Beruntungnya hari ini hanya ada satu mata kuliah, jadi tidak masalah dengan jam pagi. Tentu selama
mata kuliah tadi pun, Awan sudah berapa puluh kali berharap agar Jiwa tidak dulu pulang, agar bisa bertemu, agar bisa pulang bersama. Ia langsung mengepaki buku kecil ke tas map kulit berwarna coklat mudanya itu sambil bersiap untuk beranjak.
“Kita mau ngopi ke mana?” tanya Genta, salah satu teman dalam circle-nya.
“Ke belakang kampus aja,” jawab Doni yang juga temannya.
Awan beranjak dari kursinya, “Sorry bro, kayaknya gak bisa ikut dulu, ada yang harus disamperin nih.”
“Siapa, Wan? Cewek di foto itu belum ketemu aja?” tanya Satria.
“Justru udah ketemu,” Awan menjawab dengan semangat berjalan ke luar.
Teman-temannya meneriaki Awan karena belum tahu kemajuannya tapi tiba-tiba sudah bertemu. Dan Awan sekarang lari karena tidak ingin satu detik pun terlambat dari Jiwa, sekali pun itu lebih baik ia menunggu.
Awan baru sadar, kenapa ia tidak mengenal Jiwa. Gedung fakultas keduanya terhalang oleh satu gedung Fakultas Psikologi. Awan yang berada di gedung Fakultas Seni dan Desain masih dengan kaki yang berlari ke
Fakultas Teknik. Akan tetapi, rasanya untuk Awan yang baru semester tiga terlalu canggung untuk berdiri di depan fakultas lain sendirian. Ia memutuskan duduk di kursi samping Fakultas Psikologi yang menghadap ke Fakultas Teknik.
Akan hampir satu jam Awan duduk dan menyapa mahasiswa yang mengenalnya. Sesekali juga ia menangkap momen yang ada di sekitarnya dengan kameranya, apalagi bisa bertemu dengan Jiwa juga berkat apa yang ia abadikan.
“Ngapain kamu?”
Awan menengok ke belakang karena suaranya itu yang sedang ia hapalkan. Jiwa sudah berdiri dengan tumpukan lima buku di tangannya.
“Nungguin kamu.”
“Kalau gitu bantuin bawa ini.”
Awan langsung berdiri dan mengambil alih empat buku dari tangan Jiwa, “Tapi abis ini kenalan, ya.”
“Kan kemarin udah,” ketus Jiwa langsung berjalan mendahului Awan.
“Kalau gitu cerita deh!” usul Awan sambil berusaha jalan dari belakang Jiwa.
Jiwa sama sekali tidak menjawabnya, bahkan ia terus berjalan dengan memegang satu buku sementara Awan di belakangnya. Sampai akhirnya Jiwa berhenti tepat di pijakan depan perpustakaan, tempat mereka berkenalan kemarin.
“Sini bukunya,” Jiwa mengambil kembali buku yang seharusnya ia bawa.
“Aku bawain sampai dalam aja,” Awan meminta balik buku itu, tapi tidak diberikan.
“Kamu pulang, udah nggak ada mata kuliah, kan?”
“Di rumah juga nggak ada siapa-siapa.”
“Di perpustakaan banyak orang yang mau pokus. Kalau kamu masuk, kamu gak bakal mau diem pastinya.”
“Kalau aku diem?”Awan bertanya balik.
“Nggak mungkin, Wan!”
“Tadi kamu ngomong apa?”
“Nggak mungkin.”
“Bukan, abis itu apa?”
“Wan?” tanya Jiwa tidak yakin semua akan baik-baik saja.
“Akhirnya kamu manggil nama aku juga,” Awan tersenyum dengan kebanggaan yang terpencar.
Jiwa berusaha sabar, “Udah kalau gitu kamu pulang!”
“Aku juga ada perlu di perpustakaan.”
“Perlu apa? mending kamu makan gitu.”
“Gimana kalau kita makan bareng dulu?”
Jiwa menggelengkan kepala, “Nggak akan ada hentinya ngomong sama kamu. Aku mau masuk!” ketusnya.
“Ya udah aku tunggu di sini, di tempat kemarin.”
“Terserah!”
“Aku laki-laki paling setia di muka bumi tahu, Wa!”
Jiwa tidak menghiraukan pengakuan itu. Ia sudah memasuki perpustakaan, tempat paling nyaman untuknya. Dengan demikian ia bebas dari kebisingan bumi, yang salah satu baginya itu kehadiran Awan.
Sedangkan Awan masih berdiri di tempat yang menjadi kedua kalinya ia berhadapan dengan Jiwa. Ia tersenyum mengingat bagaimana frustasinya Jiwa menghadapi dirinya. Sepertinya, bahkan yang sebenarnya kita lakukan di kehidupan ini hanya menunggu, bergiliran, menetap, dan melepaskan.
…
Hanya sampai dua buku saja Jiwa dapat pokus membacanya. Sisanya ia teringat apa kata Awan terakhir tadi dan itu membuat Jiwa memikirkan bagaimana keadaan Awan sekarang. Apalagi sekarang sudah lewat dari jam tiga petang. Dengan mengakui apa yang ia pikirkan, Jiwa bergegas lari dengan tiga buku yang belum ia baca.
Yang benar saja, saat ia baru ke luar dari pintu keluar perpustakaan. Ia masih menemukan punggung yang tadi ia panggil di samping fakultas psikologi. Dan kini ia melakukan hal yang sama.
“Beneran masih nunggu ternyata.”
Awan berdiri saat Jiwa sudah di sampingnya, “Kan kata aku juga, aku manusia paling setia.”
“Terus?”
“Ya ayo pulang.”
“Aku mau minum kopi dulu.”
“Ikut!”
“Aku nggak ngajakin kamu.”
“Tapi maksud kamu itu sama aja kayak ngajakin.”
“Aku nggak pernah minta, justru kamu yang selalu minta.”
“Kamu mintanya secara nggak langsung, Wa. Makanya harus aku yang nanya.”
“Iya, anggap aja balasan tadi bawain buku,” ujar Jiwa sambil melangkah jalan.
Awan mengikutinya dari belakang sambil memotret yang di sekelilingnya. Jiwa berhenti jalan, “Jalannya di samping aku, Wan.”
“Nggak apa-apa?”
“Justru adab sesama manusia itu seperti itu.”
Dengan begitu, ini menjadi kali pertama Awan berjalan di sampingnya, lebihnya lagi ia bisa menatap Jiwa lebih dekat. Awan tersenyum, “Kenapa nama kamu Jiwa?” menyadari betapa indahnya nama perempuan di sampingnya.
Jiwa juga tersenyum, “Kata Ibu, almarhum Ayah mau banget punya anak namanya Jiwa.”
“Maaf, aku terlalu mau tahu.”
“Nggak apa-apa, Wan. Justru aku seneng banget ngakuin nama aku emang indah.”
“Kamunya juga indah, Wa.”
“Makasih,” balas Jiwa seperti biasanya. Jiwa memang satu di antara banyaknya bagaimana perempuan yang indah, yang selalu menjawab apa adanya. “Kalau kamu, kenapa Awan? Benda di langit juga ada bintang.”
“Mama aku lebih bijak daripada ribuan penyair wanita di seluruh dunia ini, Wa. Kata Mama ‘Awan itu satu-satunya benda di langit yang selalu ada, mau siang atau malam. Dan seperti manusia, dia bisa cerah dan mendung tiba-tiba’.”
“Pasti kalau yang ngomongnya Mama kamu lebih bijak deh,” canda Jiwa.
Awan menertawakan dirinya, dan Jiwa ikut tertawa mendengarnya. Mereka juga sesekali melihat langit secara bergantian. Menyadari apa yang diutarakan Mamanya Awan, benar. Awan juga sedang cerah layaknya tidak ingin mendung untuk hari yang belum berakhir, tapi sudah berjalan sangat indah.
…
Hanya berjarak berapa ratus meter saja, Jiwa dan Awan sudah masuk ke dalam café dengan wangi kopi yang sepertinya melekat di setiap dinding berwarna hitam dan coklat tua ini. Ini pertama kali untuk Awan ke sini, tapi kelihatannya tidak untuk Jiwa yang langsung menuju meja di sudut jendela yang menghadap ke luar.
“Duduk di sini aja,” ujar Jiwa, kemudian duduk.
Awan pun duduk di kursi yang menjadikannya berhadapan dengan Jiwa. Sungguh Awan langsung tersenyum dapat melihat wajah Jiwa dengan jelas, yang ternyata ia memiliki tahi lalat di atas sudut kanan bibir. Hari ini juga pakaian keduanya sama-sama santai, Awan yang menjadikan kemeja sebagai outer, dan Jiwa menggunakan outer rajut berwarna putih yang serasi dengan celana jeans denimnya.
“Kamu mau minum kopi apa? Aku yang bayar,” kata Jiwa sambil memberikan daftar menu.
“Latte less sugar aja.”
“Oh kamu pecinta latte.”
Awan mengangguk, “Emang kamu pecinta apa?”
“Espresso.”
“Tapi emang nggak akan terasa pahit kalau kamu yang minum.”
Jiwa menyunggingkan satu sudut bibirnya, “Espresso di sini paling bersahabat sama lambung, mau coba gak? Kamu gak pernah ke sini kan.”
“Semester sebelumnya aku baru perkuliahan hybrid, jadi belum tahu banyak.”
“Iya makanya kamu harus cobain ini.”
“Iya, Wa.”
Jiwa pun beranjak untuk memesan apa yang sudah diinginkan ke kasir. Dan kembali sambil melihat struk pembayaran.
“Mahal gak? Biar aku yang bayar aja, Wa,” ujar Awan.
Jiwa duduk di kursinya, “Kan aku udah bilang…”
“Iya iya,” Awan menghentikannya sebelum Jiwa mengeluarkan ceramahannya.
Sambil menunggu, tiba-tiba Jiwa mengeluarkan ipad dari tas selempangnya. “Kata kamu dari sini yang buat kamu nyari aku, ya.”
Awan mengangguk, menyadari kenapa Jiwa begitu tak menghiraukan soal apa katanya saat pertama kali bertemu, “Udah, Wa. Lagian kita juga pasti ketemu karena satu perumahan.”
“Belum tentu, Wan. Aku pindahan minggu lalu ke sana.”
“Kenapa kamu pindah?”
Jiwa hanya menggelengkan kepala, menolak membalasnya. Awan pun diam, tidak berbicara lagi. Jiwa seperti mencari yang ada dalam ipad-nya. Sampai tiba-tiba, “Ini bukan?” kata Jiwa dan menunjukannya ke hadapan Awan.
Awan melihatnya dengan bahagia. Sebuah sketsa rumah dua lantai yang di sekitarnya banyak pepohonan dan segerombolan manusia yang beraktivitas. Yang membuat ia begitu suka adalah dari bagaimana detail rumah yang sederhana tapi pasti menarik perhatian banyak orang. Saat Awan hendak memujinya, kopi terlebih dulu datang ke atas meja, seperti ingin melengkapi suasana yang sudah ada. Jiwa meneguk lebih dulu, dan mempersilakan Awan untuk menikmati dua gelas kopinya. Awan lebih dulu mencoba latte keinginannya.
“Ini kamu yang buat?” tanya Awan setelah tegukan pertamanya.
Jiwa hanya mengangguk.
“Kenapa bikin ini? kamu kan fakultas teknik.”
“Itu fakultasnya, Wan. Aku Jurusan Arsitektur.”
Awan baru menyadari itu dan merasa malu, kenapa ia bisa se-tidak peka itu. Ia pun mencoba expresso yang juga dipesankan untuknya. Sebenarnya hanya latte yang Awan sukai, tapi tidak ada yang salah untuk
mencoba. Setelah tegukan pertama dan berusaha rileks menikmatinya, ia baru sadar kenapa Jiwa ingin memesankannya dua gelas kopi.
“Enak juga,” kata Awan.
“Bukan enak, tapi nikmat, Wannn.”
Awan tersenyum dan Jiwa juga. Kopi menjadi bagian penting dalam hidup keduanya. Apalagi Jiwa dengan segudang tugas praktik kuliahnya. Awan juga tidak ingin kalah dengan seleranya, ia meminta Jiwa mencoba kopi lattenya atau ia akan membelikan yang baru untuknya. Jiwa yang tidak mau berisik di café yang mulai dinikmati banyak orang, ia pun mengangguk.
“Nih minumnya di bagian yang lain, jangan bagian bekas aku, Wa.”
“Iya, Awann,” tegas Jiwa, tapi pasrah.
Jiwa pun mencoba meminum di bagian yang Awan tunjukan. Setelah gelas di letakkan kembali, Jiwa mengangguk layaknya perempuan lain saat menyukai apa yang ia makan atau minum, “Enak juga. Nggak terlalu manis. Biasanya aku gak mau pesan latte karena suka nggak pas.”
“Tapi, jujur ini di sini latte-nya beda. Kayak bukan latte,” Awan tertawa kecil.
Jiwa mengangguk, “Itu yang aku suka.”
“Terus kamu suka apa lagi, Wa?”
“Banyak.”
“Kali-kali kalau kamu mau buat sketsa, ajak-ajak aku dong.”
Jiwa menggeleng, “Aku sibuk.”
“Nggak sesibuk presiden kan, Wa.”
“Aku lagi nyusun judul buat skripsi.”
Awan tersentak di tengah kesadaran mendengarnya. Bagaimana mungkin ia juga tidak memikirkan kemungkinan itu. Awan baru memulai semester tiga, tapi Jiwa sudah hampir sampai garis finish. Bukan, bukan karena perbedaan jarak saja, tapi ini kali pertama Awan tertarik dengan yang tidak ingin sampai ia lakukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments