Erina juga hadir dalam pemakaman malam itu, menangis. Tidak seperti pemakaman orang tuanya yang hanya berdiri tegar dan menatap kosong tiga peti mati.
Pendeta Armand menghela napas panjang dan membuat tanda salib. "Semoga Tuhan mengampuni mereka semua."
Adair tersenyum geli melihat pamannya yang tidak cocok sama sekali menjadi pendeta.
Armand memukul belakang kepala Adair.
Senyum Adair menghilang lalu mengarahkan tatapannya ke depan.
"Haris sudah ke tempatmu?"
"Ya."
"Seperti yang kita pikirkan waktu itu?"
"Ya."
"Kamu memutuskan turun tangan?"
"Ya."
Armand menjadi kesal, jawaban Adair sangat singkat. "Dengar, jika kamu tidak bisa menggunakan lidah. Akan kupastikan hari selanjutnya kamu tidak akan bisa menggunakannya!"
"Ya, seperti yang kita pikirkan. Aku akan membantu Erina diam-diam."
"Bagaimana dengan Ajeng? Dia sudah memberikan kabar?"
"Belum."
"Dia harusnya sudah memberikan kabar malam ini, ngomong-ngomong lebih baik mereka berdua tinggal bersamamu daripada di tempatku. Di sana ada pendeta yang suka potong daging anjing, aku jadi kesal melihatnya. Lama-lama ingin potong tangan dia."
"Paman, ucapan paman tidak mencerminkan pendeta yang sabar."
"Pendeta juga manusia, pasti memiliki kesalahan di masa lalu. Dengar, kamu harus bertemu dengan nyonya Willhem dan memberitahu kematian cucunya."
"Beliau sudah tahu."
"Apa?"
"Mungkin beliau sudah ada di sana."
"Kenapa kamu tidak menemani dia?! Kembali sekarang juga!"
"Paman, beliau sudah mendapat pengawalan cukup, berikan tempat sendiri untuk beliau."
Armand terdiam.
Di dunia ini kita tidak bisa memilih keluarga ataupun orang tua mana yang mau melahirkan kita, kita hanya bisa menerima pilihan Tuhan.
Abby yang berdiri sambil memegang tongkat kesayangannya menatap batu nisan sang cucu yang baru saja dimakamkan.
Dia tidak bisa menangis, air matanya sudah habis setelah melihat perilaku putranya sendiri.
Lalu Abby melihat dua nisan di dekat nisan cucunya. Dua nama yang sangat dia kenal.
"Elaine, kasihan sekali dirimu. Seumur hidup diabaikan orang tua dan sekarang pun kamu meninggal dalam kesendirian, andai saja nenekmu ini punya keberanian untuk muncul- mungkin tidak akan terjadi hal seperti ini."
Sementara itu di rumah, Erina melihat para tamu yang melayat banyak orang tidak dikenalnya. Dia mengerutkan kening tidak suka.
"Siapa kalian semua?"
Semua orang menoleh, Haris yang sedari tadi tertawa bersama rekan bisnisnya terkejut melihat Erina keluar dari kamar.
"Kamu- kenapa ada di sini?!" teriak Dian dengan histeris.
Erina mengerutkan kening tidak suka. "Ini rumahku, kenapa kamu mengoceh tidak perlu seperti itu?"
"Kamu-"
"Erina! Masuk ke dalam kamar kamu, sekarang juga!" bentak Endang.
Erina tertawa muram. "Ini rumah aku, orang tua aku. Bagaimana bisa ada cerita kalian menjadi tuan rumah lalu mengusirku?!"
"ERINA!" teriak Haris lalu menampar Erina di depan umum. "Hari ini adalah penguburan kedua orang tua kamu, bagaimana bisa kamu bertindak tidak masuk akal seperti ini?!"
Erina bisa mendengar gumaman orang-orang serta tatapan merendahkan.
"Lihat, sepertinya benar yang dibilang Endang. Anak itu menjadi gila sekarang."
"Orang tuanya meninggal, tentu saja dia gila. Apalagi di dalam surat wasiat tidak ada nama dirinya."
"Dia harusnya dinikahkan saja!"
Erina mengeraskan suaranya. "Aku adalah anak kandung orang tuaku, bagaimana ceritanya ada seorang paman yang merupakan anak haram dan anak dari pelayan ingin mengambil harta keluargaku?!"
"YA!" Dian menarik rambut Erina ke belakang dan memakinya. "Berani kamu menghina ayahku? Kamu sendiri lantas apa? Bangga dengan darah bule kamu itu? Bule itu hidupnya kotor, suka kumpul kebo dan mempengaruhi hidup ayah kamu. Lihat saja sampai ayah kamu murtad, menjijikan!"
Erina yang tidak terima, membalasnya dengan menarik rambut Dian juga. "Kalau kamu merasa keluargaku menjijikan, harusnya keluar dari rumah ini dan tidak mengharapkan uang sepeserpun milik keluargaku!"
"Ayahku, adik kandung pakde. Jelas punya hak atas harta kakaknya, berbeda dengan kamu, semua orang tahu kalau pakde tidak mencantumkan nama kamu dalam surat wasiat!" bentak Dian.
Erina bisa melihat, orang-orang hanya menjadikan mereka sebagai tontonan lalu segera menarik Dian keluar rumah dan mendorongnya.
Dian tidak terima dan ikut menarik Erina.
Erina berhasil menyingkir lalu mengusir semua orang. "Ini rumahku, bukan rumah kalian! Hak waris keluargaku jatuh di tanganku! Bukan kalian!"
Endang berteriak kesal dan menunjuk Erina. "Dasar anak tidak tahu diri, sama dengan ibunya yang hanya pelacur dan menggerogoti harta kakak ipar."
"IBUKU BERJUANG UNTUK BERTAHAN HIDUP! MAMI JUGA BEKERJA DISAMPING KALIAN YANG HANYA MENGHAMBURKAN UANG!" teriak Erina. "Justru kalian yang tidak tahu malu, berusaha merampok harta keluargaku!"
Rekan bisnis Haris mengerutkan kening dengan heran. Dari cerita Haris, mereka diberitahu bahwa Erina hanya anak haram ibunya yang bule dan suka kumpul kebo sementara kakaknya hanya mewarisi harta untuk anak pertama yang sudah meninggal, otomatis harta itu jatuh ke tangan dia.
"Aku bisa membuktikan tes dna bahwa aku anak kandung dari ayah, akta lahirku pun atas nama ayah. Jadi pergi dari sini sebelum aku memanggil polisi sekarang juga!"
Para pelayat bergegas pergi, Dian kebingungan melihat para tamu pergi dan bergegas masuk ke dalam rumah.
Haris, Endang dan Edi berdiri berhadapan dengan Erina.
Dian mendekati kakaknya sambil memegang pinggang. "Apakah anak tidak tahu diri ini yang mengusir tamu kita?"
Erina mengangkat dagu dengan angkuh. "Ya, memang. Kenapa? Ini rumahku bukan rumah kalian, mau kalian ubah apa pun. Hukum ada."
Haris mendecak kesal lalu pergi meninggalkan rumah bersama Endang dan Adi, Dian melewati Erina dengan sengaja menabrak bahunya.
Erina tidak membalas dan hanya diam, ketika mobil mereka sudah menjauh. Dia merosot di lantai dan menangis. Apa kesalahanku selama ini? Kenapa kalian tidak membawa aku juga? Kenapa adik ayah sejahat itu sama aku?
Di rumah hanya tinggal satu pelayan yang setia pada Erina, dia bergegas membereskan semua kekacauan yang ditinggalkan adik majikannya yang sudah meninggal dan memberikan tempat untuk Erina.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu lalu mendekati Erina. "Nona, kenapa orang itu tahu kalau ayah nona tidak mencantumkan nama sebagai salah satu ahli waris?"
Erina tersenyum sedih. "Pengacara keluarga ternyata teman paman, jadi mereka langsung tahu."
"Apakah itu tidak melanggar kode etik pengacara?"
Erina mengangguk sedih. "Ya, itu juga pelanggaran tapi mereka yakin sekali aku tidak akan mendapat harta warisan sama sekali dan tidak akan berbuat apa pun."
"Nona-"
Erina menghapus air mata. "Semua pelayan mengundurkan diri dan hanya kamu yang bertahan, apakah mereka takut dengan paman?"
"Iya, nona. Mereka tidak mau dibudak keluarga paman nona, jadi mereka memutuskan mengundurkan diri. Nona, di rumah besar ini hanya ada kita berdua. Aku tidak masalah tapi-"
"Aku akan mencari pelayan pengganti atau kamu bisa menghubungi mereka."
"Kapan?"
Erina teringat dengan uang dan bisnis kedua orang tuanya. "Aku ingin memastikan sesuatu, aku minta tolong bereskan ini semua. Nanti aku bantu ketika sudah selesai."
Pelayan itu menepuk dada dengan percaya diri. "Serahkan kepada saya, nona. Urus dulu yang penting."
Erina mengucapkan terima kasih lalu bergegas pergi ke kantor orang tuanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments