Semua warga sudah berdatangan untuk membantu Kiran dan Syakir mengurus jenazah Ibu Asih dengan baik dari mulai memandikan jenazah tersebut hingga mengafaninya.
Kiran yang sejak tadi berada dalam dekapan Nenek Sugondo, Nenek Syakir yang dipanggil secara khusus oleh Syakir untuk menemani Kiran yang sedang berduka, paling tidak jiwanya tidak terguncang dengan kejadian hari ini yang membuatnya lebih bersikap bijak dan dewasa.
Jenazah Ibu Asih sudah rapi dengan kafan dan sudah disholatkan bersama di pimpin oleh Ustad Abdurahman, teman Bapak Arif.
Namun, sudah sampai menjelang senja, Bapak Arif tidak kunjung datang juga.
"Syakir, bagaimana ini? Pak Arif tidak juga datang, hari semakin sore, kasihan jenazahnya harus tertunda seperti ini," ucap Ustad Abdurahman pelan setengah berbisik kepada Syakir.
Syakir terdiam lalu melihat Kiran yang masih ada dalam dekapan Nenek Sugondo. Gadis itu benar-benar cantik, menangis saja masih terlihat aura kecantikannya, namun hati gadis itu sedang terpuruk dan jiwanya sudah dipastikan akan terguncang.
"Makamkan sekarang, kita tidak bisa menunggu, biar Syakir yang bicara pada Kiran untuk tidak menunggu Bapak Arif," tegas Syakir mengambil keputusan.
Hari itu sudah menjelang senja, matahari sudah akan tertidur kembali menurunkan cahayanya di ufuk barat. Jenazah Ibu Asih dibawa ke pemakaman umum di kampung tersebut.
Beberapa warga yang merupakan tetangga dekat Bapak Arif ikut menggotong jenazah Ibu Asih dan memakamkan pada liang kubur yang sudah disediakan.
Kiran kini berada dalam pelukan Syakir, sejak awal dari rumah hingga sampai ditempat pemakaman, air mata Kiran seolah tidak pernah habis untuk diteteskan.
Sesekali Syakir mengusap kepala Kiran dengan lembut dan penuh kasih sayang. Gadis berhijab itu hanya terdiam, pikirannya kacau dan tidak bisa berpikir dengan akal sehatnya.
Jenasah ibu Asih sudah diturunkan ke bawah dan di posisikan sesuai aturan agama Islam yang baku.
"Kiran, ikhlaskan Ibu Asih, beliau sudah tenang, sudah tidak merasakan sakit lagi, biarkan hanya doa yang mengiringi kepergian Ibu Asih, bukan tangisanmu, beliau pasti akan sedih melihatmu seperti ini, Kiran," ucap Kiran yang hanya terdiam, kepalanya masih bersandar dapat bahu Syakir, bisikkan suara Syakir hanya dianggap angin lalu oleh Kiran.
Bagi Kiran saat ini hanya bersedih dan menangis yang dapat Kiran lakukan. Dunia dan hidupnya seakan berhenti disini, tidak ada lagi keinginan untuk menggapai cita-citanya, tidak ada keinginan untuk menjadi terbaik, tidak ada keinginan untuk menjadi sempurna, semuanya sudah hilang bagaikan debu yang tertiup angin dengan sangat kencang.
Tumpukkan tanah merah sudah mengumpul menjadi satu dan menggunung, diatasnay sudah ditaburi bunga mawar berwarna merah dan putih yang masih segar. Nisan yang terbuat papan kayu terukir nama Ibu Asih sudah ditancapkan tanda disitulah rumah terakhir dan terindah untuk Ibu Asih.
Satu per satu orang yang melayat sudah kembali ke rumahnya, hanya tertinggal beberapa orang yang merupakan tetangga dekat rumah termasuk Ustad Abdurahman.
Kiran masih memeluk tanah merah yang basah itu. Tubuh dan bajunya sudah kotor, Kiran sudah tidak memperdulikan lagu dengan keadaan sekitar.
Tangisannya bahkan tambah terdengar keras dan pilu. Suara serak yang menyayat hati membuat orang yang mendengar terasa teriris perih.
"Syakir, hari sudah mulai gelap, mari kita pulang. Kiran pulanglah kamu pasti lelah, istirahatlah dirumah, tidak baik menangis secara terus menerus untuk orang yang sudah meninggal," ucap Ustad Abdurahman memberikan nasehat kepada Kiran yang sejak tadi terlihat sangat terpukul.
Tinggalah mereka berdua di tempat pemakaman umum yang sudah mulai sepi itu. Syakir ikut berjongkok dan memegang nisanserta tangan basah disana. Kedua matanya terpejam dan bibirnya seolah sedang berbicara dengan gerak gerik naik turun tanpa suara sedikitpun.
Syakir masih mendoakan Ibu Asih, wanita paruh baya dengan semangat hidup yang luar biasa untuk menemani anak gadisnya hingga dewasa. Rasa sakit sudah tidak dirasakan kembali, saat mengetahui kepribadian lain suaminya mulai kentara dalam kehidupan mereka.
"Kiran, kita pulang sekarang, hari sudah mau gelap, tidak baik berada disini terlalu lama," ucap Syakir penuh kelembutan.
Satu tangannya memegang punggung Kirana dan mengusap-usap punggung itu dengan penuh kelembutan.
Kirana hanya terdiam dan hening, tidak ada satupun kata yang keluar dari mulut Kiran sejak siang tadi, seolah mulutnya sudah terkunci rapat-rapat dan tidak mau menjawab apapun.
"Kirana? Kamu bisa mendengar kata-kataku?" tanya Syakir dengan lembut, nada suaranya masih terdengar sangat pelan dan tenang, walaupun sesungguhnya Syakir sudah tidak sabar menunggu Kiran yang seperti ini.
Sakit menginginkan Kiran bisa kembali move on dengan keadaannya dan melanjutkan kehidupannya kembali untuk lebih baik.
Kirana menoleh ke arah Syakir yang masih menatap Kirana dengan sendu.
"Maafkan Kiran, Syakir, terima kasih untuk semuanya, jika tidak ada kamu, entah bagaimana Kiran mengantarkan Ibu ke peristirahatan terakhirnya," ucap Kiran pelan dan terbata-bata, suaranya masih terdengar sangat serak.
Syakir mengangguk pelan dan tersenyum manis.
"Sama-sama Kiran. Syakir yang ingin mengucapkan banyak terima kasih pada Ibu Asih, ada pelajaran berharga yang Syakir dapat di detik-detik terakhir hidupnya tadi," ucap Syakir pelan masih menatap nanar ke arah nisan dan tanah merah itu.
Rasanya masih belum bisa percaya, Ibu Asih yang masih bicara tentang rahasia masa lalunya lalu tersenyum dan terpejam, saat itu juga nyawanya sudah dicabut oleh Allah SWT. Rasa sakitnya mungkin sudah tidak terasa dibandingkan bertahun-tahun merasakan sakit hati dan sakit pada tubuhnya yang tidak juga dapat disembuhkan.
"Ini semua takdir kehidupan Kirana, jika Allah SWT sudah berkehendak untuk satu nama hambaNya kita tidak bisa mengelak dan melawan takdir apalagi berlari untuk menjauhi takdir. Terimalah semuanya dengan lapang dada dan ikhlas serta penuh kesabaran," ucap Syakir dengan pelan.
Kiran sejak tadi menyimak dan mendengarkan Syakir yang berbicara dengan tegas dan lantang. Wajah tampannya makin terlihat bersinar.
Kirana tersenyum lebar saat satu tangan Syakir mengulur untuk membantu Kirana berdiri dari tanah kubur Ibu Asih.
"Saatnya bangkit dan berdiri, berjalan dan tetap terus menjalani kehidupan ini lebih baik lagi, Bidadari Kiran," ucap Syakir pelan dan tersenyum manis.
"Bidadari Kiran? Apa maksudmu Syakir?" tanya Kiran pelan sambil menatap heran pada Syakir yang masih menatap lekat kedua mata Kiran.
"Maukah kamu menjadi Bidadari Kiran untukku? Saat ini dan selamanya untuk selalu bersamaku, Kirana?" tanya Syakir pelan kepada Kirana. Tatapannya seakan penuh harap dan memohon.
"Kiran tidak mengerti maksud Syakir? Apa maksudmu dengan mengatakan seperti ini?" tanya Kirana pelan meminta penjelasan kepada Syakir.
"Ijinkan Syakir untuk menjaga dan menyayangimu Kirana? Apakah Syakir mendapatkan ijin untuk meraih hati dan cintamu karena ridho Allah?" tanya Syakir pelan kepada Kirana.
Kirana hanya menatap lembut wajah Syakir. Wajah penuh kasih sayang dan ketulusan, namun kita masih muda belum saatnya menjalani bahtera rumah tangga yang sejatinya adalah ibadah terpanjang seumur hidup kita.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 260 Episodes
Comments
Taufiq Saparudin
😔
2022-11-17
1
Lela Lela
semangat kirana
2022-11-15
1