dari Malam dengan Segala Keputusannya

            Jiwa melihat Awan yang dipanggil tadi, pastinya itu orang tuanya karena Awan pun langsung membukakan pagar garasi mobil, dan mobilnya masuk. Jelas Jiwa gugup, secara ini tidak lama dari apa yang telah ia lalui. Jiwa berusaha ingin bicara kepada Awan untuk pamit, tapi ia juga tidak enak untuk mengatakannya.

            Mama dan Papanya Awan keluar dari mobil, tentu Awan menyambut. Dan Jiwa juga membungkukan kepala untuk menyapanya.

            “Wah ada tamu kamu?” tanya Mama kepada Awan, “Kenapa nggak di ajak masuk?”

            “Iya nih Ma, susah.”

            “Halo Om Tante,” sapa Jiwa.

            “Halo, siapa namanya?” tanya Papa kepada Jiwa.

            “Jiwa, Om.”

            “Wah namanya cakep, kayak orangnya,” kata Papa.

            “Papa nggak boleh gitu, ya,” tapi Awan yang kesal.

            “Emang beneran kan? Kenapa? Oh jangan jangan ini yang kamu ceritain tempo hari.”

            “Cerita apa? Orang Mama Papa sibuk.”

            Mama dan Papa menertawakan anaknya yang terlihat gugup untuk bertingkah. Awan berusaha tetap terlihat cool, dan Jiwa berusaha terlihat baik-baik saja. Jiwa yang enggan untuk masuk ke dalam rumahnya Awan setelah ditawari masuk oleh Mama Papanya, membuat mereka berempat ngobrol di depan rumah. Namun, suasananya justru hangat, ternyata sikap anak memang tidak jauh dari orang tuanya.

            “Oh iya, Ma, Pa, tadi Jiwa ke sini juga ngasih makanan lho,” ujar Awan memberitahu.

            “Wah, masakan kamu?” tanya Mama.

            “Iya Tante, bareng sama Ibu masaknya juga pasti enak.”

            “Wah, Tante aja nggak bisa masak karena banyak kerjaan,” sanjung Mama.

            “Yang pinternya juga Ibu, bukan aku,” elak Jiwa.

            “Pasti nurun ke kamu,” kata Papa.

            “Rumah kamu nomor berapa? Nanti kalau Tante ada rezeki makanan atau apa kan bisa berbagi juga,” tanya Mama.

            “Nomor dua puluh satu, Tante.”

            Percakapan justru masih sempat saja berlanjut, akan tetapi Awan menyadari hari sudah malam dan memberitahu Mama Papanya untuk masuk ke dalam agar Jiwa dapat pulang semestinya.

            “Aku antar kamu ke depan rumah, ya,” tutur Awan.

            “Nggak usah, Wa, dekat ini.”

            “Ya justru karena dekat nggak apa-apa aku anter. Udah malam, Wa.”

            “Ya udah.”

            Perlahan memang lebih bisa begitu saja terjadi daripada cepat-cepat. Jiwa sudah tidak

menolak dengan argumentasi kepada Awan yang tidak mau kalah. Ia hanya menolak satu kali, lalu menerimanya.

            Sebanarnya banyak lampu yang menerangi setiap sisi jalan perumahan, tapi seperti tadi saja Awan ingin mengantarnya ke depan. Mungkin nama Jiwa baginya juga seperti jiwa, nama memang sekuat-kuatnya do’a. Awan dan Jiwa kini berjalan bersampingan untuk kesekian kalinya. Raut wajah Awan tidak bisa membohongi akan malam ini, tidak akan ia lupakan. Ia sangat senang orang tuanya bisa mengerti untuk bagaimana menghadapi Jiwa.

            “Nanti kalau sama Mama Papa aku dipanggil ke rumah, ke rumah aja,” ujar Awan di pertengahan jalan.

            “Kenapa emangnya?”

            “Mama mau banget punya anak perempuan setelah Kakak ku, tapi ya aku laki-laki,” jelas Awan sambil menertawakannya pelan.

            “Oh iya, kalau gitu lewat pesan aja.”

            Awan berhenti jalan, “Kita belum punya kontak masing-masing, Wa,” katanya dengan mata terbuka bulat.

            Jiwa tersenyum, “Ya kamunya nggak minta.” Dan keduanya lanjut jalan.

            “Ya udah, sekarang minta.”

            “Hp akunya di rumah. Nggak hapal.”

            “Masa? Bohong kamu.”

            “Aku nggak pernah bohong, Wan.”

            “Iya aku percaya.”

            “Kamu gak harus percaya.”

            “Justru percaya itu emang nggak ada, tapi kitanya yang meyakinkan.”

            Jiwa berhenti tepat di depan rumahnya, “Iya iya. Nanti besok aja.”

            “Mama kamu ada di dalam?” tanya Awan sambil melihat ke rumahnya Jiwa.

            Jiwa mengangguk, “Udah sana pulang!”

            “Janji ya besok ketemu lagi.”

            “Nggak mau janji, Wan.”

            “Tadi katanya besok.”

            “Iya ya udah, iyaaa.”

            Dan Jiwa menyerah lagi untuk mencoba menolak Awan. Ia penasaran sebagaimana keinginan Awan akan berakhir untuk mengalah. Tapi itu sepertinya tidak akan terjadi untuk di awal-awal ini. Awan ternyata masih tidak ingin pergi sebelum Jiwa masuk ke dalam.

            “Wan, aku tinggal jalan beberapa langkah lagi juga masuk, astaga,” keluh Jiwa dengan semua permintaan Awan.

            “Ya udah lakuin sekarang. Kalau nggak, ya aku nggak akan pulang pulang.”

            Jiwa menggelengkan kepala, kenapa juga dia harus menuruti laki-laki yang lebih muda darinya. Namun, tetap saja pastinya Jiwa harus mengikuti apa kata Awan, lebih tepatnya mengalah dengan segala keinginan Awan yang bertentangan dengannya. Awan tersenyum puas melihat bagaimana raut Jiwa saat menutup pintu. Ia menyukai itu.

            Awan pun kembali berjalan ke jalan yang tadi dilaluinya besama Jiwa. Tapi sekarang ia ditemani dengan bagaimana bayangan yang tadi terjadi dalam ingatannya. Tidak ada cinta yang ia akui, tapi baru rasa beruntung dapat bertemu dengan Jiwa dari sekian foto yang juga memotret manusia lain.

            Sedangkan dari dalam rumah Jiwa, ia duduk dulu di kursi ruang tamu, ternyata Ibunya masih menonton televise sendirian.

            “Kenapa lama banget?” tanya Ibu sambil beranjak dari sofa untuk mengambil bakso yang

sudah dari tadi dibelikan Jiwa.

            “Ngobrol sama orang tuanya Awan, Bu.”

             “Oh, mereka baik juga?”

            “Iya, cerewet juga sama kayak Awan.”

            “Bagus dong kalau sama sama diam, nanti sepi.”

            “Ibu juga diam sama kayak aku, tapi nggak sepi.”

            “Nggak sepi itu kalau ada Ayah.”

            “Ibu.”

            Ibunya tidak menjawab, sibuk dengan panci untuk menghangantkan kembali bakso. Jiwa menghela napas. Andai saja tidak ada penyakit di dunia ini, mungkin Ayahnya dapat mati karena keinginan Tuhan, bukan karena operasi jantung yang gagal.

            Awan bersemangat menuju lantai bawah. Padahal orang tuanya masih di dalam kamar. Ini masih pagi untuk seukuran mahasiswa yang biasanya santai dengan jam pagi, bahkan kelasnya hari ini itu di jam kedua. Ya, memang segala sesuatu itu pasti ada niatnya, karena Awan sudah menantikan hari ini sejak malam.

            “Ma, Pa, Awan berangkat!” teriaknya sambil terus berjalan ke luar rumah. Sudah pasti orang tuanya meng-iyakan dari dalam kamar.

            Masih jam enam pagi, pastinya Jiwa tidak mungkin melakukan apa yang Awan lakukan. Selama beberapa hari ini, memang Awan. Jelas itu bukan suatu hal yang harus diperhitungkan dari keinginan hati. Jelas tidak ada yang berharga dari waktu yang memberi pertemuan.

             Awan memilih langsung jalan sendiri ke halte, biar saja ia menunggu. Justru menunggu lebih baik daripada tidak sama sekali menunggu yang bisa menimbulkan kekecewaan. Ia duduk di kursi halte karena orang-orang yang akan bekerja tentu lebih awal berangkatnya.

            Awan sangat menikmati penantiannya, bahkan ia tidak menghiraukan perutnya yang harus sarapan sebelum melakukan aktivitas. Sudah lewat dari tiga puluh menit ia menunggu. Lagipula jika memang Jiwa tidak berangkat hari ini, bukan salahnya, ini hanya keinginan Awan saja yang ingin menunggu, bahkan tidak ada janji di antara ia dengan Jiwa yang harus bertemu pagi pagi sekali.

Sudah satu jam lewat delapan menit.

Awan tahu kelasnya ada pada jam kedua, tapi Jiwa juga tidak tahu akan ke luar rumah atau tidak. Ia sudah tahu perbedaan umur di antara ia dengan Jiwa, tapi itu tidak menyadari justru kegiatan kuliahnya dengan Jiwa jelas berbeda. Awan beranjak berdiri untuk siap siap dengan bus berikutnya. Busnya sudah datang pun, Jiwanya belum ada.

Episodes
1 Perihal Apa yang Di Awal
2 Kopi dan Kenyataan yang Ada
3 Mana Adanya yang Berkelanjutan
4 untuk Pertama juga Keberapa Kalinya
5 dari Malam dengan Segala Keputusannya
6 Kampus dengan Kehadirannya di Samping
7 Sesuatu yang Baru di Tengah Hari Perjalanan
8 di Antara Bubur, Rumah, dan Pasar Buah
9 Setelah Pelukan dari Suatu Jiwa
10 Pagi dengan Pengakuan yang Hadir
11 Sore yang Sama dengan Ingatan yang Lama
12 Malam dengan Segala Cerita dan Kerelaannya
13 Hari Tanpa Adanya Keseharian
14 Jiwa dan Bentuk Barunya
15 di Antara Cerita dan Keluh yang Baru
16 yang Baru Disadari Ada dalam Hubungan
17 Jiwa dengan Cerita Lamanya yang Terjadi Lagi
18 Tidak Ada Awan dalam Bab Ini
19 Ada Riza dalam Bab Ini
20 Dari Sesuatu yang Hilang, Namun Baru
21 Jiwa dan Pelukan dengan Perasaan
22 Hujan yang Menutupi Semua Perasaan
23 Segala Pecakapan di Antara Kenagan di Taman dan Awan
24 Awan yang Tidak Bergerak itu Tidak Terlihat
25 Awan Sedang di Langit yang Berbeda
26 Layangan yang Menemui Awannya
27 Percakapan Pada Masa Lalu, Pada Sore ini
28 Hari Kekhawatiran yang Baru Pernah Ada
29 Malam dengan Jawabannya yang Selalu Tepat
30 Sebagaimana Sesuatu yang Telah Menjadi Ingatan
31 Sesuatu yang Mulai dijelaskan dari Jiwa
32 Hujan dan Kedamaian Setelah Redanya
33 Tentang Perjalanan atau Akhir yang Sedih
34 Dari Apa yang Ada Pada Kenyataan
35 Malam dengan Pemberhentian yang Baru
36 Percakapan yang Menghilang
37 Kejujuran yang Diberikan
38 Taman dan Kenangan Lama yang Tergantikan
39 Riza Bersama Banyaknya Cerita yang Tidak Pernah Usai
40 Percakapan Setelah Kesalahan dan Kenangan
41 Pada Awan yang Saat Ini Tergantikan
42 Setelah yang Runtuh, Ada yang Lebih Hancur
43 Percakapan di Antara Masa Lalu dengan Sekarang
44 Jawaban dari Apa yang Sudah Satu Tahun Tak Bertemu
45 Percakapan Setelah dan Sesudahnya
46 Bukan Awan yang Menghilang dari Langit
47 Perihal Apa yang Sudah Lama Tidak Ada Pertemuannya
48 Perihal Jiwa yang Mulai Menjadi Cerita Awan
49 Pada Semua Bab yang Tidak Ada Jiwa
50 Awan yang Bersama Zara, Masih ada Jiwanya
51 Pagi Masih Tetap Cerah, Hanya Sedikit Dingin
52 Zara dengan Awan yang Kini Berbeda
53 Bagaimana Jika Perasaan Lain Ada dan Lagi
54 Cinta dengan Kesendirian yang Saling Mengenal
55 Awan Tanpa Adanya Langit dan Belum ada Jiwa
56 Soal Bagaimana Awan Tidak Mengabu
57 Soal Bagaimana Jiwa dengan Awannya Baru Berjalan
58 Pada Bagian yang Meragukan Akan Tetapi Tidak Diinginkan
Episodes

Updated 58 Episodes

1
Perihal Apa yang Di Awal
2
Kopi dan Kenyataan yang Ada
3
Mana Adanya yang Berkelanjutan
4
untuk Pertama juga Keberapa Kalinya
5
dari Malam dengan Segala Keputusannya
6
Kampus dengan Kehadirannya di Samping
7
Sesuatu yang Baru di Tengah Hari Perjalanan
8
di Antara Bubur, Rumah, dan Pasar Buah
9
Setelah Pelukan dari Suatu Jiwa
10
Pagi dengan Pengakuan yang Hadir
11
Sore yang Sama dengan Ingatan yang Lama
12
Malam dengan Segala Cerita dan Kerelaannya
13
Hari Tanpa Adanya Keseharian
14
Jiwa dan Bentuk Barunya
15
di Antara Cerita dan Keluh yang Baru
16
yang Baru Disadari Ada dalam Hubungan
17
Jiwa dengan Cerita Lamanya yang Terjadi Lagi
18
Tidak Ada Awan dalam Bab Ini
19
Ada Riza dalam Bab Ini
20
Dari Sesuatu yang Hilang, Namun Baru
21
Jiwa dan Pelukan dengan Perasaan
22
Hujan yang Menutupi Semua Perasaan
23
Segala Pecakapan di Antara Kenagan di Taman dan Awan
24
Awan yang Tidak Bergerak itu Tidak Terlihat
25
Awan Sedang di Langit yang Berbeda
26
Layangan yang Menemui Awannya
27
Percakapan Pada Masa Lalu, Pada Sore ini
28
Hari Kekhawatiran yang Baru Pernah Ada
29
Malam dengan Jawabannya yang Selalu Tepat
30
Sebagaimana Sesuatu yang Telah Menjadi Ingatan
31
Sesuatu yang Mulai dijelaskan dari Jiwa
32
Hujan dan Kedamaian Setelah Redanya
33
Tentang Perjalanan atau Akhir yang Sedih
34
Dari Apa yang Ada Pada Kenyataan
35
Malam dengan Pemberhentian yang Baru
36
Percakapan yang Menghilang
37
Kejujuran yang Diberikan
38
Taman dan Kenangan Lama yang Tergantikan
39
Riza Bersama Banyaknya Cerita yang Tidak Pernah Usai
40
Percakapan Setelah Kesalahan dan Kenangan
41
Pada Awan yang Saat Ini Tergantikan
42
Setelah yang Runtuh, Ada yang Lebih Hancur
43
Percakapan di Antara Masa Lalu dengan Sekarang
44
Jawaban dari Apa yang Sudah Satu Tahun Tak Bertemu
45
Percakapan Setelah dan Sesudahnya
46
Bukan Awan yang Menghilang dari Langit
47
Perihal Apa yang Sudah Lama Tidak Ada Pertemuannya
48
Perihal Jiwa yang Mulai Menjadi Cerita Awan
49
Pada Semua Bab yang Tidak Ada Jiwa
50
Awan yang Bersama Zara, Masih ada Jiwanya
51
Pagi Masih Tetap Cerah, Hanya Sedikit Dingin
52
Zara dengan Awan yang Kini Berbeda
53
Bagaimana Jika Perasaan Lain Ada dan Lagi
54
Cinta dengan Kesendirian yang Saling Mengenal
55
Awan Tanpa Adanya Langit dan Belum ada Jiwa
56
Soal Bagaimana Awan Tidak Mengabu
57
Soal Bagaimana Jiwa dengan Awannya Baru Berjalan
58
Pada Bagian yang Meragukan Akan Tetapi Tidak Diinginkan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!