SEPULUH

Edi dengan yakin bisa memukul mundur Erina. "Erina telah melakukan kejahatan luar biasa demi mempertahankan harta keluarga! Dia membunuh ibu dan anak hanya karena tidak ingin membagi harta ayah kandungnya!"

Erina menatap rumit Edi. "Apakah ada bukti saya adalah pembunuh?"

"Ada bukti. Kamu pergi dari rumah setelah mengusir kami semua! Katakan, kamu pergi kemana?"

Jadi, mereka mengirim mata-mata untuk mengawasi rumah?

Erina tidak bisa cerita mengenai keberadaan Adair, dia mengetuk jari di atas meja. Berpikir keras harus menjawab apa.

Edi menunjuk Erina. "Lihatkan, para dewan direksi bisa melihat sendirikan sikapnya. Bocah ini tidak bisa menjawab apa pun!"

Erina menghela napas panjang. "Sepupu, saya masih mencari kalimat yang pas."

Endang dan Dian tertawa mengejek.

Tok! Tok! Tok!

Semua orang menoleh ke arah pintu, Ajeng masuk dan tersenyum ke semua orang dengan nada riang.

"Hallo, saya sekretaris pak Haris. Maaf, agak terlambat karena harus mengambil dokumen di kantor terlebih dahulu."

Haris, Edi, Endang dan Dian terkejut melihat sosok Ajeng. Mereka tidak bisa berkata-kata.

Erina melirik sekilas Ajeng lalu kembali menatap para dewan direksi. "Tidak ada yang istimewa saya kemana, sebagai anak yang kehilangan keluarganya dalam satu waktu pasti membutuhkan ruang sendiri untuk mengatasi kesedihan tapi tidak saya sangka ternyata ada yang berpikiran buruk seperti itu."

Para dewan direksi menatap tajam Edi dan Haris, sementara yang ditatap masih mengatasi syok mereka karena kedatangan Ajeng.

Ajeng menyerahkan dokumen ke Erina. "Nona Erina, tuan Haris sudah berusaha keras menjaga rumah sakit tetap stabil. Jika anda ingin menyalahkan kondisi keuangan rumah sakit, mungkin anda bisa melihat ini."

Erina menerima dan membacanya.

Ajeng menjelaskan ke dewan direksi. "Tuan Haris memang hanyalah saudara tiri tuan besar, dan mengetahui masalah pribadi keluarga Tjokro yang terkenal di kota ini."

Erina diam mendengarkan perkataan Ajeng.

"Sudah menjadi rahasia umum keluarga Tjokro sangat membenci nyonya karena membuat putra sekaligus pewaris Tjokro keluar dari agama dan menikah dengan wanita asing yang tidak memiliki identitas jelas. Keluarga Tjokro akhirnya mewariskan kepada kerabat laki-laki dekat dan hal itulah yang membuat ayah, ibu dan kakak perempuan tuan besar membenci nyonya. Rumah sakit ini adalah bentuk kerja keras tuan dan nyonya, begitu juga sebaliknya."

"Karena itu, kita berikan saja kesempatan ke nona Erina untuk menunjukkan kemampuannya, setelah dirasa tidak mampu baru kita menunjuk pemimpin baru."

Edi menggebrak meja, tidak setuju dengan ide sekretaris dadakan. "KAMU HANYA ORANG LUAR! TIDAK TAHU BAGAIMANA WATAK ERINA YANG SEBENARNYA! KAMI TIDAK MAU RUMAH SAKIT INI HANCUR!"

Ajeng tersenyum. "Tuan Edi, kita bicarakan masalah ini nanti. Tuan Haris, anda setuju bukan untuk memberikan kesempatan terhadap keponakan anda?"

Dian menggeleng tidak setuju. "Ayah, jangan lakukan itu. Erina sudah membuat kerugian banyak, jangan melakukan kerugian lagi."

Erina mendengus keras. "Kalian selalu mengatakan saya membuat kerugian, kerugian apa? Apakah karena ibu dan ayah selalu membelikan barang-barang mewah? Apa salahnya memanjakan keluarga sendiri? Sementara kalian apa tidak bercermin? Dari atas sampai bawah saja harganya sudah mencapai seratus juta."

Edi melirik kesal ibu dan adiknya yang berusaha ikut campur. "Kalian duduk diam saja, tidak ada yang menyuruh kalian bicara!" tegurnya.

Bukannya kesal karena perkataan kakaknya, Dian malah kesal karena Erina menyindir dirinya.

"Kenapa disuruh tutup mulut? Saya hanya ingin tahu, kerugian apa yang sudah saya buat ke kalian berempat?" desak Erina. "Saya tidak mau mendengar tuduhan kosong lagi."

Endang berkomentar. "Erina, kamu telah dimanjakan keluarga selama ini. Jadi tidak tahu apapun, paman kamu memanjakan kami itu wajar karena tidak memiliki tanggungan apapun ditambah Edi sudah memiliki usaha, tapi bagaimana dengan kamu?"

Dian mengangguk setuju. "Orang tua kamu berjuang keras membangun rumah sakit ini, kamu malah menghamburkan uang dengan berbagai macam koleksi"

Kedua mata Erina menyipit curiga. "Kalian masuk kamar orang tuaku?!"

Endang dan Dian terkejut.

Erina berdiri dan melotot marah. "Kalian mengambil koleksi ibu juga?!"

Kelima dewan direksi bergegas menahan Erina supaya tidak menyerang keluarganya sendiri.

"SEDARI TADI KALIAN MENGHINAKU TAPI TERNYATA KALIAN JUGA MENCURI HARTA KELUARGAKU!" teriak Erina dengan kesal. "AKU TIDAK AKAN PERNAH MEMAAFKAN PERBUATAN BEJAT KALIAN!"

Haris menatap kesal istri dan putrinya. "Kalian berdua terlalu banyak bicara."

Endang dan Dian terdiam ketakutan.

Edi membela ibu dan adiknya. "Ibumu telah memberikan semua koleksinya kepada ibuku tanpa sepengetahuan kamu, jadi wajar dia mengambilnya. Kamu sendiri juga punya barang sendiri 'kan?"

Erina tertawa. "Kalian saja berani mengambil boneka teddy bear dan mengosongkan kamar aku, masih mengatakan hal seperti itu?"

Haris membela diri. "Wajar saja kami mengambil barang-barang kamu, kami harus membayar hutang-hutang ayah kamu di luar hutang rumah sakit."

Ajeng merasakan sakit kepala karena kebodohan Haris dan keluarganya, pantas saja dia tidak diakui keluarga Tjokro, ternyata memang orang bodoh!

Wajah Erina memerah karena marah. "BARANG-BARANG BERHARGA ORANG TUA AKU DAN KAKAK AKU. KALIAN JADIKAN MILIK PRIBADI SEMENTARA BARANG-BARANGKU KALIAN JADIKAN PEMBAYAR HUTANG?!"

Haris menatap panik kelima dewan direksi tersisa yang hanya duduk dan mengamati pertengkaran mereka. "Saya tidak melakukan hal seperti itu, Erina masih kecil dan tidak tahu apapun. Jadi dianggap maklum saja, kemungkinan dia syok, hidup seperti putri dan sekarang harus mendengar usahanya brengsek."

Erina tertawa muak.

Ajeng mendorong keluar Haris, Edi, Endang dan Dian setelah mengucapkan beberapa patah kata.

Setelah masuk ke ruang kosong dan kondisi aman, Endang menjadi marah.

"Kenapa kami ditarik keluar? Rapatnya belum selesai!" bentak Endang.

"Mereka jadi menilai kita telah kabur karena kalah." Decak Dian.

Ajeng menatap dingin mereka berempat. "Apakah kalian bodoh? Tuan besar menyuruh saya untuk menjaga dan membantu kalian, tapi tidak saya sangka ternyata kalian sebodoh ini. Pantas saja kalian kesulitan membayar hutang."

"Diam kamu! Pelacur mana mengerti dunia bisnis, sana buka kaki kamu ke pria itu!" bentak Dian.

Ajeng mengabaikan Dian dan menatap lurus Haris. "Ada sepuluh dewan direksi, lima diantaranya membela Erina dan masih setia sementara lima lainnya belum membuat keputusan. Anda telah melakukan hal gegabah dengan mendesak mereka untuk menjadikan anda CEO."

Haris menatap Ajeng. "Aku harus bertahan supaya bisa membayar hutang, ini adalah kesempatan kami sebelum rapat dewan komisaris. Aku harus menunjukkan kepada mereka dalam satu minggu supaya tidak ada yang menggantikan aku."

"Apakah anda tidak tahu salah satu diantara mereka juga menduduki dewan komisaris?" tanya Ajeng.

Haris terkejut. "Bagaimana bisa?"

"Tentu saja bisa, lalu apakah kalian tidak melihat tangan kanan ibu Erina akhir-akhir ini?"

Haris telah melupakan itu, sejak kematian orang tua Erina. Tidak pernah melihat sosok tangan kanan itu.

"Tangan kanan ibu Erina masih tetap datang ke rumah sakit untuk mengawasi, dia menghindari anda."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!