3 jam sebelum kediaman Ye Yang Zen dikepung.
“Pergilah dari kota ini. Pergi sejauh-jauhnya!” pinta Ye Yang Zen pada anak pertama yang kini berusia 7 tahun dengan tatapan serius.
“Bawalah adikmu juga!” ucap Ye Yang Zen sembari menyelipkan kain di pundak anak pertamanya. Lalu menaruh anak keduanya yang masih berumur kurang lebih 1 bulan di kain yang telah di selipkan pada anak pertamanya. Saat ini anak pertama sudah menggendong adiknya di pundak.
“Apa Ayah akan bertarung dengan mereka?” tanya anak pertama dengan suara lirih.
“Ya, Zan Zen tidak usah khawatir pada Ayah. Ketika Ayah sudah memenangkan pertarungan ini. Ayah akan mencari kalian!” Ye Yang Zen menjawab pertanyaan anaknya Ye Zan Zen dengan penuh percaya diri.
“Apakah Ayah pikir aku bodoh? walau umurku terbilang kecil, tetapi otakku sudah dewasa!” Ye Zan Zen menanggapi dengan beteriak sedih. Walaupun umur Ye Zan Zen masih kecil, tapi pemikirannya sudah dewasa.
Ye Yang Zen sebenarnya sudah mengira tidak bisa membohongi anak pertama. Namun, Ye Yang Zen tetap mencobanya karena dia tidak ingin melihat anaknya bersedih. Dia berjongkok lalu melihat anaknya seraya mengelus kepala dan berkata, “Ye Zan Zen adalah anak yang cerdas. Karena anak ayah sudah mengetahuinya maka kamu harus menuruti apa yang ayah katakan ya!”
Ye Zan Zen lalu menatap ayahnya. Tidak lama kemudian, dia menangis. Adiknya yang dia gendong juga ikut menangis seakan mengetahui apa yang sedang terjadi.
Melihat ke dua anaknya yang menangis. Ye Yang Zen memeluk mereka. Dalam hatinya dia tidak tega meninggalkan anak-anaknya. Apalagi Ibu mereka sudah meninggal saat melahirkan anak kedua. Sekarang, ayah mereka juga akan meninggalkan mereka. Memikirkan itu, dia merasa bersalah kepada anaknya karena menjadi ayah yang tidak bisa diandalkan.
“Maafkan Ayah, maafkan Ayah. Ayah tidak bisa menjaga Ibumu. Dan sekarang ayah akan meninggalkan kalian. Maafkan Ayah karena menjadi orang tua tidak berguna.” Ye Yang Zen menangis merasa bersalah.
Mendengar ucapan itu, Ye Zan Zen melepas pelukan ayahnya dengan lembut lalu berkata.“Tidak! ini bukan salah ayah! mereka yang salah! 9 Penyihir Agung yang salah!” seraya menggelengkan kepala.
Ye Yang Zen tetap merasa bersalah walaupun mendengar perkataan Ye Zan Zen. Bagaimanapun 9 Penyihir Agung mengincar keluarganya karena dia. Andaikan dia tidak keluar dari kelompok 10 Penyihir Agung karena menentang merahasiakan sebuah kebenaran pada dunia. Andaikan kekuatannya tidak mengalami penurunan maka 9 Penyihir Agung tidak akan berani berurusan dengan dia. Andaikan dia lebih berhati-hati maka istrinya tidak akan diracuni lalu meninggal saat melahirkan. Mengingat semua itu rasa bersalah Ye Yang Zen semakin besar. Namun, sekarang dia harus fokus untuk menyelamatkan ke dua anaknya.
“Zan Zen, dengarkanlah ayah!” Ye Yang Zen menyentuh kedua pundak anak pertamanya. Tatapan matanya terlihat sangat serius.
“Ketika kamu pergi dari sini. Jangan pergi ke tempat orang yang mengetahui identitasmu karena bisa jadi mereka akan mengkhianatimu. Lebih baik kamu pergi ke tempat yang identitasmu tidak diketahui. Sampai di tempat tujuanmu, hapus nama keluarga kita "Ye". Gunakan "Zen" sebagai nama keluarga atau membuat nama samaran, itu terserah padamu. Jangan ceritakan aku dan ibumu ke adikmu. Jangan ceritakan keluarga kita sebelum adikmu bisa menjaga dirinya. Apakah kamu paham?” Ye Yang Zen memastikan anaknya paham akan perkataannya.
“Baik Ayah, aku akan menuruti semua perkataanmu!” sikap Ye Zan Zen menjawab tegas. Tidak ada kesedihan lagi di nada suaranya.
“Bagus, anak ayah memang cerdas!” Ye Yang Zen memuji anaknya. Melihat sikap Ye Zan Zen menjadi tegas, Ye Yang Zen merasa bersyukur mempunyai anak sepertinya. Walaupun ini perpisahan, dia menjadi tegas dan sangat bisa diandalkan setelah kesedihan sudah dilluapkan seluruhnya.
“Baiklah!” Ye Yang Zen mengusap sisa air mata lalu berdiri. Melihat Ye Yang Zen yang mengusap matanya, Ye Zan Zen juga mengikuti kelakukan ayahnya.
“Sekarang mari berpisah.” Ye Yang Zen mengucapkan dengan nada lirih.
“Baik, Ayah.” Ye Zan Zen menjawab dengan singkat.
Setelah mereka menyiapkan perbekalan. Ye Yang Zen mencium kening anak-anaknya untuk terakhir kali. Dia mengantarkan anaknya ke lorong rahasia yang ada di kediaman. Setelah sampai di depan lorong rahasia, Ye Yang Zen menjelaskan ke anaknya jalur lorong tersebut. Ye Zan Zen mengangguk paham tentang penjelasan ayahnya.
Setelah paham, Ye Zan Zen perlahan-lahan masuk ke lorong. Baru beberapa langkah memasuki lorong, Ye Zan Zen menghentikan langkahnya lalu melihat ke belakang. Dia melihat ayahnya tersenyum untuk terakhir kali. Setelah dia puas memandang senyum ayahnya. Ye Zan Zen kembali menghadap ke depan dan melanjutkan langkahnya. Namun, kali ini semakin lama langkahnya semakin cepat dan akhirnya menjadi berlari.
Punggung Ye Zan Zen yang menggendong adiknya mulai tidak terlihat oleh mata Ye Yang Zen. Saat Ye Zan Zen sudah menghilang dari pandangan matanya. Dia menutup lorong tersebut lalu menyegelnya dengan sihir. Setelah selesai, dia berbalik lalu berjalan ke tengah kediaman. Duduk di kursi yang paling besar dan tersenyum.
“Sekarang, mari buat perhitungan pada para bedebah itu!”
...----------------...
17 tahun kemudian.
“Kak Fex, sebenarnya siapa orang tuaku? kau sudah berjanji akan memberitahuku saat aku berumur 17 tahun. Sekarang aku sudah berumur 17 tahun, jadi beritahu aku!” Aku bertanya kepada Kak Fex.
“Orang tuamu adalah orang hebat Kai.”
Lagi-lagi dia hanya mengatakan ‘Orang Hebat’. Dari aku masih kecil dia selalu menjawab seperti itu. 'Sial, kalau tidak ingin memberitahu tinggal bilang aja!' Aku bergumam dalam hati.
“Huh baiklah, aku hanya menagih janjimu. Aku tidak berharap kau memberitahuku.” Aku menghela napas dan memasang wajah lesu.
“Kekekeke...” Dia terkekeh melihat ekspresiku.
“Daripada kau begitu penasaran. Lebih baik sekarang pergi keluar saja sana!” Kak Fex seakan mengusirku.
“Hmmm, aku baru mau pergi melihat pengumuman siswa yang diterima di Akademi Sihir Satu.” Aku mengubah posisiku dari duduk menjadi berdiri. Berlari menuju pintu keluar.
“Aku pergi, jangan lupa membersihkan semua dengan bersih kak pembantu yang tampan!” Aku menggodanya lalu dengan cepat berlari keluar.
Ngomong-ngomong Kak Fex adalah pembantuku. Aku tidak tahu siapa orang tuaku. Dia yang selama ini merawatku dari kecil. Dia kuanggap sebagai kakakku. Apakah aku penasaran dengan siapa orang tuaku? tentu saja penasaran. Namun, setiap aku bertanya kepada Kak Fex jawabannya selalu ‘Orang Hebat’ sampai aku bosan untuk bertanya. Sebenarnya aku menduga orang tuaku bukan orang biasa, ada rahasia yang besar tentang asal usul diriku dan orang tuaku. Aku memutuskan untuk memecahkan rahasia asal usul orang tuaku. Tetapi, sekarang aku akan fokus untuk menjalani kehidupan anak sekolah.
Sementara itu.
“Hei. Diluar mendung, bawalah payung!” Aku berteriak pada Kai Zen. Sepertinya teriakanku sia-sia, dia sudah pergi dengan cepat setelah menggodaku.
‘Yasudahlah, dasar anak nakal!’ Aku menghela napas.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
🔵🍾⃝Ɲͩᥲᷞⅾͧเᥡᷠᥲͣh❤️⃟Wᵃf࣪ˢ⍣⃟ₛ
perpisahan memang sulit
2023-02-28
1
ㅤ
Umur kecil? Gimana kalau gini kak "--walau umurku masih kanak-kanak, tetapi otakku sudah dewasa!"
2023-02-28
3
Jhuwee Bunda Na Alfaa
ya ampun syg nya, bru stu bulan udah di bawa pergi sma kakak ny
2023-02-04
1