lama lagi Mas Damar pulang.

"Bu, kok adik belum bangun, ya? " tanya Jenar di ambang pintu, dengan suara datar nyaris tak ada nada.

"Mungkin masih lelah. Kamu kan hafal bagaimana adik mu kalau habis melihat kejadian! " jawab ku tanpa menoleh ke arah nya.

"Kalau adik nanti bangun, aku boleh ajak main ke belakang rumah? " tanya nya lagi.

"Bolehlah, Nak. Tapi, besok ya. Ini sudah malam! " jawab ku singkat.

"Justru malam ini, saat yang tepat untuk main petak umpet! " jawab Jenar yang seketika membuat tangan ku berhenti berkutat.

Alis ku bertaut, dengan mata menyipit. Mencerna setiap ucapan yang dikatakan Jenar barusan.

"Maksud Ka.... " Ucap ku terjadi, kala aku berbalik menatap ke arah anak ku yang tengah berbicara tadi, tapi tak ada siapa pun di sana.

Aku terdiam sesaat. Sebelum akhirnya pikiran buruk melintas cepat di benak ku.

Aku bergegas lari masuk ke kamar anak anak. Melihat apakah ke dua putri ku masih disana.

Dengan dada naik turun akibat perasaan yang tidak menentu, aku membuka knop pintu dengan kasar.

Braaakkk!

"Sekar! Jenar! " pekik ku bingung kalau tak mendapati mereka di kamar nya.

Aku segera berlari ke teras rumah. Biasanya mereka akan menunggu bapak nya pulang di kursi teras sini, tetapi masih tak ada.

Pikiran yang mulai kacau, membuat aku menarik rambut ketakutan.

Aku kembali berlari ke arah pintu belakang mencari mereka di kebun sayuran kecil yang aku rawat selama tinggal disini.

Sayangnya masih tak ada siapa pun disini, bahkan lampu yang di pasang di tengah kebun juga padam.

Aku membekap mulut ketakutan. Kebingungan harus mencari kemana anak anak itu.

"Sekar! Jenar! Kalian dimana, Nak?! " aku menyandarkan tubuh ke dinding dapur, lalu merosot ambruk ke lantai.

Menangis sesegukan sembari memeluk lutut ini. Bagus ku berguncang hebat.

"Yanti! Sayang! Kamu kenapa? " tanya Mas Damar yang entah sejak kapan dia ada di rumah ini.

"Mas Damar! " pekik ku sembari bangkit dan memeluk nya.

Aku menumpahkan segala rasa sedih ku pada nya. Mengeluarkan semua air mata di pelukan nya.

"Tenang, sayang. Tenang, ya. Ada apa? " tanya nya lagi dengan nada yang mencoba ingin membuat ku tenang.

Ia melonggarkan pelukan dan memegangi pipi ku pelan. Sembari menatap ku dengan tatapan bertanya.

"Ada apa, katakan pada Mas! " ujar nya lembut. Sungguh ketenangan yang mampu membuat ku luluh.

"Je-Jenar... Jenar sama Sekar hilang Mas! " Jawab ku dengan nada yang gugup.

"Hilang? " ulang nya seolah tak percaya.

"Iya, Mas. Hilang. Mereka hilang! " jawab ku dengan tangis yang kembali pecah.

"Ssttt! Kamu tenangin diri dulu, sayang. Oke! Kita cari pelan pelan!"

Mas Damar menuntunku untuk berjalan mendekati kamar anak anak, lalu membuka knop pintu perlahan.

Betapa terkejut nya diri ini, kala melihat kedua anakku tengah tertidur pulas di ranjang.

"Ta-Tapi Mas . Aku yakin tadi mereka nggak ada disini! " sangalku yang sangat yakin dengan apa yang aku lihat.

"Oke, sayang! Kamu tenang! Mungkin kamu tadi panik dan banyak pikiran, makanya sampai tidak melihat mereka yang tengah tidur di bawah selimut. Coba kita sekarang duduk di kursi, ya. Kamu ceritakan apa yang menjadi beban pikiran mu! " ujar Mas Damar sembari menuntunku keluar dari kamar ini.

Sebelum menutup pintu, aku melihat kembali ke arah kedua anakku itu. Tampak bibir mungil Sekar, bergerak membentuk seulas senyuman yang sulit di artikan.

*****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!