SATU

Dahi Haris bersentuhan dengan lantai marmer dingin, menggigil ketakutan. "Saya minta maaf, tidak bisa membayar utang dalam waktu yang anda tetapkan tapi saya mohon berikan saya waktu."

Adair tidak menjawab dan hanya menikmati makan malam bersama Ajeng dengan meja panjang yang memisahkan mereka berdua.

"Wah, bagaimana caranya kamu bisa membayar hutang? Bukannya kamu hanya anak haram dari keluarga Tjokro?" tanya Ajeng sambil tertawa geli sekaligus menatap Adair dengan tatapan menggoda.

Adair tidak terpikat sama sekali dan hanya menundukkan kepalanya.

Haris mengangkat kepala dan menatap penuh harap Adair. "Saya memang anak haram dan tidak boleh menggunakan nama Tjokro tapi kakak saya jauh lebih dibenci keluarga, selain itu kakak saya baru saja meninggal bersama istri dan anak pertamanya, tidak ada yang mendapat warisan bahkan putrinya pun tidak berhak mendapatkan warisan sesuai wasiat."

Gerakan tangan Adair berhenti.

Haris menjadi salah paham dan kembali meneruskan idenya. "Satu-satunya saudara kandung kakak saya adalah saya, jadi saya lebih berhak dengan harta kakak saya."

Ajeng menertawakan keserakahan pria ini. "Kamu benar-benar pria serakah, merebut harta keponakan kamu sendiri yang sudah yatim piatu?"

"Karena itu, berikan saya waktu untuk membayar semua hutang-hutang ini."

Adair menyipitkan matanya ke Haris. "Kamu akan membunuhnya?"

Haris tertawa licik. "Tentu saja tidak, polisi pasti curiga jika dia tiba-tiba meninggal, aku harus hati-hati dan menikahkan keponakanku dengan pria lain."

Ajeng bisa melihat genggaman erat tangan Adair ke garpu sekilas lalu mengalihkan tatapannya ke Haris. "Rencana bagus tapi beresiko, mungkin saja calon suami keponakan lebih serakah dari kamu."

Haris menggeleng. "Istri saya sudah mencarikan pria yang cocok untuknya, anak seorang pemuka agama. Tidak tertarik dengan harta duniawi."

"Pemuka agama? Bukannya agama kamu dan sang kakak berbeda?"

Haris mendecak kesal. Dia tahu para mafia ini pasti mencari informasi latar belakangnya tapi seharunya tidak perlu mengorek aib seperti ini. "Kakak dibutakan cinta, tidak usah dibahas. Saya akan memastikan hutang dibayar bersama bunga jika anda semua menolong saya."

"Wah-" Ajeng tidak heran melihat pria serakah seperti ini.

Amarah Adair sudah mereda. "Baik, aku akan membantu kamu tapi dengan satu syarat."

"Apa itu?" tanya Haris penuh harap dan berdoa di dalam hati supaya Adair tidak meminta lebih.

"Keponakan kamu menjadi salah satu mainan aku, aku bosan sekarang."

Tubuh Ajeng menegang ketika mendengar kalimat menusuk Adair. Antara sedih, kecewa dan marah tapi tidak bisa meluapkannya supaya tidak diusir olehnya.

Adair pergi dari ruang makan tanpa mengatakan apa pun, Ajeng mengikutinya dengan susah payah karena memakai dress hitam panjang dan ketat.

Haris menyeringai puas. Rencananya berhasil, sekarang tinggal mengusir anak tidak tahu diri itu!

 

Dan begitulah Haris, merasa idenya paling cerdas. Memakamkan kakak dan anak pertama kakaknya dengan pemakaman secara islam sementara kakak ipar dimakamkan oleh pendeta.

Erina merasa tidak adil, ayah kandung dan kakaknya kristen. Kenapa mereka berdua harus dilakukan pemakaman terpisah? Lagipula jika kalian ingin memakamkan secara islam, kenapa maminya tidak dimakamkan dengan cara yang sama?

Haris dan istrinya mengurung Erina ke dalam kamar lalu membereskan semua isi rumah sekaligus merampoknya.

Erina kabur dari rumah ketika mendengar anjing kesayangannya akan dijual ke lapo dan kucingnya akan dibuang ke pasar.

Erina menangis di pinggir jalan, jauh dari kompleks perumahan mewah memeluk anjing dan kucingnya. Pendeta yang naik ojek online segera berhenti dan hatinya terenyuh, melihat anak perempuan yang baru saja ditinggalkan keluarganya, diperlukan secara kasar.

Pendeta membayar tagihannya dan duduk menemani Erina.

"Pendeta Armand, kenapa keluarga ayah sejahat itu? Padahal tahu, ibu yatim piatu. Memang ibu yang menyebabkan ayah keluar dari agamanya, tapi tidak perlu sampai dimusuhi seperti itu. Bukankah semua agama mengajarkan cinta kasih?"

Pendeta menghela napas panjang. "Yang kita bahas sekarang adalah masalah sensitif, tapi aku yakin sekali. Mau agama apapun, selalu mengajarkan kebaikan untuk umat manusia, jika dia melakukan kejahatan mengatas namakan agama, itu berarti ada masalah di dalam diri orang itu."

Erina memeluk erat Pino dan Nuna. "Mereka berdua keluargaku sekarang, tapi paman dan bibi ingin mengusirnya. Itu rumahku tapi ayah dan ibu tidak menulis surat wasiat di sana."

"Secara hukum, kamu adalah anak kandungnya jadi berhak. Atau jika kamu ingin melepas semua harta itu-"

Erina menggeleng panik. "Tidak, rumah sakit itu dibangun ayah dan ibu penuh perjuangan. Aku tidak mau menghilang begitu saja."

Pendeta tersenyum penuh kasih. "Kalau begitu, kamu tidak akan menyerahkan? Ini adalah warisan keluarga kamu jadi jangan kalah dengan orang serakah, kamu bisa tinggal di biara untuk sementara waktu bersama anjing dan kucing ini untuk menenangkan diri."

Erina menghapus air mata. "Aku baru masuk kuliah dan tidak memiliki apa pun, apakah bisa tiba-tiba menggantikan ibu?"

"Selama kamu bekerja keras dan mau belajar, aku rasa tidak ada masalah. Erina, jangan membenci agama yang mereka anut. Bencilah pada manusia yang sudah membuat kamu seperti ini."

Erina terpana lalu tertawa kecil. "Pendeta, bagaimana bisa anda menyuruh aku membenci mereka? Bukannya menasehati untuk tidak membenci mereka?"

"Manusia itu serapuh kertas, jika diberikan air di tengah maka akan ada lubang, jika dibakar maka akan menghanguskan sekitarnya. Erina, dalam kondisi apa pun jangan pernah membenci Tuhan, meskipun paman kamu beragama lain, membenci agama yang dia anut, berarti kamu juga membenci Tuhan."

Erina mengangguk mengerti.

"Sekarang, pulang dan istirahatlah. Lebih baik aku bawa anjing dan kucing kamu ini, aku takut mereka menjadi korban selanjutnya."

Erina menghapus air mata. "Terima kasih pendeta, aku berjanji akan segera menjemputnya. Ngomong-ngomong, aku akan memesankan taxi online untuk anda."

"Tidak perlu, pulanglah. Nanti akan ada yang menjemput."

"Tapi-"

Pendeta mendorong Erina dengan lembut supaya pulang ke rumah, Pino dan Nuna menatap sedih Erina tapi tidak berani mendekat karena takut membuat Erina menjadi sedih lagi.

Erina menatap anjing dan kucingnya. "Aku pasti akan menjemput kalian, tunggu aku."

Pino menggonggong sekali sementara Nuna mengeong tidak peduli. Nuna sangat yakin, Erina pasti akan menjemput mereka berdua, Erina tidak pernah berbohong.

Setelah sosok Erina menghilang, tidak butuh waktu lama, mobil berwarna hitam pekat berhenti di samping sang pendeta.

Pintu mobil terbuka dan terlihat sosok yang dikenalnya. Pino dan Nuna menatap muak pria sok keren itu, tidak pernah berubah sejak dulu.

"Darimana kamu mengikuti aku?" tanya pendeta setelah memastikan Pino dan Nuna masuk terlebih dahulu.

Adair mengerutkan kening dengan jijik. "Kalian berdua masih hidup?"

Pino dan Nuna kesal lalu tidur memunggungi Adair tepat di bawah kakinya.

Adair kesal tapi tidak bisa melakukan apapun. Mereka berdua adalah anjing dan kucing lokal yang diselamatkan tunangannya.

Pendeta menarik telinga Adair. "Apakah kamu mendengar ucapan pamanmu ini?"

Adair pasrah diperlakukan seperti ini,  pamannya adalah mantan pembunuh bayaran yang sudah bertobat, tidak menutup kemungkinan akan melakukan hal sama jika dirinya bertindak macam-macam.

"Kapan kamu membuntutiku? Untung saja orang tua kamu dikuburkan terlebih dahulu tepat di samping nona Elaine."

Ya, orang tua Adair meninggal bersama orang tua Erina.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!