Awan sangat bersemangat tepuk tangan saat seminar sudah selesai. Jika semua yang ada di aula ini
memerhatikan Awan, pasti mereka mengira Awan sedang memandang bidadari. Ya, matanya berkilau seperti terharu, mungkin. Ia sengaja masih duduk, biarkan mahasiswa lain keluar lebih dulu. Baru kali ini bertahan memerhatikan seminar sampai akhir.
Awan bahkan tidak merasa ia masih tersenyum saat beranjak dari kursinya. Dan saat ia masih jalan menuju pintu ke luar, ternyata Jiwa turun dari panggung, “Awan!” memanggilnya.
Awan malah memberi dua ibu jari dengan tangan yang dipenuhi barang, daripada membalas panggilan Jiwa. Jiwanya juga tersenyum dan lari menghampirinya.
“Makasih udah lihat. Aku nggak nyangka bakal banyak yang hadir di seminar aku.”
“Cara kamu ngomong enak banget, Wa. Udah sering isi materi gitu?”
“Nggak, orang ini pertama kali. Makanya takut nggak ada yang hadir.”
“Kalau pun nggak ada orang lain, aku pasti ada.”
“Yeh, beda lagi rasanya.”
“Iya karena kamu belum ada perasaan buat aku, Wa.”
“Ih apa sih!”
“Bercanda, Wa.”
“Bercanda kok sama yang lebih tua.”
“Aku malah ngerasanya kamu gak tua.”
“Iya emang aku awet muda.”
“Iya artinya cantik, ya.”
Sedangkan Jiwa malah memainkan bibirnya agar menjadi jelek, tapi Awan tertawa dan semakin bercanda, “Ih cantik banget!”
“Ih, udah ah ayo pulang!” protes Jiwa dan langsung pergi.
“Kamu ngajak aku pulang?! Berarti kita teman dong?” teriak Awan akan tetapi diabaikan Jiwa.
Awan pun mengikuti, mengejar Jiwa. Ia masih ingat soal jalan bersampingan dengannya bukan hal yang harus dihindari, bahkan boleh. Awan berjalan di samping Jiwa, bersama. Mereka ke luar dari gedung fakultas teknik. Sepertinya mahasiswa langsung pulang atau ke kantin kampus dulu, karena di halaman kampus tinggal mobil-mobil dosen.
“Kamu mau langsung pulang?” tanya Awan ketika sudah menginjak jalan.
Jiwa mengangguk.
“Jangan langsung pulang. Aku mau traktir makan plus minum.”
“Apa? Sebagai penghargaan menjadi materi di seminar?”
Kini Awan yang mengangguk.
“Nggak usah, Wan.”
“Nggak baik nolak pemberian orang, Wa.”
“Tapi fisiknya belum ada, masih bisa ditolak.”
“Ayo dong! Aku lapar tadi belum makan sebelum seminar.”
“Ibuku mau dibantuin masak. Gimana kalau aku kirimin masakannya kalau udah jadi, atau kamu udah kelaparan banget?”
Awan langsung menggeleng berulang kali lalu, “Nggak lapar banget kok.”
“Ya udah nanti aku yang nganterin ke rumah kamu.”
“Aku yang ke rumah kamu juga boleh, Wa.”
“Nggak, kamu mulutnya terlalu bocor.” Jiwa kembali jalan meninggalkan Awan.
“Jiwaaa!” Awan buru-buru mengejarnya.
Mungkin kebetulan Jiwa sedang baik hati atau mungkin karena Awan hadir di seminarnya. Selama di bus mereka bahkan tidak seperti hari sebelumnya, tapi memang hubungan antara manusia dengan manusia itu mudah asal saling. Walaupun demikian, bukankah Awan dan Jiwa tidak terlihat hanya sebatas teman? Bahkan Jiwa tidak mengakui Awan temannya. Awan saja.
…
Sedari tadi Awan mengemili keripik kentang yang ada di toples ruang TV. Ia tidak ingin makan sebelum Jiwa datang menekan bel rumahnya. Sungguh bukan karena soal kehadiran Jiwa saja nantinya, tapi juga masakan yang ada sentuhan tangan Jiwa. Awan bahkan menolak Mamanya yang menawari mau makanan apa sebelum pulang. Biar saja, lagi pula kedua orang tuanya belum tentu datang jam berapa. Ya, padahal Jiwa pun begitu, hanya saja tidak mungkin malam.
Sebenarnya kalau ada cermin, mata Awan akan terlihat lelah. Seminar tadi siang benar benar membukakan matanya dari tidur siang, bahkan kopi saja selalu gagal membuatnya tetap membuka mata. Sedikit lalu sedikit, beberapa kali matanya menutup tapi terbuka lagi. Untung saja pendengaran telinganya tajam. Awan langsung beranjak dan lari membuka pintu rumah. Benar, dia Jiwa yang ditunggu.
Jiwa menertawakan Awan yang sudah tepat di hadapannya, “Kamu udah ngantuk?”
“Tadi kan capek lihat seminar kamu.”
“Ya udah kalau capek jangan ikut seminar lagi.”
Tiba-tiba mata Awan menjadi segar kembali, “Bukan segar itu maksud aku, tapi kayak ngantuk aja. Buktinya ini belum tidur.”
“Iya iya. Nih,” balas Jiwa sembari memberikan kotak plastik yang ukurannya cukup sedang.
“Pantas aja wangi masakan. Pasti enak.” Awan menerimanya, “Makasih. Bilangin juga ke Ibu kamu.”
“Iya, tadi juga dia bilangnya kenapa gak kamu aja yang ke sini.”
“Tuh kan.”
“Tapi aku bales, jangan Bu nanti Ibu sakit telinga.”
“Iya deh. Kalau gitu kamu aja yang ke rumahku.”
Jiwa menggeleng, “Lain kali aja, Ibu mau bakso yang di seberang sana.”
“Sendiri belinya?”
Jiwa menganggukan kepala.
“Aku temenin deh. Udah malam, Wa.”
“Nggak apa-apa, Wan. Banyak lampu jalan.”
“Justru yang lebih berbahaya itu yang terlihat. Walaupun kamu lebih tua juga, kamu perempuan.”
“Iya deh, cerewet banget ini adek tingkat.”
“Yee, bentar.” Awan masuk dulu untuk menyimpan makanan dari Jiwa, dan kembali dengan memakai jaket karena Jiwa juga memakai outer rajut, sepertinya kesukaannya.
Mereka berdua jalan bersama lagi, tapi pertama kalinya untuk jalan di malam hari seperti ini. Awan tidak tahu bahwa semua ini dengan begitu saja terjadi. Ia menyadari semenjak Jiwa masuk dalam potretannya, hari-harinya menjadi lebih berwarna dan ada kegiatannya daripada sebelumnya. Bahkan untuk jalan ke luar perumahan di malam hari pun, sepertinya tidak pernah untuk Awan yang sudah tinggal di perumahan ini semenjak SMP.
Walaupun mereka sedang menyebrangi jalan raya, Awan hanya memerhatikan Jiwa dari samping. Takutnya ia tidak melihat kendaraan dari arahnya. Awan baru berani untuk jalan di sampingnya, sangat aneh jikalau ia menggenggam Jiwa untuk alasan seperti ini. Biarlah keadaan dan waktunya saja.
Awan dan Jiwa sudah sampai di tukang bakso urat. Jiwa langsung mendikte pesanannya untuk dia, Ibu, dan Bi Ros. “Kamu nggak pesan?” tanya Jiwa saat sudah memberitahu mas baksonya.
Awan menggeleng, “Aku maunya makan masakan kamu sama Ibu.”
“Ibu Ibu, kayak anaknya aja.”
“Ya masa ngomong ke kamunya Tante, nanti dikiranya kamu yang tante tante.”
“Kamu pintar kasih alasan, ya.”
Awan tertawa mendengar nada Jiwa yang kesal. Ia jadi semakin suka berbicara seperti ini dengan Jiwa. Pesanan Jiwa yang hanya tiga pun sudah selesai. Setelah Jiwa membayarnya, Jiwa dan Awan langsung ke luar
untuk pulang kembali ke perumahan.
Di perjalanan menuju pulang justru Awan kecewa karena pastinya setelah ini Jiwa langsung pulang. “Mama kamu pasti baik orangnya.”
“Iya, aku duplikatnya.”
“Oh pantas saja.”
“Orang tua kamu juga pasti cerewet kayak kamu.”
Awan tertawa tipis, “Yang ada aku anak paling beda.”
“Emang kamu berapa bersaudara?”
“Aku punya Kakak yang pendiam, cowok lagi.”
“Ini pasti gara-gara kamu gak jadiin dia role of model.”
“Nggak, aku mau lebih berterus terang melebihi lampu yang bisa mati, Wa.”
“Iya, sih. Bahkan kamu lebih bijak kayaknya.”
“Katanya tadi aku cerewet, sekarang bijak.”
Mereka berdua jadinya malah saling menertawakan. Tidak terasa rumah Awan sudah terlihat, sebentar lagi sampai. Namun, saat itu juga sebuah mobil melintas dan, “Awan,” panggil Mama dari jendela mobil yang terbuka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments