Jiwanya Awan
Untuk apa yang ada pada keinginan, sejatinya tidak akan pernah hilang walau lama kelamaan semu. Tidak ada yang kebetulan pada apa yang sudah terjadi. Jika kebetulan terjadi pada pertemuan pun masing-masingnya pasti mempunyai rencananya sendiri. Bahkan pada apa yang baru disadari itu berarti sudah seharusnya terjadi.
Ya seperti pada seseorang laki-laki yang dari tadi duduk di depan kursi kosong yang sudah ia perhatikan selama tiga hari sampai hari ini. Ini juga bukan hari di mana ada mata kuliahnya, tapi sejak dini pagi pintu perpustakaan kampus bergengsi di Kota Metropolitan ini dibuka, ia sudah masuk untuk bisa menemui seseorang perempuan yang hanya ia tahu rambut bagian belakangnya saja.
Dari hasil cetakan foto kamera nikon fujifilm xa3-nya seminggu lalu, yang saat baru ia lihat-lihat menunjukan sesuatu yang mencuri perhatiannya. Bukan seseorang perempuan yang rambutnya bob itu, tapi dari apa yang lebih terlihat di depannya. Hasil gambar dari ipad-nya lebih menarik daripada apa yang sudah dipotret kameranya untuk referensi mata kuliahnya pada jurusan desain komunikasi visual.
Ini menjadi ketiga harinya ia menunggu sampai sore hari. Setiap yang duduk di depannya selalu laki-laki. Perempuan yang ada di sekitarnya pun tergerai panjang rambutnya. Ia beranjak pergi bukan karena menyerah, dalam hatinya sudah berkeinginan untuk kembali besok pagi lagi.
Lift yang sudah ia tekan untuk menuju lantai bawah dari lantai lima akhirnya terbuka. Tidak ada satu orang pun, sepertinya semua mahasiswa sudah ke luar jauh jauh waktu. Baginya tidak ada yang harus disesali
dalam setiap pencarian, kadang kita sendiri yang membuatnya menjadi penantian. Namun, tidak mungkin hanya dia yang tersisa belum ke luar dari perpustakaan. Di lantai tiga, pintu lift kembali terbuka.
Laki-laki yang sudah ingin mengunjungi perpustakaan besok ini matanya terbuka lebar saat seseorang perempuan berambut bob coklat itu masuk dengan tas ipad yang ia peluk di dadanya. Dari baju kemeja tangan pendek dengan motif bunga pun suasananya seperti saat ia memutuskan memotret suasana pada kala itu. Saat itu juga matanya mengikuti perempuan itu berdiri di sampingnya. Perempuan tersebut merasa ada yang tidak beres dari laki-laki berkemeja hitam serta celana panjang hitam dengan kamera yang menggantung pada lehernya, “Kenapa?” tanya perempuan tersebut.
“Kamu itu bawa ipad, kan?”
Perempuan itu mengangguk.
“Akhirnya, aku ketemu kamu juga.”
“Emang kita pernah ketemu?”
“Nanti aku jelasin di luar gimana? Lift-nya udah sampai.”
Tapi laki-laki yang sudah seperti mengenal perempuan itu langsung ke luar tanpa menunggu jawaban, tapi perempuan tersebut memang mengikutinya.
Mereka berdua yang saling tidak tahu diri itu berdiri di tepi tangga perpustakaan. Dengan percaya dirinya, laki-laki yang rambutnya hampir gondrong ini mengulurkan tangan, “Kenalin dulu, namaku Senandika Awan.
Panggil aja Awan.”
Dengan tidak tahu harus memperlakukannya, perempuan ini masih menjawab uluran tangannya, “Ananta Jiwa, panggil aja Jiwa.”
“Oh Jiwa, jurusan apa?”
“Kenapa jadi kayak interview. Kamu cuma mau ngajak kenalan?”
Awan tersenyum mendengarnya, “Nggak kok. Justru aku nanya itu karena mau nunjukin kamu ini.” Awan memperlihatkan selembar foto yang ada Jiwanya.
Jiwa mengambilnya agar bisa melihat lebih jelas, lalu dahinya langsung mengerut, “Kamu mata-mata siapa?”
Tapi Awan tertawa mendengarnya, “Aku mahasiswa di sini, jurusan Desain Komunikasi Visual, bukan mata-mata.”
“Terus ngapain kamu potret aku?!” Jiwa menegaskan kalimat tanyanya.
“Nggak Jiwa. Sebenarnya bukan kamu objeknya. Aku cuma lagi foto apa yang ada di perpustakaan untuk referensi aku.”
“Ya terus?”
“Apa yang ada di ipad kamu bikin aku cari kamu.”
Jiwa diam, tidak menjawabnya.
“Kamu mahasiswa apa?” tanya Awan untuk yang kedua kalinya.
“Bukan urusan kamu.”
“Iya bukan urusan aku, tapi kita bisa jadi teman buat saling belajar.”
“Aku gak mau kenalan sama orang asing.”
“Justru gak ada yang asing, adanya gak kenal, Wa.”
Jiwa meringis, “Jangan sok kenal!” ia pun pergi begitu saja.
Namun untuk pertemuan pertama setalah penantian tiga hari. Sama sekali tidak membuat Awan hanya melihat Jiwa pergi saja. Ia mengikuti Jiwa dari belakang secara terang-terangan. Jiwa menyadarinya lalu melihat ke belakang dengan tatapan mengancam, tapi Awan bersama dengan senyumannya tetap berjalan mendekati Jiwa. Jiwa tidak peduli, lagi pula ia tetap harus pulang karena awan menggelapkan dirinya.
Akan tetapi, ini memang jalan pulang untuk Awan juga. Ia sampai di halte bus melihat Jiwa yang membuang muka darinya. Awan tersenyum tipis akan itu, seperti sangat senang menemukan Jiwa. Bus datang lebih cepat dari yang Awan kira, ia pun menaiki bus yang ternyata lebih dulu dari Jiwa yang kemudian juga menaiki bus yang sama.
Jam lima sore menjadi jam yang sangat sibuk. Tidak ada satu pun kursi yang kosong, bahkan pegangan untuk berdiri pun tidak banyak tersisa. Di bagian belakang pun ada untuk berdiri, tapi sudah tertutupi orang. Jiwa terpaksa berdiri di samping Awan yang sudah memperhatikan sejak masuk ke dalam bus.
Jiwa kembali membuang pandangan. Tapi suara tetap akan terdengar walau tak terlihat.
“Aku gak ngikutin kamu, Wa. Ini Bus ke arah rumahku.”
Jiwa sama sekali tidak tertarik untuk menjawabnya. Tidak ada yang lebih menakutkan dari percakapan yang dapat membangun suasana yang tidak bisa hanya keinginan sebelah pihak.
Sore hari rabu ini menjadi bagian halaman awal bagi Jiwa, tidak untuk Awan yang sudah memulai tiga hari yang lalu. Tapi tetap belum tentu, karena awal bisa saja saat Awan memotret Jiwa dari belakang itu. Dan
kini Awan melihatnya dari samping. Ingin rasanya ia kembali memotretnya dari samping, tapi ini fasilitas umum yang tidak hanya ia yang pakai.
Saat sudah waktunya, Jiwa melangkah turun dari bus tanpa melihat dulu apa yang ia abaikan. Saat ia ingin lega dari apa yang sudah terjadi, ternyata tidak ada yang namanya kebetulan selain takdir.
“Kamu rumahnya di mana?”
Jiwa langsung balik badan mendengar suara Awan yang baru ia kenali, “Kamu ngikutin aku?”
“Kan aku udah bilang kalau ini bus kea rah rumah.”
“Ya kenapa bisa turun di halte yang sama?”
“Ya nggak tahu Jiwa.”
Jiwa menghela napas, “Emang rumah kamu di mana?”
“Itu perumahan royal rose,” tunjuk Awan dengan mata karena tepat ada di seberang halte.
“Kamu rumahnya di situ juga?”
“Rumah kamu di situ?” Awan bertanya balik.
Jiwa berdecik, “Kebetulan!”
“Nggak ada yang namanya kebetulan, Wa.”
“Ada. Buat apa ada kata kebetulan?!” lawan Jiwa dan langsung menyebrangi jalan raya ketika sudah lampu untuk pejalan kaki.
Awan pun jalan di belakangnya. Awan memang begitu,
namanya menggambarkan apa yang ada di langit. Sebenarnya ia tidak seberani ini
kepada perempuan. Ini hanya karena rasa penasarannya pada apa yang ada pada
Jiwa. Ia sama sekali enggan untuk berjalan di samping Jiwa, ia memilih seperti
awan pada langit yang merupakan jiwanya.
…
“Ma, Mama masih perwakilan perumahan bukan?” tanya Awan kepada Mamanya di tengah makan malam keluarga.
Sekar mengangguk, “Kenapa emangnya, Dek?” Mama bertanya balik.
“Mama kenal orang tua yang nama anaknya Jiwa?”
Mama terlihat berpikir, “Mama kurang hapal nama anak-anak yang punya rumah di sini, tapi minggu kemarin emang ada penghuni baru.”
“Itu kali, ya.”
“Ada apa, Dek?” tanya Bima, Papa-nya Awan.
“Ada mahasiswa yang sama di sini juga tinggalnya, Pa.”
“Oh bagus dong buat kamu sharing pengalaman.”
“Masalahnya cuma baru tahu namanya doang, Pa.”
“Namanya juga cewek ya, Ma,” kata Papa kepada Mama.
Mama mengangguk, “Jadi namanya Jiwa.”
“Bukan gitu, Maaa,” rengek Awan yang dibercandakan orang tuanya.
Keluarga yang belum lengkap karena anak pertamanya sedang koas di rumah sakit ini saling menertawakan bagaimana Awan menolak bercandaan orang tuanya di tengah waktu makan malam karena kerjaan selalu membuat mereka tidak ada pada pagi hari nanti.
…
Kebetulan hari ini Awan ada kelas pagi. Bahkan sedini hari pun, orang tuanya sudah tidak ada karena ada rapat pagi yang tempatnya di luar kota. Itu yang membuatnya tidak mau sarapan di rumah, ia lebih memilih mencari makan di jalan atau di kampus. Ia pun sudah berjalan ke depan agar bus tidak mendahuluinya.
Sebenarnya sudah dari awal semester perkuliahan, orang tuanya memberi akses mobil untuk ke kampus, tapi itu terlalu cepat untuk ia yang baru semester tiga. Ia sudah terbiasa dengan bus dan suasana paginya sejak SMA. Bus di halte depan perumahan pun tidak terlalu lama datangnya. Hanya berdiri beberapa menit saja, bus menuju kampusnya sudah datang.
Dan waktu pagi pun, sangat jarang untuknya mendapatkan tempat duduk. Ia kembali berdiri seperti kemarin sore, dan ia kembali ingat bukan sama seperti kemarin sore. Karena sore kemarin itu ada bagian baru dalam suasana hidupnya.
Sampai akhirnya ia turun di kampusnya. Awan langsung berpikir untuk ke kantin kampus, tapi ini baru jam tujuh pagi. Sudah ada seseorang yang tergesa-gesa membuka helm ojek online. Pantas saja rambutnya tidak ke luar seperti perempuan biasanya. Itu Jiwa yang datang dengan raut wajah yang baru Awan lihat. Baru saja Awan akan menyapanya, itu semua tertahan karena Jiwa langsung lari menuju gedung Fakultas Teknik. Sepertinya Awan hanya tinggal menanyakan kenalannya dari sana untuk tahu tentang Jiwa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments