Sebenarnya tidak ada yang salah dari perbedaan, tapi bagi Awan sekarang ini hal yang kaget. Walaupun
di samping itu hatinya mengakui ketertarikan kepada Jiwa. Namun, itu tidak berarti perasaan lain tidak tersa.
“Makanya, aku bilang dari awal jangan dekat sama aku. Kamu shock, kan,” ucap Jiwa dengan sedikit menertawakan Awan yang masih diam. “Hmm, udah mau jam dua, aku ada bimbingan dosen. Aku duluan.”
Dan Jiwa beranjak pergi. Awan sama sekali tidak seperti biasanya, yang selalu mengikuti. Kini ia berubah diam, seperti yang berusaha melupakan. Selang beberapa menit dari perginya Jiwa, Awan baru beranjak untuk
pergi. Padahal kopi keduanya sama-sama belum habis. Baru satu tegukan, setelah itu berubah seperti bukan kopi seperti biasanya.
Dan Awan memilih pulang, juga dengan bus. Ia menunggu di halte bus, dan merasa seperti menunggu seseorang juga. Tapi ia tidak ingin seseorang itu ada, untuk kali ini. Rasanya langit belahan sini kosong tanpa
awan, hanya biru. Tidak terlalu biru, tapi redup. Bus sudah datang, dan ia langsung bersyukur di saat yang pahit tapi juga manis. Bus juga seperti sengaja cepat-cepat karena penumpang tidak memenuhi kursi. Ia pulang dengan perasaan dan kenyataan baru lagi.
…
Lima hari kemudian.
Tepat di saat hari yang mana judul skripsi Jiwa sudah disetujui oleh dosen pembimbingnya. Ia menghabiskan waktu dengan membantu Ibunya membuat kue untuk sedekah sebagai keberapa tahun Ayahnya meninggal. Mereka berdua dibantu oleh Bi Ros setiap harinya, dan sudah menjadi pembantu sejak Jiwa SD.
Kue yang dibuat hanya beberapa, di antaranya kue karamel, kue ketan, dan kue beras. Semuanya itu dibagi menjadi beberapa dan dimasukan ke dalam kotak untuk dibagikan ke setiap rumah di perumahan ini.
Dibalik semua itu, apa yang ia langsung pikirkan saat membagikan kepada tetangga adalah Awan. Ini sudah hari ke lima ia tidak ke kampus dan enggan ke luar rumah, sejak hari itu karena dosen pembimbingnya
langsung memberi persetujuan. Ibunya sudah pasti lelah untuk keliling perumahan daripada Jiwa yang masih muda.
“Kamu bagiin ini ke setiap rumah, ya. Berurutan biar gak ada yang kelewat,” ujar Sandra, Ibunya Jiwa.
“Iya Bu, siap.”
Jiwa membawa beberapa kotak kue itu dengan keranjang. Ia berkeliling dari rumah yang paling dekat. Kalau ada yang bisa membaca perasaannya, sepertinya sudah terbaca jika ia amat gugup jika tiba-tiba yang ke luar adalah Awan. Bagaimana Awan akan bersikap kepadanya? Tapi sepertinya Awan sedang tidak ada di rumahnya.
Kotak kue hampir habis dari keranjangnya, dari empat puluh lima rumah, sisa lima rumah lagi yang kemungkinan akan ke luar Awan. Ternyata waktu tidak lama seperti apa yang dirasakan, sudah tinggal tiga kotak
lagi yang belum diberikan. Tepat ia akan memencet bel rumah berikutnya, ternyata perkiraan ia salah. Justru Awan muncul dari luar rumah.
“Jiwa,” ucap Awan yang baru sampai di depan rumahnya usai dari kampus.
“Awan.” Tangan Jiwa sedikit gemetar saat akan memberikan kotak kue kepada Awan, “Ini ada pemberian dari keluarga aku. emmm, semua rumah juga dapat kok.”
“Kamu dari mana aja? Aku gak pernah lihat kamu.”
“Aku di rumah aja. Judul skripsiku udah disetujui.”
“Oh, kalau gitu aku mau minta maaf soal kejadian di café.”
“Nggak ada yang salah, Wan.”
“Kita bisa temenan gak, sih?”
“Tapi, sebaiknya jangan berteman sama aku, Wan.”
“Kenapa?”
“Aku sebenarnya egois. Kamu nggak akan tahan.”
“Kita cuma temenan doang, nggak lebih juga.”
“Tetap aja, semuanya bisa berubah.”
“Ya udah, kalau itu mau kamu. Tapi aku yakin kita pasti bisa dekat,” jawab Awan sambil mengambil apa yang diberikan Jiwa, “Makasih, ya.”
Awan kembali berjalan, karena seharusnya dia tidak berhenti se-lama itu. Awan seharusnya mengingat apa yang ia pikirkan selama tidak bertemu dengan Jiwa. Seperti ada yang hilang, tidak bisa ia bohongi. Tapi
sepertinya tidak akan berjalan semulus dongeng Nabi yang menceritakan nabi yang mempunyai istri lebih tua darinya.
…
Keesokan harinya, Awan masih harus ke kampus. Ia ingin makan bubur, tapi sambil menunggu bus di halte, ia memakan beberapa kue beras yang diberikan Jiwa. Ia sudah siap lebih awal, jadi tidak langsung naik bus. Ia sudah menghabiskan dua kue beras. Saat akan memakan kue ketiga, dari sebrang jalan sana ia melihat Jiwa akan menyebrangi jalan.
Jiwa pastinya berhenti di halte, dan pagi ini dia sudah tersenyum, “Kue berasnya enak, gak?”
Aku masih mengunyah, dan baru menjawabnya dengan mengangguk.
“Masih banyak di rumah. Kalau mau, ke rumah aku aja.”
“Emangnya boleh? Kita kan bukan teman.”
“Ya udah kalau gak mau kue.”
“Iya, nanti aku ke sana. Sebagai apa?”
“Sebagai Awan.”
Bus tiba datang. Jiwa langsung naik, dan Awan melahap satu kue beras sekaligus agar bisa masuk ke dalam bus. Jiwa tertawa tipis melihat pipi Awan yang gemuk karena kue beras. Tapi ia langsung menyembunyikannya saat Awan akan menengok kepadanya. Namun, Awan tahu, dan dia tersenyum melihat Jiwa yang mendapatkan tempat duduk dari tempatnya berdiri.
Bus berhenti. Awan sengaja turun mendahului Jiwa. Tidak ada hal yang berarti selain dapat berbicara dengan Jiwa, jiwanya. Jiwa turun sebagai penumpang terakhir yang berhenti di kampus.
“Wa, katanya kamu udah beres ngajuin judul skripsi, kenapa ke kampus?”
“Kamu mau tahu?”
“Banget.”
“Kalau gitu kamu harus datang.”
“Ke mana?”
“Nanti sore ada seminar di fakultas aku. Suka ikut seminar, gak?”
“Suka dong!”
“Ya udah, nanti jam empat.”
“Iya, jam empat kita ketemu lagi.”
Jiwa hanya mengangguk dan jalan duluan ke gedung fakultasnya. Namun, bukan karena ia ingin buru-buru pergi dari Awan, karena ia pergi dengan senyuman. Tanpa Awan tahu, tapi yang Awan tahu ia akan bersama Jiwa kembali.
…
Yang benar saja, cara membahagiakan manusia sangat mudah. Apalagi untuk Awan yang ingin bersama Jiwa. Ia sangat bersemangat menanyakan di mana ruangan seminar sore ini kepada mahasiswa lain. Ia berharap Jiwa sudah ada di sana. Awan masuk ketika sudah lumayan kursi yang terisi. Sisanya lebih
banyak yang di depan, tapi sepertinya Jiwa lebih menyukai duduk di depan. Ia pun duduk di barisan kedua, dengan menandakan kursi di sampingnya dengan buku untuk Jiwa duduk.
Sudah hampir lima belas menit Jiwa belum muncul di pintu masuk, dan seminar akan segera dimulai–kata pembawa acara. Yang benar saja, seminarnya dimulai saat Jiwa belum ada. Jiwa yang meminta ini kepada Awan. Dan Awan paling tidak suka dibuat percuma begini. Ia merasa malas dan ingin ke luar
dari barisan kursi. Saat ia baru akan beranjak, background seminar baru ia lihat. Dan ternyata Jiwa lah yang menjadi pembicara di seminar seni ini. Dengan begitu Awan mengerti. Tidak lama kemudian, Jiwa masuk dengan jas biru muda dan celana hitam. Rambutnya sangat pantas dengan apa yang ia kenakan. Tidak, lebih tepatnya Jiwa sangat cantik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments