Seorang wanita

"Mengikat jiwa kita? Maksudmu bahkan jika aku memilih untuk bunuh diri, kita akan tetap bersama?"

Tanya Hazel, manik amber miliknya berkilat.

Pria itu menggeleng, diam-diam takjub pada pemikiran pihak lain

"Tidak. Jiwa berbeda dengan nyawa, Hazel. Aku juga belum mati, secara teknis."

Gadis itu bersedekap dan mencibir

"Literally took the sentence 'til death do us apart' in serious way, huh?"

Pihak lain agaknya merasa tidak enak, tapi tetap menjawab

"Maaf kalau aku terkesan memaksa, tapi aku merasa bahwa hanya kau yang bisa membantuku."

"Membantumu? Dengan cara apa?" Hazel bingung.

Pria itu mengalihkan pandangannya ke arah lain, manik tajamnya agak melankolis saat ini, seolah sedang mengenang sesuatu

"Kurasa aku tidak ingin menceritakan soal itu sekarang."

"Hah?"

Hazel hendak bertanya mengenai detail beberapa hal lain, tapi pria ini tiba-tiba menegakkan tubuhnya dengan kaku dan menatap ke arah gerbang

"Ada yang datang."

Dengan cepat pria itu berdiri didepan Hazel, seolah dia bisa melindungi pihak lain dengan tubuh transparan miliknya. Hazel merasa bahwa fenomena ini agak lucu dan mengamati siapa yang muncul dari balik gerbang rumahnya.

Itu adalah seorang wanita.

Pria itu tampak lebih rileks dan menggeser posisinya, menjadi di sebelah Hazel

"Jangan takut. Itu hanya adik perempuanku."

Hazel mengamati wanita yang tampak seumuran dengannya, tapi dia sedang mengenakan baju berwarna cerah dan sepasang sepatu mendaki. Kacamata berbingkai rose gold di hidungnya tampak agak buram karena uap air dari nafasnya, dia tampak sangat kelelahan akibat perjalanan jauh ke rumah ini.

"Permisi ... Selamat siang ... Tolong ..." Wanita tersebut tampak terbata-bata karena kehabisan nafas, bahkan ada beberapa ranting kecil yang bersarang di rambutnya.

Hazel menyambutnya sembari mengambil alih barang bawaan pihak lain yang tampak berat, menggandengnya masuk dan memberinya teh barley

"Minumlah, untuk apa jauh-jauh kemari dengan berjalan kaki?"

Wanita itu menenggak minuman tersebut dengan rakus, dia baru menjawab saat nafasnya sudah agak tenang

"Terimakasih, aku datang kemari untuk mengantarkan barang-barang pribadi untukmu."

Menangkap apa yang dimaksud dengan barang pribadi, Hazel berterimakasih dan menerima bingkisan yang agak besar tersebut. Acre sendiri melayang dan mendekat karena penasaran, tapi dia tidak bisa menebak apa itu.

"Ngomong-ngomong, aku tidak sepenuhnya berjalan kaki. Tapi seperempat perjalanan kemari tidak bisa dilalui dengan kendaraan roda empat, jadi aku tidak punya pilihan" jelasnya.

"Salam kenal, panggil saja aku Erika. Aku adalah adik dari pria yang kau nikahi saat ini, meski agak aneh mengatakannya melalui mulutku sendiri" dia mengulurkan tangannya, Hazel menyambut dengan ramah.

"Salam kenal juga, kau bisa memanggilku Hazel. Memang aneh menikahi seseorang yang bahkan tidak aku tau" dia mengatakan ini dengan ringan, tidak mengekspos keberadaan pria itu di rumah ini.

"Iya 'kan? Aku sendiri juga tidak mengerti kenapa keluarga kami membuat keputusan seperti ini, benar-benar tidak adil untukmu. Apakah kau hidup dengan baik disini, Hazel?" Tanyanya.

"Untuk pertanyaan apakah aku hidup dengan baik atau tidak, kurasa lumayan. Aku tidak kekurangan apapun selain hiburan, jadi aku ingin keluarga kalian mengambil tanggung jawab atas ini."

Erika mengangguk setuju, bagaimanapun juga itu bukan permintaan yang sulit

"Aku mengerti, akan kubelikan ponsel dengan uang Acre."

"Uang siapa?"

"Kakakku, pria yang kau nikahi. Dia bernama Acre Josiah. Tunggu, keluargamu bahkan tidak memberitahu soal ini?!" Erika benar-benar terkejut kali ini.

Hazel menjawab dengan menyeret kata-katanya

"Yah ... Ada sedikit drama."

Dia tidak mengenal pria bernama Acre Josiah ini, tapi dia mengenal keluarga mereka. Lebih tepatnya pamor dan keluarga macam apa orang-orang Josiah itu. Mereka adalah keluarga yang bergerak dalam bidang farmasi atau pengobatan, terus menghasilkan obat dan tonik yang berkualitas dengan sangat sedikit efek samping. Karena itulah keluarga mereka cukup dikenal m, setidaknya di provinsi ini.

"Apakah mereka memaksamu? Bagaimana bisa mereka melakukan ini?" Erika benar-benar merasa tidak enak dan cemas.

Hazel tersenyum kecil dan dengan enteng menjawab

"Secara teknis, keluarga kalian yang memaksaku."

Erika menggeleng keras sebagai penyangkalan

"Ada banyak anggota keluarga Josiah yang tidak menerima keputusan ini, jadi kami sepakat untuk meminta pendapatmu lebih dulu. Kami mengirim seorang pendeta untuk memberkati pernikahan kalian jika kau setuju, kalau kau memilih tidak, maka kami hanya akan meminta pendeta untuk melakukan pembersihan sederhana untuk keluargamu. Siapa yang menduga bahwa ..."

"Bagaimanapun juga, sangat tidak logis memintamu untuk menikahi orang yang sudah mati bertahun-tahun yang lalu hanya karena sebuah mimpi konyol. Apalagi saat kau bahkan tidak mengenal Acre sama sekali" lanjutnya.

"Sudah mati? Lalu kenapa ada banyak pakaian pria disini?" Hazel berpura-pura tidak tau apapun.

Erika masih merasa bersalah dan menatap Hazel dengan pandangan khawatir, tapi gadis itu memberinya senyum tenang agar dia melanjutkan. Jadi Erika mengumpulkan ketenangannya kembali dan mulai menjelaskan

"Sebenarnya aku sendiri tidak yakin apakah Acre benar-benar sudah mati. Lagipula, terakhir kami melihatnya sudah sangat lama sekali."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!